ADA sejarah pendek mengapa Nyonyo kami sangat tuakan. Ya, di luar usia dan wajahnya yang cukup umur, Nyonyo telat dua tahun untuk bergabung dengan angkatan kuliah kami, KS 375. Dua tahun sebelumnya, Deden Belanegara Damali kuliah program Diploma 3 (DIII) terlebih dahulu. Pendakiannya ke Papandayan bersamaku waktu itu, ceritanya, ia sedang refreshing di sela-sela kesibukannya menyusun tugas akhir (TA) untuk meraih gelar A.Md. pada prodi Pemerintahan Daerahnya. Hebatnya, Nyonyo mengambil kuliah DIII-nya masih di kampus di mana ia mengambil kuliah S1-nya. Wajarlah jika di kampus ia sudah seperti Barry Prima—artis lawas yang disegani. Bayangkan, rentetan senior yang dihormati di fakultas, semua mengenalinya dan bahkan ada yang segan padanya. Amanlah kami bergaul dan beraktualisasi di kampus. Itulah Nyonyo, si anak bungsu dari dua bersaudara yang teramat sangat dicintai ibunya.
“Hahaha. Sudahlah, diam saja kau Bocah Tua Nakal—istilah dalam film serial TV Yoko di tahun ’90-an, jadi panggilan cinta dari Jambi untuk Nyonyo—tidak tahu diri! Semua orang sibuk kedinginan, kau malah berjemur!”
Jambi, sahabat Melayuku yang badannya mungil tapi berotot bidang itu mengomentari Nyonyo di balik punggung gitarnya. Sebelumnya, Jambi tengah asyik mengulik lagu-lagu Sheila on 7 yang kocokan gitarnya dimainkan ala ritem dangdut Rhoma Irama, merasa terganggu oleh respons musuh bebuyutannya itu. Di bawah langit Gunung Papandayan, pada awal kuliah kami itu, di tengah hangat obrolan malam yang langka, Jambi kebalikannya dari Nyonyo. Bahan penghangat tubuhnya paling lengkap sendiri, hanya dua buah bola mata Sumateranya yang tajam tapi berbinar itu saja yang terlihat. Ia bersiap mengajak perang Nyonyo.
Tidak terima dengan komentar Jambi, Nyonyo balik berseru, “Mau apah kamuh anak kampung Desa Muarobungo?! Dasar orang terbelakang! Dalam ilmu kedokteran, yang sayah lakukan saat ini namanyah aklimatisasi melawan rasa dingin!” Nyonyo begitu sok betul, sewot dengan satu-satunya mahasiswa dari Kabupaten Bungo itu. Pemuda Jambi yang selalu merendahkannya di setiap ada kesempatan. Meski itu hanya guyonan, tapi sudah cukup membunuh karakternya sebagai yang paling banyak umurnya di camping ground Papandayan, pikirnya.
“Kalau dinginnyah hilang, badan sayah nanti jugah bisa hangat sendiri. Nggak seperti kalian yang seperti tukang ronda. Lebih jelek lagi kamuh, Jambi, engkau sudah seperti calo vilah di Puncak ... Vilah... Vilah... Hahahahaa ….” tambahnya lucu sendiri, tertawa puas di atas rimbanya.
Dan, tanpa dipandu seorang direjen kami serempak ikut tertawa. Itulah hiburan gratis yang sangat kami nantikan. Alasan kami ikut tertawa bukan karena kelakar Nyonyo yang lucu menggelitik, tetapi oleh karena gaya bicara dan logat mereka berdua yang unik—satu berlogat Melayu medok dan satu lagi berlogat Sunda aneh. Kadar kewibawaan mereka berdua pun menurun. Dengan sedikit wibawa yang dimiliki lantas Jambi menunjuk-nunjuk musuh bebuyutannya itu dengan telapak tangan kanannya—ia jarang menunjuk menggunakan telunjuk. Seolah ia sedang memberi tahu kepada orang-orang kampung Desa Muarobungo bahwa ada orang gila yang pandai berpidato politik lagi duduk di atas batu besar.
“Sudah-sudahlah, kalian berdua jangan bertengkar! Katanya saudara! Ayo pelukan!!” tegur Zaqiansyah Fahrezi tiba-tiba, mencoba menengahi keduanya. Walau sebenarnya itu strategi Zaqi demi menambah kerenyahan suasana malam.
Harapan Daniel sepertinya terwujud. Wacana berfilsafat edannya tentang hakikat manusia, hidup, dan pendakian gunung berubah menjadi sebuah dagelan dari sepasang unik KS 375, duo abnormal, si Manusia Tanpa Lawan dan si Mahasiswa Desa Muarobungo. Dengan mimik laksana kakak pertama menasihati dua adik kecil nakalnya karena berkelahi berebut boneka buaya, guru romantisku terus berakting. Pun mengubah karakternya dimiripkan Won Bin atau Jerry Yan.
Aku dan Daniel hanya bisa tersenyum ditahan. Namun, hal itu tidak bagi Sinna dan ketiga sahabat perempuan tangguhnya yang duduk adem di depanku. Mereka berempat menyatu menjadi satu pelukan. Dan semakin hangat saja ikatan mereka ketika Zaqi yang asli Tanjung Pandan itu bermain watak dengan memberi lawakan segar kepada kami semua: tertawa riang dan gurih sekali.