KETIKA UAS, aku dan Daniel selalu duduk bersebelahan. Begitu pula ketika kami kuliah. Kami sering berdiskusi di atas Chitose untuk membahas apa saja. Kadang kala diskusi soal film, musik, sastra, dan kadang juga soal buku motivasi. Chitose adalah kursi yang lengkap dengan papan mejanya—memiliki kegunaan sebagai alas untuk menulis—dan di bawah dudukannya terdapat satu set besi untuk menaruh tas kuliah, contekan ketika ujian, atau snack kotak ketika ada acara seminar. Ya, itulah salah satu aset negara yang harus kita lindungi.
Kenapa harus kita lindungi? Bagaimana tidak, kursi kuliah yang dibiayai oleh uang kas negara itu triplek permukaan mejanya suka dicurat-coret tidak bertanggung jawab oleh para mahasiswa seniman tiada beretikanya. Kadang mereka membuat lukisan gadis idaman di sana; menggambar nama atau logo band idola mereka; dan adapula yang berobsesi menjadi motivator andal dengan khas menuliskan aporisma yang sesuai isi hati mereka di sana, seperti:
“Hidup adalah hari ini. Besok adalah harapan. Dan kemarin itu adalah kenangan…”
“Indonesia, surganya kaum pengangguran!”
“Ya Allah, mudahkanlah segala urusanku, luluskanlah daku, please!”
“Yenny, I love U! Walau aku ‘tak tahu artinya apa, pokoknya I hope you.”
Mereka yang kreatif pun rajin menulis contekan di papan putih itu. Jika kalian ingin membaca buku gratis, datang saja ke sana, pasti akan banyak teori-teori, rumus-rumus, atau definisi-definisi apa pun yang tertulis rapi, nyeni, dan berkarakter. Untung saja Pembantu Dekan I (PD I) kami yang mengurus bagian akademik sangat baik lagi teladan orangnya. Setiap ajaran baru, kreativitas negatif mahasiswa itu langsung dihapus bersih oleh pegawai setianya. Tapi, jika memang sudah tidak layak pakai lagi, aset negara itu akan diganti dengan yang baru. Begitu seterusnya dalam setiap tahun ajaran barunya.
Prinsip sang PD I adalah jika kelas bersih maka pikiran mahasiswa akan bersih pula, dan kuliah pun bersih. Tidak hanya baik dan teladan, dosen plontos di depan itu ternyata juga memiliki andil besar terhadap prestasiku di kampus. Aku janji, akan menceritakan kisahnya kepada kalian nanti. Dosen jurusan Antropologi Sosial lulusan luar negeri top, yang sederhana, tidak membawa kendaraan ke kampus, mengutamakan mahasiswa dan karyawan, dan jadi bagian pengaruh hidupku. Ia sang dosen sederhana yang merakyat dan pro mahasiswa.
Kembali pada aku dan Daniel, nomor pokok mahasiswa (NPM) kami pasti berdekatan sekali, G1C03075 dan G1C03076. Aku ketiga paling terakhir, dan ia sesudahku. Hal itulah yang membuat setiap kami UAS, tempat duduk kami selalu berdampingan dan berada di barisan terbelakang. NPM di kampusku ditentukan waktu pendaftaran ulang kami sebagai mahasiswa baru yang nama lengkapnya tercatat di koran ataupun tertera pada laman web khusus pengumuman SPMB.
Semakin cepat mahasiswa baru mendaftar ulang maka semakin awal pula mereka mendapatkan nomor NPM. Siapakah orang yang paling pagi mendaftar ulang di angkatan kuliahku?
Ya, siapa lagi kalau bukanlah Ariesta Floreta, mahasiswi KS 375 yang beruntung mendapatkan NPM G1C03001. Sahabat, wajarlah Ariesta meraihnya. Ia adalah perempuan paling perfeksionis, superdisiplin, teliti, tegas, konsisten, dan cekatan yang pernah aku kenal. Jadwal daftar ulang fakultas waktu itu jam 8 pagi, tepat jam 7 pagi Ariesta sudah hadir di lokasi. Ketika kuliah pun ia selalu datang lebih awal dan rajin mengambil Chitose di barisan paling depan, tepat di depan meja dosen. Kadang kali ia duduk sendiri di barisan itu, dan baru ada orang di barisan kedua. Sedangkan manusia beruntung yang mendapatkan NPM paling bontot, G1C03077, jatuh kepada Danuri Sulaiman, personil 3D.
Pemuda asal kawasan Bandung Selatan yang rawan banjir dan pusat konveksi itu tergolong mahasiswa yang jarang kuliah. Orang lain sibuk mencari judul skripsi, atau stress lantaran draf skripsi hasil bimbingan mereka dicurat-coret takberperasaan oleh sang pembimbing, seperti si G1C03001 Ariesta yang sempat jadi pasien salah seorang psikiater ternama di Jakarta, bahkan ketika aku-Suryani-Arifah-Novaria besok akan sidang sarjana, tetapi Danuri malah masih sibuk dengan kuliahnya bersama angkatan bawah. Setia ditemani Darma dan Dalian yang senasib. Dua tahun lagi mereka bisa mengejar perjalanku malam ini.
**
Hal yang paling memalukan ketika kuliah ialah mengulang matakuliah. Otomatis kita duduk di antara adik-adik tingkat yang pernah kita ospek; kita berikan tips bagaimana menjadi mahasiswa teladan yang antimengulang kuliah; atau ini parahnya di antara mereka ada yang sedang kita incar. Di situlah kepintaran atau kebodohan kita diuji. Danuri mengulang beberapa matakuliah bukan karena nilainya jelek, atau tidak puas dengan hanya nilai ‘B’, tetapi karena beberapa semester ke belakang ia sempat menghilang entah ke mana dan alasannya apa—sebelum akhirnya si kecil Puspita mengajaknya kembali ke kampus.
Danuri Sulaiman adalah kerabatku juga ketika ujian semester. Sesama pemilik NPM terakhir. Oh ya, sedikit cerita tentang bagian kata atau huruf yang tertera pada NPM angkatanku. Huruf ‘G’ mengartikan kode fakultasku, angka ‘1’ mengartikan program Strata 1 (S1), lalu huruf ‘C’ mengartikan kode jurusan kuliahku, angka ‘03’ mengartikan tahun masuk angkatan kuliahku, dan angka ‘001 hingga 077’ mengartikan nomor keberuntungan kami.
Ada alasan besar mengapa aku, Daniel, dan Danuri mendapatkan NPM terbelakang. Alasanku karena aku termasuk mahasiswa luar daerah, yang mempunyai kelonggaran selama dua hari untuk mendaftar ulang. Jadilah aku mahasiswa baru FISIP satu-satunya yang mendaftar ulang pada waktu mahasiswa baru Fakultas Peternakan (FAPET) registrasi. Daniel pun sama. Ia telat juga mendaftar ulang. Alasannya bukan karena termasuk mahasiswa luar daerah. Tetapi risennya waktu itu, ia baru saja sembuh dari sakit yang cukup parah sehingga tidak bisa hadir pada waktu daftar ulang khusus mahasiswa baru FISIP. Lagi pula ia mendaftar SPMB melalui panitia lokal Bandung, jadi takmemiliki kelonggaran sepertiku. Sebuah perjuangan besar ia bisa malam ini tersenyum.