Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #9

Bab 8 - 375 Foundation

AKU MENCOBA untuk tenang. Suryani yang seorang perempuan saja bisa tenang dan santai menghadapi hari esok. Menyiram nasib yang sama denganku; sebagai mahasiswa. Diandra Fitri Suryani, sosok perempuan tangguh yang mandiri, multi-disiplin, dan pekerja keras. Sidang akhirnya besok merupakan buah segar atas kemandirian, kedisiplinan, dan keteguhan semangatnya. Tidak kurang selama proses pengolahan hasil penelitian, revisi ujian penelitian, dan penyusunan syarat sidang ia memberikan motivasi dan kontribusi yang lebih padaku. Benar-benar perawan inspiratif. Beruntunglah laki-laki teladan yang kelak menikahinya. 

Dialah salah seorang perempuan terdekatku yang banyak disukai kaum Casanova. Baik itu di kelasku, di jurusanku, bahkan itu di fakultasku. Alasannya, ia memiliki sifat ramah, sederhana, rajin, terampil, serta ayu khas ala gadis Jawa. Namun, dari semua predikat baik itu, tetap ia hanya mau dipanggil “manis” dan sangat anti dipanggil “cantik” apalagi “seksi” atau “bohai” atau “semok”.

Seminggu sebelum draf sidangku di-ACC kedua dosen pembimbingku. Di saat aku dilanda kebingungan. Harus lulus tepat waktu sendiri atau lulus bersama mereka, KS 375. Selain the White Casanova—pemikat hati yang tidak playboy—, si manis Suryani juga harus bertanggung jawab kepada dunia, menjadikan malam ini bagian dari Hari Deg-Degan Sedunia-ku. Tanpa pamrih ia terus memaksaku agar bisa sidang besok. “Kapan lagi kalau bukan sekarang?!” serunya, “kalau kamu terus berpikir skripsi kamu sempurna, ndak ada cacatnya, kapan kamu sidangnya? Hah? Skripsi itu ndak ada yang perfect. Skripsi dosen-dosen kita saja ada kurangnya, kemarin aku baca di perpustakaan jurusan. Ketua jurusan kita juga pernah bilang: ‘Kalau skripsi saya dulu sempurna mungkin sudah jadi teori baru untuk masyarakat.’ Ayolah, yang penting kamu paham skripsimu, Fadh!”

Aku belum bereaksi untuk berbicara. Senang mendengar nasihatnya.

“Skripsi… dikatakan sempurna kalau sudah kita amalkan di masyarakat, Brad, setelah kita diwisuda,” serunya lagi. “Pokoknya kita harus lulus bareng! Apa lagi yang kurang coba? Hah! Aku juga tahu masalahmu.”

 Aku tidak bisa berkata-kata lagi, apalagi saat mendengar bait petuahnya yang ini: “Fadhil, sidang sarjana itu harapan terbesar semua mahasiswa. Kamu sudah mendapatkan itu, tapi kamu malah mau mundur. Bersyukurlah Saudaraku, ayolah, wisuda bersama kita! Kita buat keluarga kita bangga dan bahagia.”

Begitu panjang si Javany Sugar itu berfalsafah manis memotivasi diriku. Mentalku saat itu tengah lemah, jiwaku dalam takstabil, dan pikiranku sedang mengalami nol. Sebenarnya bukan karena besok akan sidang sarjana aku begitu. Sidang yang katanya menyeramkan dan membuat semua orang kesal, menangis, pasrah, lepas kendali, atau hilang konsentrasi. Ada satu hal yang aku pendam dalam pikiranku. Mungkin itulah satu-satunya faktor mengapa aku masih betah tinggal di Jatinangor, berkembang potensi di Bandung, dan memiliki kebanggaan yang fanatik dengan jurusan kuliahku—Ilmu Kesejahteraan Sosial (KS).

Ya. Aku memikirkan nasib persaudaraanku dengan angkatan kuliahku, KS 2003. Atau kami biasa menyebutnya KS 375. Yang kemudian kami berharap kuat, semoga kelak bisa menjadi 375 Foundation. Kelak ketika kami sudah sukses dengan jalan bahagia masing-masing. Berlawanan dengan itu semua, pamanku di Palembang memberiku saran. Andaikata aku tidak ada rencana setelah besok dinyatakan lulus, hendaknya aku ke Palembang saja, di kota di mana aku menimba ilmu SMU dan SMP. Di sana, katanya aku akan dikenalkan dengan orang-orang penting dan berpengaruh besar di Sumatera Selatan (Sumsel). Aku dijanjikan manis akan diajarkan berwirausaha, dan mulia lagi aku akan diberi kesempatan untuk menyambung sekolah. Sekolah S2 ilmu bisnis, ekonomi, atau hukum pastinya. Mutualisme simbiosis, aku meraih pendidikan bertambah tinggi dan ia mendapat tambahan SDM andal yang siap membesarkan kesuksesannya. Apa yang akan aku pilih, persaudaraan atau kemuliaan hidup di dunia?

Keluarga adik ibuku itu sudah sangat baik padaku. Juga kepada kedua kakak kandungku. Kenikmatanku malam ini pun merupakan bagian dari nikmat kebaikan mereka. Membiayaiku kuliah dan setiap bulan memberiku uang jajan yang lebih. Setelah dihitung-hitung, mungkin itu lebih daripada yang diterima dan dirasakan ke-75 anggota KS 375 yang lain. Dan demi memberkahi rezeki pemberian beliau, aku suka berbagi nikmat itu bersama angkatan kuliah ajaibku. Atau rutin sedekah dana dan ilmu di panti asuhan binaan himpunan mahasiswa kami, Riyaadlul Jannah di Jatinangor. Sampai sekarang pun kita suka main ke situ.

Lain pamanku lain pula uwakku. Juragan pasir itu menyarankan agar aku mencari pekerjaan di Kuningan saja setelah lulus. Di sana, katanya, aku bisa menjadi PNS karena ada salah seorang sanak keluarga kami yang akan siap membantu pengurusannya. Dapat pula aku menjadi wakil rakyat daerah minim ilmu dan miskin keakraban dengan rakyat di kampung halamanku itu. Aku belum mengenal mereka, Sahabatku, apalagi mereka padaku. Dan itu bukan diriku.

Jika aku mau, ada kerabat yang berani mengusahakannya, begitu olonya. Alternatif lain, aku disarankan melanjutkan tradisi keluargaku, menjadi petani. Jelas ilmuku belum tiba ke sana. Kakak semata wayang ibuku pun memantapkan hatiku bahwa keluarga dari pihak istrinya yang rata-rata bermata pencaharian sebagai pengajar—guru, dosen, atau ustadz—itu siap sedia menampung hidupku selama masa membujang. Sungguh keluarga yang ramah dan berkah.

Asal kalian tahu, hampir sebulan penuh aku mengerjakan skripsi di rumah uwakku. AlhamduliLlah, aku bisa tepat waktu merampungkannya. Aku bisa fokus mengerjakan matakuliah 6 SKS (sistem kredit semester) sialan itu di sana. Aku bak raja di kaki Ciremai. Selain bertempur dengan makhluk menjijikkan bernama skripsi, lalu ikut serta budaya keluarga sederhana mereka menjalankan salat lima waktu secara disiplin berjamaah, pekerjaanku hanyalah tidur, nonton TV, dan dimanja bagai anak balita—mau makan dimasakkan; ditaruh di meja kerjaku; piringnya mereka cucikan pula; dan memberi apa yang kusukai selama nomaden.

Mereka sudah hapal makanan favorit semasa kecilku sebelum pindah ke Palembang: nasi goreng tanpa kecap dengan telur yang diorak-arik, Indomie rebus telur ayam bulat ditambah tiga buah irisan cabe rawit, surabi beserta jodoh atau pasangannya (gorengan oncom), dan taklupa menyediakan kerupuk putih setiap makan apa pun sebagai pemancing selera. Sesekalinya, jika bosan mengurung diri di kamar akucoba berjalan-jalan malas di tepi kolam belakang rumah. Menyenangkan hidup memberi makan puluhan ikan mujair dan nila.

Lihat selengkapnya