Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #7

Bab 6 - Mau menjadi pohon apa aku di dunia ini?

ZAQI bak dalang wayang golek wahid di tengah-tengah kami. Tapi belum saja ia membintangi sebuah iklan di televisi. Wayang yang ia gerakkan hanya dua. Itu juga susah diatur. Sang Dalang memulai dengan adegan yang pertama. Ia mengambil mimik Pak Haji menasihati anak bungsunya, yang baru saja berbuat nakal memukul perut kakaknya—karena telah memalukan nama baik keluarga dengan memiliki perut buncit sendiri di rumah—Zaqi terus menghibur.

“Jambi, kamu itu sama kakakmu harus hormat! Dia ‘kan lebih tua dari kita semua!” serunya galak, khas dengan logat Melayu Belitungnya. Zaqi memang sangat pandai bermain watak. Padahal ia tidak pernah mengikuti latihan teater.

“Hihi…”

Kami serentak tertunduk, berupaya menahan tertawa.

Sementara Nyonyo malah membusungkan dadanya yang bidang. Bangga. Ia merasa didukung oleh Zaqiansyah Fahrezi. “Cepatlah minta maaf! Kita yang muda ini harus menghormati orang yang lebih tua ….” seru Zaqi kemudian.

“Benar sekali ituh, Zaq!” sahut Nyonyo, tersenyum lebar. Pun mimik dan gayanya menyerupai 50 Cent atau Jay-Z. Gaya kedua raper kaya raya itu memang sungguh mantap, namun terlihat norak dan alay jika diikuti oleh seorang Nyonyo.

“Hai, Jambi, dengarkanlah apah yang dikata sang pujangga cinta kitah!”

Dia tidak sadar sedari tadi Zaqi meledekinya dengan kata ‘tua’. Sadarnya fokus Zaqi itu pada Jambi saja sehingga ia mengaburkan sesuatu yang sensitif baginya. Semakin terhiburlah kami oleh kepolosan Nyonyo dan muka disedih-sedihkannya Jambi. Kalau sudah begitu aku bisa menambah hari pendakian.

“Bung Nyonyo!”

Tiba-tiba Zaqi membentak Nyonyo. “Anda ini yang paling tua di sini, teladan bagi kami, seharusnya jadi contoh kepada kami yang muda-muda ini!!”

“Hihiii… hiiiihiiiii!”

Sungguh bahagia hati kami menertawakan Nyonyo malam itu. Puas. Seru. Dan lezat. Terlebih Jambi yang senangnya tiada bandingan. Bagaimana rasanya melihat Nyonyo yang diangkat sedemikian tinggi, lalu dijatuhkan kembali oleh Zaqi? Deden Belanegara Damali atau DBD, biasa kami menyingkat nama lengkap Nyonyo, blunder seketika. Pepatah ‘diam itu emas’ langsung saja ia amalkan.

Manfus. Manfus kau Bocah Tua Nakal!” seru Jambi kegirangan.

“Tuhan itu Maha Adil! Kau mempunyai bibir besar itu bukan berarti kau harus banyak cakap. Marahi saja dia, Zaq, razam sekalian kalau perlu! Atau kita suruh dia tidur di luar tanpa busana! Hahaaa… Manfus!!!”

Manpus, manpus … Bahagia sekarang kamuh, Jambi?!”

Nyonyo benar-benar emosi dengan musuh bebuyutannya. “Yah sudahlah, kitah sebagai manusia yang diberi nikmat waras lebih baik mengalah sajah. Mengalah ituh ‘kan disayang Tuhan, bukan begituh, saudara Aldiba Fadhilah?”

Aku sempat terdiam beberapa detik. Dengan sekuat organ tubuhku, aku bangkitkan rohku, menemukan kembali mereka semua. Sadari kembali bahwa aku sedang duduk melingkari hangatnya nyala api unggun. Aku duduk di antara Daniel dan Zaqi, Awan duduk di depanku—sang pembuat api unggun setia—sambil terus memperpanjang nyala api cinta itu dengan kayu-kayu kering yang rajin ia kumpulkan tiada henti, dan Sinna duduk bersila persis di hadapanku. Ia menjadi tiang sandaran bagi Suryani, Puspita, dan Karina. Mereka bertiga terlihat seperti anak kandungnya saja. Dan aku semakin kagum dan mungkin berharap.

Aku baru menyadari, Nyonyo menegurku. Entah ia meminta pendapatku atau malah ingin meledekku. Ia yang merasa disudutkan pelbagai pihak mulai mencari suasana baru. Sungguh seorang manusia yang berkarakter kuat. Kuat akan gengsinya, dan tentunya dengan julukannya Manusia Tanpa Lawan.

“Jangan eluh habiskan malam ini untuk melamun, wahai, seniman kami, keluarkanlah inspirasimuh malam inih!” tegurnya lagi, tapi terasa melembut kalimatnya. Menghilangkan sesegeranya kekalahannya barusan dari Jambi.

Zaqi tersenyum hangat padaku sambil memainkan sisa jambul Tin-Tin rambutnya yang ditekan sebuah bandana berwarna putih susu—yang kutahu itu pemberian Daniel, oleh-oleh dari sebuah jalan-jalannya. Ia seolah mengetahui betul apa yang ada di dalam pikiranku, dan apa yang akan aku lakukan setelah mendengar teguran Nyonyo. Begitu pula si entertainer sejati, A Ho, kulihat. Ia mengernyingkan genit alisnya padaku. Awan yang menderita pilek pun menoleh padaku. Si tampan Arab tersenyum seraya memainkan hidungnya yang mancung namun ingusan, hingga akhirnya Daniel menepuk pundakku sambil berbisik.

“Langit cerah, Brad! Tengoklah!”

Aku hanya menyunggingkan senyum kecil.

“Ada bulannya walaupun setengah,” sambung Daniel berpuisi. “Ada juga bintangnya meskipun terlihat pelit di langit. Buatlah sebuah karya malam ini, gua bener-bener mau mendengar satu karya yang mengagumkan dari sahabat kita yang … seorang sastrawan! Sastrawan Palembang yang berdarah Kuningan.”

Lihat selengkapnya