Masih di tahun 2005, sekitar tiga tahun yang lalu
LSM? Di satu hari yang aku lupa nama harinya dan tanggalnya, ketika kami sudah menjalani semester 4. Pada sebuah kuliah kami dikenalkan satu nama yang saat itu baru Daniel dan Sinna yang memahaminya: Lembaga Swadaya Masyarakat atau biasa disingkat LSM. LSM sendiri merupakan organisasi non-pemerintah (ornop) yang didirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang secara sukarela dengan tujuan memberikan pelayanan [sosial] kepada masyarakat umum tanpa berorientasi memperoleh keuntungan materi dari program atau kegiatannya. Seringkali aku mendengarnya dengan istilah nirlaba. Materi tentang LSM itu di jurusan kami dibahas pada matakuliah Teori Praktik Pekerjaan Sosial (TPPS) yang dipegang oleh dosen muda dan kreatif favoritku: Joni Priyono, M.Si..
Dosen berpakaian sederhana itu membuka wawasan tentang kategori-kategori LSM, program-program yang mereka lakukan, dan bagaimana aktivitas mereka bisa bertahan. Selain itu, ahli case-work kebanggan jurusan kami juga memaparkan beberapa lembaga yang menggunakan teori praktik pekerjaan sosial dalam operasional mereka. Sebagian besar yang mempraktikkannya itu adalah yayasan sosial, seperti panti asuhan, rumah singgah, dan beberapa LSM tertentu. LSM atau sering disebut juga NGO (non-governmental organization) saat itu tengah hangat diperbincangkan. Yaitu lembaga yang katanya mendapat bantuan dari para donatur swasta yang mempercayai mereka, ada pula yang dari bantuan provinsi, dan ada pula yang menyebutkan dari NGO internasional, atau dari beberapa negara maju di Eropa yang memiliki dana kemanusiaan untuk negara-negara dunia ketiga (negara berkembang) di wilayah Asia dan Afrika.
Bahkan beberapanya itu ada yang berdiri di bawah kerja sama dengan pemerintah Amerika Serikat, Kanada, dan Australia, serta dari lembaga sosial yang bernaung di bawah gedung PBB. Dengan tujuan membantu pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perbaikan ekonomi di negara-negara dunia ketiga yang rawan kemiskinan, bencana alam, dan korban perang.
Dalam praktiknya, LSM atau NGO yang ada di Indonesia, tidak banyak memiliki staf, seperti halnya di kantor-kantor kebanyakan, apalagi di pabrik. Ya, sekitar 3 - 7 orang, di luar tenaga ahli. Bahkan ada yang hanya dikelola 1 - 2 orang saja. Strategi operasionalnya, untuk melaksanakan program-programnya, mereka banyak melibatkan tenaga sukarelawan atau biasa disebut voluntir: mereka yang haus pengalaman, ilmu, dan menambah banyak saudara.
Entahlah, LSM itu sebuah ikatan khusus dengan gelar sarjana kami (S.Sos.), atau tidak? Seperti Sarjana Akuntansi dengan kantor akuntan publiknya, Sarjana Hukum dengan kantor kehakiman atau pengacaranya, Sarjana Pertanian dengan dinas pertaniannya, Sarjana Hubungan Internasional dengan kantor kedutaannya, Sarjana Ilmu Politik dengan instansi pemerintahannya, dan Sarjana Teknik dengan industri pembangunan atau pengembangan wilayah di negaranya. Kadang, jika ada orang awam atau teman kami di fakultas lain bertanya tentang jurusanku. Lalu aku jawab nama jurusanku, “Ilmu Kesejahteraan Sosial!” Dan mereka pasti menyambungnya: “Oh, nanti kerjanya di LSM, ya?!”
Cukupkah tujuan pekerjaan kami hanya di LSM-LSM? Menurut Daniel dan Sinna, ada LSM yang bergerak di bidang perlindungan anak, penampungan anak jalanan, pembinaan anak berkebutuhan khusus (ABK), perlindungan perempuan, pemberdayaan masyarakat, penanggulangan narkoba, rehabilitas penderita dan pencegahan HIV/AIDS, pelestarian lingkungan, perawatan manula, dan advokasi keadilan sosial. Menurut mereka berdua juga, LSM terbagi menjadi tiga fokus pengelolaannya: advokasi, pemberdayaan, dan rehabilitasi. Aku tidak tahu jelasnya seperti apa, serta mekanisme kerjanya bagaimana. Intinya satu. Klasik. Dana. Semakin bagus LSM mempraktikkan ilmu sosialnya kepada masyarakat maka semakin besar pula funding (lembaga pendonor dana) memberi bantuan.
Apabila berlari menyoroti permasalahan dana. Yayasan atau lembaga itu awalnya datang atas dasar sebuah idealisme, ‘memberi pelayanan sosial kepada mayarakat’ ataukah profit ‘mencari keuntungan di balik kerja sosialnya’?
Aku kadang dibingungkan soal itu. Bagaimana orang-orang idealis itu menafkahi keluarganya? Tapi menurut ketua jurusanku, ketika aku, Wiku, Rasyid, Awan, Zaqi, Daniel, Sinna, suka berkunjung ke kantornya: “Selama yayasan atau lembaga itu melaksanakan fungsinya dengan baik, mengoptimalkan perannya sesuai kebutuhan masyarakat, dan sama-sama saling menguntungkan—bukan materi yang jelas, itu tidak masalah. Yang bermasalah itu, ya, mengambil hak orang lain atau mengambil keuntungan sendiri dengan menjual nama orang lain—yang sedang mengidap kesusahan. Tidak hanya masalah, tapi juga dosa!”
Huh! Semoga saja aku bisa paham. Dan ke depannya pikiranku mampu terbuka. Terbuka bahwa sarjana KS tidak hanya mengurusi anak jalanan, anak panti asuhan, pengemis, dan gelandangan saja. Yang banyak diidentikkan orang-orang. Tapi ke depan, kuyakin, para sarjana KS bisa menjadi pemimpin-pemimpin bangsa, pionir-pionir pembangunan, dan yang lebih penting bisa bersaing dengan sarjana-sarjana lain yang ada di luar sana. Karena ilmu kami, menyejahterakan masyarakat. Siapa pun mereka, termasuk para anggota dewan ataupun presiden.
Orang-orang pesimis bilang, ilmu kami tidak dikuliahkan pun semua orang bisa mempelajarinya. Ya, benar. Tiada salahnya berpersepsi begitu. Tapi segala ilmu jika tidak diamalkan sama juga dengan sampah. Presiden, menteri, dokter, insinyur, ekonom, lawyer, tukang becak, pedagang, sopir, guru, atau siapa pun bisa dikatakan pekerja sosial. Menguasai ilmu kami. Mengamalkan ilmu kami. Selama mereka bisa melaksanakan keberfungsian sosial di masyarakat dengan baik, maka sudah dikatakan sebagai pekerja sosial. Tidak perlu bersusah-payah empat tahun atau lebih untuk kuliah seperti kami, atau mendirikan LSM atau yayasan seperti mereka. Sebegitu mudahkan siapa pun menjadi peksos?!
Kelas TPPS itu pun bubar. Matahari di Jatinangor mulai terasa panas. Tapi udaranya terasa dingin. Aneh. Suhu yang mampu membuat orang sakit. Hampir sebulan lebih aku tidak melihat Daniel. Sahabatku yang sering mengingatkanku untuk rajin kuliah, membaca buku sosial, dan aktif beraktualisasi di kampus. Saat kubutuhkan pemikirannya dan juga perannya itu malah ia menghilang. HP-nya tidak bisa dihubungi. Anak-anak Seven Souls—tujuh mahasiswi KS 375 yang kompak dan kreatif, terdiri dari: Sekar Ayu Ambarwati (Ienez), Ratih Amanda Nekma (Ratih), Ariane Astadewi (Ane), Elvida Nanindatyas (Evi), Indriani Kemala Citra Binari (Riani), Margareth Tiur Magdalena (Greta), dan Amrina Zubaeda (Zubaeda) yang ke mana-mana selalu bersama—tidak seorang pun yang tahu.
Padahal biasanya, mereka bertujuh itulah yang sering bersama-sama Daniel, makan siang di kantin, jalan-jalan ke Bandung jika ada waktu kosong atau tidak ada dosen, atau sekadar menongkrong di tangga masuk kantin FISIP—area kekuasaan KS 375. Bahkan tugas-tugas kuliah Daniel pun sering mereka buatkan.
“Ienez juga berkali-kali ngehubungin Daniel, tapi HP-nya tidak pernah nyambung!” seru Ienez ketika kutanya keberadaannya.
Ienez, putri bungsu dan satu-satunya perwira Kopassus yang jago modern dance, breakdance, dan memasak makanan Eropa itu adalah anggota teater juga ketika SMU-nya—tapi yang aktif. Sahabatku, kalau dipikir-pikir aku dan Ienez ini memiliki banyak kemiripan. Penggila teater, dance, Agnes Monica, dan David Beckham. Setelah tahu ia sangat fanatik dengan Beckham, maka aku mengganti satu-satunya pemain sepakbola yang aku gemari dengan yang lain. Terpilihlah kiper jangkung asal Belanda, Edwin Van Der Saar. Oleh begitu maniaknya Ienez.
“Mungkin dia dinikahi orang tuanya?” sahut Ratih, duet bercanda Daniel.
“Ah, yang benar saja kau bercakap, Tih. Masa kita teman dekatnya tidak diundang. Napsu sekali si Daniel, seumuran kita sudah main nikah-nikah saja!” cetus Greta, yang memang sulit untuk mengajaknya bercanda. Ucapannya pun langsung memancing tawa anggota Seven Souls yang lain. Terlebih Zubaeda yang suka heboh sendiri kalau tertawa. Gelas saja bisa pecah kalau ia mengakak.
“Baiklah, kakak-kakak Seven Souls yang cantik, aku pulang dulu!” pamitku pada mereka. Aku tidak mau berpanjang lebar dengan mereka. Aku butuh sekali istirahat. Juga teman diskusi. Hari itu, otakku benar-benar dilanda kebuntuan tingkat tinggi. Tripotents Challenges-ku harus segera diberi panggungnya.