Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #8

Bab 7 - Akhu cainta Aindonesia!

AKU MASIH duduk berdampingan dengan Daniel di kamar kosku. Kos? Lebih tepatnya Aula Potensi. Di tempat 4 x 4 meter inilah hampir sebagian besar mahasiswa berpotensi di FISIP UNPAD pada zamanku bermimpi, menuangkan ide, beristirahat, dan ber-silahukhuwah, kamar kos yang sangat strategis se-Kecamatan Jatinangor. Semua serbadekat dan serbaada. Ke kampus, ke pusat jajanan, ke mall Jatinangor, dan ke tempat ibadah pun dekat sekali. Aula Potensi inilah yang menjadi rumah singgah terakhirku menimba ilmu di Jatinangor.

Malam ini, aku paham dengan ucapan si penggila Spider-Man tiga tahun yang lalu di camping ground Papandayan. Bahwasanya, hidup itu seperti sebuah kayu bakar atau sebatang pohon. Apa pun nasib hidup manusia. Ada yang kaya, miskin, pintar, lambat, cantik, buruk rupa, berpangkat, terhormat, buta, tuli, jahat, dermawan, kikir, petani, nelayan, guru, polisi, tentara, selebritis, koruptor, narapidana, pengemis, pencuri, seniman, penguasa, atau pemimpin … semua akan kembali ke liang kubur. Menyatu dengan tanah. Kembali kepada aslinya. Tanpa membawa sesuatu apa pun ke alam selanjutnya. Harta dan kemewahan yang siang malam kita kumpulkan pun tiada menemani. Para rohaniwan berkata, hanya iman dan budi saja yang sanggup menolong. Bagaimana jika aku tidak memiliki iman dan budi selama hidup di dunia ini? Celakalah diriku!

Begitu pula dengan perasaan hidupku malam ini. Besok aku akan sidang sarjana. Jika lulus maka aku akan menjadi seorang sarjana. Sarjana Sosial laki-laki pertama di angkatan kuliahku. Dan jika aku mati apakah aku akan membawa gelar kehormatan itu? Tropi yang penuh perjuangan, penuh tangis darah ‘tuk mengejar dosen pembimbing demi meminta ACC draf, serta banjir keringat dan airmata memenuhi persyaratan sidang yang rumit, dan sedikit sulit birokrasi.

Sejatinya, gelar sarjana adalah harapan dari jutaan orang di dunia ini. Gelar kehormatan yang diraih sebagai bekal di masa depan, dan sebagai peninggi derajat keluarga, baik mereka yang masih berstatus mahasiswa—seperti 60 orang lebih teman seangkatan kuliahku yang menantikan kapan bernasib besok disidang sarjana—maupun mereka yang tidak seberuntung aku.

Tidak seberuntung aku? Ya, mereka yang kurang biaya untuk bisa duduk di bangku sekolah. Atau sama sekali tidak memiliki kesempatan menjadi seorang terpelajar. Lebih tepatnya lagi, kesempatan mereka yang dinodai sistem—ada uang ada barang. Untunglah, aku kuliah masih masuk kategori murah meriah.

Program Wajib Belajar Sembilan Tahun sepertinya harus direvolusi. Kita ubah menjadi Wajib Sekolah Enam Belas Tahun. Semua anak Indonesia berhak harus menikmati kemerdekaan bangsa dan negaranya. Mutlak. Sebagai hak dan kewajiban mereka melaksanakan bakti hidup kepada negara ini; bukti menjadi pahlawan bangsa mereka; mengisi dan mempertahankan kemerdekaannya. Huh! Terdengarnya itu cukup agung. Enam belas tahun bergelut dengan buku, guru, pena, ujian studi, dan SPP? Wajib sekolah SD, SMP, SMU, dan PT (empat tahun)?

Sahabatku, apa sebaiknya anak-anak kita itu dihibahkan saja ke Jerman? Membiarkan mereka mendapat pendidikan berkualitas, berkelas, terjamin, serta kegeniusan Pak B.J. Habibie di sana. Atau kita emigrasikan saja mereka ke Kanada? Di sana katanya warga luar memperoleh jaminan hidup, kesehatan, dan pekerjaan yang layak dari pemerintah. Negara bagian Amerika yang bersuhu amat dingin itu dikabarkan masih kekurangan penduduk. Tidak berimbang antara luas wilayah dengan jumlah penduduk. Atau sebagai orang tua, kita meminta pertanggung-jawaban saja kepada negara yang lebih dari 3 abad menjajah leluhur kita? Ingat, sebagian dari hasil feodalismenya itu mereka bisa membuat kota dam yang menawan. Ini bukan bermaksud propaganda atau pun iri. Ini hanya isak di dada. Semoga ini menjadi pelajaran berharga. Semoga kita para mahasiswa Indonesia bisa lebih fenomenal dari ketiga negara maju itu.

Lihat selengkapnya