Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #10

Bab 9 - Dialog di dalam DAMRI

HUH!! Aku masih belum ikhlas dengan besok. Aku tidak tega melihat sebagian besar KS 375 yang masih keteteran kuliah mereka. Masih ada yang belum sempat memikirkan judul skripsi. Jangankan itu, kuliah saja mereka masih banyak yang mengulang. Belum lagi masalah mengulang praktikum dan itu tunggakan SPP. Terlebih kepada Trio D (Dalian, Darma, dan Danuri). Ketiganya sempat cuti kuliah karena suatu alasan. Tetapi melihat raut wajah mereka kemarin di kampus, rupa mereka tenang-tenang saja. Justru mereka yang malah menyemangatiku.

Wajah-wajah setia mereka seolah merantai atau gila memasung kakiku dengan hati-hati tulus mereka sehingga aku tidak bisa ke mana-mana. Meskipun besok aku lulus sidang sarjana dengan baik, mereka percaya dan yakin aku tidak bisa meninggalkan KS 375. Aku sepakat soal itu. Sejujurnya, aku masih memiliki harapan raksasa bersama mereka. Sekali lagi mereka bukan tipikal sahabat habis manis sepah dibuang atau tega berpedoman menusuk tubuhku dari belakang

Aku ingin lulus bersama mereka. Wisuda bersama dan memiliki usaha yang besar bersama orang-orang gila itu. Alangkah indahnya. Ya, aku tahu besok Suryani, Novaria, dan Arifah akan menemaniku memakai setelan jas di ruang yudisium. Ditambah dua orang senior kami dinyatakan lulus di sana. Menambah S.Sos. di buntut nama lengkap pemberian ayah-ibu kami. Besoknya, Daniel dan Mutiara menyusul sidang juga. Tapi bagiku, itu belum bisa membahagiakanku malam ini. Batinku masih ber-negative thinking: “Besok sidangku gagal!

Entah mengapa aku bisa diberi lulus cepat, sedangkan hari-hariku masih merasakan hati yang kurang nyaman: masih betah berkeliaran di Jatinangor atau mendengar keluhan adik-adik junior di tiap organisasi kampusku. Junior-juniorku belum siap mental dan pikir dengan yang namanya regenerasi. Itulah pentingnya sebuah regenerasi. Keseimbangan kebutuhan antara si tua dan si muda. Dengan sebuah sinergi yang berkesinambungan, semua kebutuhan itu menunjukkan satu titik. Benar, itu terjadi apabila kedua bagian tersebut tidak mementingkan ego masing-masing. Kerja sama tim di dalam konteks mewujudkan sebuah tujuan bersama. Apa tujuannya? Yang jelas yang muda tidak baik selalu disuapi atau dimanja-manja fasilitas oleh yang tua, dan yang tua tidak baik juga selalu merasa yang paling baik. Aku pun belum ada kepercayaan meninggalkan mereka, atau kerelaan hati memberi ruang. Dan ini yang memaku kakiku masih mau di sini.

Bang Aldiba, terus nasib komunitas film kita bagaimana?”

Kang Fadhil, pecinta alam kita lagi banyak masalah!”

Akhi, afwan, DKM kita sekarang ini lagi ada sedikit penurunan, jadi…”

Akang, kami bingung nih, Himpunan Mahasiswa KS belum ada kegiatan sama sekali! Bagaimana bisa kami melanjutkan kesuksesan akang-teteh senior?!”

Itulah keluhan mereka. Tunas pohon yang baru. Kayu bakar penggantiku. Aku akui, aku ini orangnya mudah trenyuh, iba, jatuh cinta, dan selalu kepikiran. Itu terjadi kepada siapa saja yang memberiku amanah, keluhan, kepercayaan, tanggung jawab, atau ikrar. Sampai detik ini pun, aku masih terus memikirkan keluhan mereka. Selebihnya semua organisasi kampus yang pernah aku rintis, urusi, bahkan aku pimpin. Aku harap mereka itu lebih baik dariku mengemban amanah. Dari cerita pamanku, aku jadi ingin seperti ayahku: sang organisatoris. Orang yang begitu totalitas berorganisasi. Bahkan ketika dirinya takada, ucapan, spirit, semangat, dan prestasinya masih ada serta hadir di organisasi tersebut.

Aku kadang bingung sendiri oleh keinginan hatiku. Bahkan asyik takjelas dengan tekadnya. Ia mengajakku untuk 100% menjadi seorang laki-laki yang beramanah dan penuh keikhlasan. Bahwasanya, sebelum ada pohon baru yang sedianya bisa lebih beramanah dari kemampuanku, dan mampu superloyaliti kepada api unggun yang dibakar bersama, dengan segenap jiwa-raga yang bersih aku istikomahkan hidupku penuh setelah lulus untuk tetap berada di Kecamatan Jatinangor hingga waktunya tiba. Itulah katanya diriku. Mungkin juga tabiat hasil didikan keluargaku; warisan gen ayahku yang sering diceritakan pamanku; atau memang prinsip hidupku yang belum kongkrit tereksplor di dunia ini. Tetapi entahlah. Tidak hanya hatiku, Daniel pun demikian bersikap pada diriku.

Selama mengenalku, ia sering sekali memunculkan potensi-potensi yang tersembunyi di balik bilik pribadi introverku. Keinginan usahanya adalah agar aku mampu mandiri mengeluarkan segala kemampuan terhebatku menggapai semua impian besarku. Begitu pula perhatiannya malam ini. Ia ingin akuhadapi satu monster ganas esok hari. Tetap menjadi diriku sendiri. Lebih mandiri.  

Brad, bagaimana nih besok?” tanyanya, membuka pembicaraan lagi, “lu harus banyak bersyukur, Brad! Nggak banyak mahasiswa di kampus kita ini yang bernasib beruntung kayak lu malam ini!”

Kedua tangannya masih erat memegang buku motivasi luar biasanya. Malam ini, ia begitu elegan dengan kacamata minusnya. Pantaslah banyak teman perempuan di kampusku yang menitip salam padanya. Apalagi sudah ber-S.Sos. nanti, lulusan tercepat. Jika aku anak perawan, sepertinya aku tergila-gila juga.

Wajah serius nan berwibawanya terus menguatkan keyakinanku. Besok aku berhasil menjadi seorang Sarjana Sosial teladan. Namun, keinginan tetap lulus bersama bintang-bintang KS 375 lebih kuat meyakinkanku. Sayang, ah, di satu sisi lain, aku juga mempunyai harapan yang jauh lebih besar daripada itu. Harapan untuknya, kakak sulungku. Aku takingin mengecewakannya. Sungguh aku ingin hidupnya bahagia. Apa pun akulakukan agar ia bangga mempunyai adik bungsu bernama Aldiba Fadhilah. Sidang sarjanaku besok adalah teruntuknya.

Lebih istimewa lagi untuk ‘pernikahannya.’ Duhai, kau, Saif Adam Ghazali, gelar S.Sos.-ku aku persembahkan untukmu. Jadi, tidak ada alasan lagi bagiku untuk menunda waktu, apalagi berpikiran besok sidangku gagal. Dan untukmu kakakku, tidak ada alasan lagi buatmu menunda hari pernikahan. Doakan besok sidangku meraih kunci pernikahanmu sukses. Selamat tinggal pikiran buruk!

“Terus dukung gua, Brad, lu sudah banyak membantu!” ujarku memohon.

Daniel tersenyum padaku penuh motivasi.

Brad, itulah mengapa kita dipertemukan,” jawabnya mantap, “lalu kita dipadukan dalam satu persaudaraan, KS 375. Padahal secara latar belakang kita semua berbeda-beda. Semua itu untuk kita saling mengenal dan menolong satu sama lain. Menjadi duta kesejahteraan sosial dengan passion masing-masing.”

Nuhun pisan, Brad!” seruku termotivasi, “jadi juga kita lulus bareng!”

Lihat selengkapnya