Bandung, 20 Februari 2005
KALIAN akan kuberi tahu, karena siapa aku fokus mengambil tema penelitian skripsiku tentang dunia anak-anak, hingga aku kenalkan peranan seorang helper yang begitu mulia pekerjaan mereka mendampingi anak ABK di sekolah inklusi, dan aku telah meluluskannya. Juga kalian pasti tahu, karena siapa aku mengambil judul penelitianku di SD Inklusi Bunga Indonesia. Sekolah pionir penggabungan siswa normal dengan anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas yang kreatif di Bandung. Seseorang yang ingin kuluangkan sisa hidupku, jadi sahabat terbaiknya.
Sedikit gambaran, selain Arifah-Suryani-Novaria, manusia berhati lembut yang bertanggung jawab menyarjakan aku pada tanggal 11 Februari 2008 adalah satu nama yang selama ini menjadi mitra skripsiku, yang setiap ada kesempatan menanyai dan mengintrogasi perkembangan skripsiku, seorang karib mendaki gunung dan menggembelku, dan sahabat yang sempat berikrar denganku di dalam bus DAMRI Jatinangor - Dipati Ukur—4 tahun silam.
Karena itulah dalam kesempatan yang langka ini aku ingin mengisahkan sebait puisi kehidupannya kepada kalian. Tidak hanya ketika kami berhasil menaklukkan puncak tertinggi di Jawa Barat, pertautan hati kami mendirikan komunitas film di kampus, atau kekagumanku padanya yang begitu bersahabat ia merangkul para penyidap HIV/AIDS binaan LSM-nya di kota Bandung, tapi juga aku mengisahkan kekecewaan besarku padanya, dan mengutuknya mati saja.
Cerita berawal pada bulan Februari, bulan romantis, tiga tahun yang lalu. Sampailah aku di rumah Endut. Aku baru tahu kalau Daniel Peter Yosepha yang jantan dan jagoan di rumahnya dipanggil Endut. Hem, gendut dari mana?
“Waktu kecil gua ini gendut sekali, Brad. Namanya anak bungsu panggilan kesayangan keluarga itu terus menempel sampai sekarang,” jawabnya ketika aku tanya sejarahnya. Aku berucap syukur kepada Tuhan, ya, karena nama panggilan kecilku dari nenekku tidak terdengar lagi hingga sekarang: Otong.
Aku belum salat magrib. Telat. Sekitar 17 menit lagi masuk waktu isya. Alangkah malunya putra bungsu Pak Guru Abdurrahman Auf jika saja diketahui warga di tempat kelahirannya, melalaikan salat. Bagaimana tidak, selain guru Bahasa Inggris SMU di Cirebon, ayahnya juga guru mengaji yang disenangi di desanya. Warga Desa Japara, di Kab. Kuningan, itu pasti berpikir, kehidupan kota besar merusak kedisiplinan ibadah salah seorang putra guru ngaji mereka. Aku juga merasa malu, jika Mama Ucu—pamanku, pengasuhku, di kota Palembang sana—yang suka tiba-tiba menelepon, menanyakanku sudah salat apa belum. Padahal untuk menjalankan salah satu rukun Islam tepat waktu itu, Aa’ Adam saat memberi tumpangan padaku pada awal kuliahku menasihatiku: “Keimanan, ketakwaan, keserasian, keberhasilan, kesuksesan, dan kebahagiaan berawal dari kedisiplinan. Kedisiplinan tercipta dari salat lima waktu dengan tepat waktu.”
Ya, baiklah aku jelaskan mengapa aku bisa telat menunaikan magribku hari itu. Aku dan Daniel baru saja mendapat undangan yang bertempat di salah satu mall di Bandung. Sangat jarang anak-anak kos Jatinangor sebangsa aku, Rasyid, Awan, apalagi Wiku, jalan-jalan ke Bandung, walau sekadar menongkrong atau cuci mata memutari pusat keramaian. Wiku saja yang rumahnya di Bandung malah rajin mainnya ke hutan. Zaqi ulang tahun hari itu. Ia yang sedang puber bermain bilyar, mengajak semua penghuni kosanku, Pondok Hidayah, tanpa terkecuali untuk ia traktir bermain bilyar di Planet Dago. Guru romantisku itu jika diberi rezeki lebih oleh Tuhan pasti sangat royal memanjakan teman. Apalagi untuk sesuatu yang sangat ia sukai. Itulah salah satu didikan ayahnya yang kukenal. Ayahnya juga begitu. Hem, buah matang yang jatuh pasti tidak jauh dari pohonnya. Ketika ada waktu liburan mengunjungi anak sulungnya ke Pondok Hidayah, ayahnya itu sangat tidak segan-segan mengumpulkan semua penghuni kos asli beserta para penghuni gelapnya, lalu ia giring semuanya ke tempat makan yang memuat banyak orang. Mentraktir kami semua makan enak dan pasti kenyang. Dan suka marah kalau kami sampai malu-malu ataupun segan.
“Setahun sekali!” ujar sang ayah pada kami. Tapi nyatanya hampir 2 - 4 kali dalam setahun mengunjungi Zaqi, dan melakukan hal yang sama. “Setahun sekali!” ujarnya terus dan terus begitu sehingga Zaqi lulus.
Setelah sangat puas ditraktir bermain bilyar oleh juragan Zaqi, para penghuni Pondok Hidayah pun langsung pulang ke Jatinangor dengan menyewa satu angkot. Bos Zaqi yang menanggungnya. Sementara itu, aku malah diajak Daniel mampir dahulu ke rumahnya untuk mengambil pakaian gantinya dan beberapa buku. Kemudian setelah itu baru menyusul mereka. Kami pun berpisah dan saling pamitan. Dan hari itu menjadi hari pertamaku ke rumahnya.
Aku meminta izin pada Daniel untuk menumpang salat di kamarnya. Kamar lelaki yang dipenuhi pernak-pernik Spider-Man. Adapula dua poster artis berbingkai besar di sana. Daniel menuruni anak tangga, menemui ayah-ibunya yang telah beruban di ruangan bawah. Keduanya tengah asyik bersantai sambil menonton TV. Di rumah kecilnya, hanya mereka bertiga. Sandriano Ludwiqan, kakak laki-lakinya yang umurnya tidak jauh darinya, mahasiswa sekolah seni di Bandung itu sangat jarang ada di rumah. Daniel pun menanyakan sesuatu pada ibunya, satu-satunya yang biasa salat di rumah itu. Sang ibu pun menjawabnya dengan senang. Ternyata Daniel membawa teman yang baik, kali itu, mau salat.
“Fadhil, ini sajadahnya. Kiblatnya ke arah sana ya!” ujar Daniel setelah menjumpaiku. “Terus wudunya di kamar mandi bawah, dekat dapur. Santai saja di rumah lagi sepi, cuma kami bertiga yang tinggal di sini! Gua tunggu di sini ya!”
“Oke, siap, Brad!”
Lantas aku mengikuti petunjuknya, dan menemui ibunya di lantai bawah.
Aku melaksanakan magribku kali itu dengan khusyuk. Entah menurut Allah Swt.. Yang penting aku melaksanakannya dengan penuh konsentrasi dan hati yang tenang. Apa karena aku melakukannya di kamar Daniel?
Ah, sudahlah, sepertinya perutku lirih merasa meminta jatahnya. Di luar pikiranku, Daniel mengajakku ke ruang favoritnya, ruang makan sekaligus ruang hiburan di rumah yang paling mungil sendiri di antara deretan bangunan lainnya di daerah itu. Rumah Daniel terletak di pinggir jalan sebuah kawasan belanja mewah dan sekolah-sekolah bonafit di kota Bandung. Untuk bisa sampai ke gedung Jonas Fhoto—syarat jadi anak muda Bandung, punya foto studio Jonas bersama geng, kelas, panitia, komunitas, atau pasangannya—tidak terlalu jauh dari rumahnya. Jalan kaki pun tidak akan sampai seribu kali melangkah.