PEKAN itu aku menjadi asing bertemu Daniel. Dua bulan lebih ia menghilang. Rutinitas di kampusku pun membuatku canggung berjumpa dengannya. Aku pun telah menyibukkan diri dengan mengikuti pelbagai kepanitiaan. Daniel sungguh malas mengikuti kegiatan sepertiku. Entahlah, ia sibuk dengan band-nya atau benar kata Ratih, ia sudah dinikahkan. Untuk melepaskan rasa kehilangan teman diskusi atau bermimpi, sisa waktu kuhabiskan di Fakultas Sastra: latihan teater bersama anak-anak Teater Djati, UKH atau gelanggang jurusan Sastra Indonesia.
Okelah, jika dekat kami memang bisa seperti biasa, tapi ketika momen bertemu itu habis kami menjadi masing-masing kembali. Ketika aku serius mewacanakan UKH film jurusan yang baru dibentuk padanya. Disusul kemudian akan dibentuk UKH lainnya, seperti UKH pecinta alam (KampaKS; Komunitas Aktivis Mahasiswa Pecinta Alam Ilmu Kesejahteraan Sosial), UKH pecinta anak (Kompak), UKH konseling (Lakonperi), UKH bahasa Inggris (English Club), dan UKH kebencanaan-alaman (Crisis Centre). Tapi salah seorang manusia cerdas dan multi-talenta juga itu malah berkata, “Fokus, wujudkan, dan semangat!”
Kau menolak bergabung dengan cinemaKS—nama UKH film itu jadinya—secara halus. Bukankah sepulang dari liburan engkau, aku, Rasyid, dan Awan ke Jogja itu kita berdua banyak membahas ingin sama-sama memajukan himpunan dan jurusan? Bukankah juga ketika bermain bilyar di ulang tahun Zaqi kita pernah membahas dengan Rasyid akan membentuk klub film atau musik? Dan kaulah yang membuat aku semangat mewujudkan itu semua. Tapi mengapa kau tidak mau membantuku? Meski sudah ada orang-orang luar biasa pada bidangnya dalam tim, tapi kurasa masih kurang satu orang lagi. Satu lagi, kumohon, Brad.
KS 375 memang di cinemaKS sudah ada diwakilkan Rasyid, Firman, Zaqi, Bustomi, dan Riani. Tomi aku ajak karena ia senang disain grafis dan scoring. Zaqi aku paksa bergabung karena berbakat menjadi reporter, presenter, atau dubber. Begitu juga aku rekrut salah seorang Seven Souls, Riani, si penggila olah raga basket itu adalah pemerhati musik dan film yang baik. Tapi, aku butuh KS 375 seorang lagi. Kau, Brad. Setahuku kau juga tidak terlibat perintisan KampaKS yang dipioniri Wiku, Awan, dan Sinna. Ke manakah dirimu Daniel Peter Yosepha?
The White Casanova? Ide kita berdua beberapa minggu sepulang dari Jogja, aku masih mengingatnya. Kita menghamburkan ide gila itu di dalam mobil Micky. Ketika itu, aku dan Zaqi tengah menunggu bus di depan gerbang UNPAD. Si Melayu Klimis itu mau mengajakku ke tempat kos teman SMU-nya di Bandung. Tempat biasa anak-anak pulau itu berkumpul. Demi bebas berbicara bahasa Belitung di sana. Tiba-tiba mobil Micky melintas. Kau yang ada di dalam mobil itu pun mengangkut kami berdua, mengantarkan kami ke tempat tujuan. Nah, di dalam Genio hijau gelap itulah ada wacana cikal bakal klub film di KS UNPAD.
“Fadh, kita harus memajukan Himpunan kita!?” Kau berkata seperti itu. Aku sangat ingat itu. “Cobalah bakat luar biasa lu dikembangkan di sini! Sayang kalau bakat lu terus lu erami setiap hari! Sudah waktunya telur itu dipecahkan!”
“Benar, Brad! Gua coba mengerti sekarang kenapa gua bisa terdampar di KS FISIP UNPAD dan meninggalkan Sinematografi IKJ,” jawabku, masih berambisi besar kuliah kesenian. “KS 375 memang the best-lah, penghibur segala lara gua.”
“Mungkin nasib lu ‘gak hanya di film, Brad. Bahkan juga impian lu nggak cuma jadi seorang filmmaker di dunia ini. Oleh sebab itu, Tuhan mendamparkan lu di KS UNPAD, dan tinggal di kota Bandung. Bukankah Bandung itu kota idaman lu sejak kecil? Atau itu jawaban doa lu pas ujan-ujanan pulang dari rumah gua.”
“Sok tahu lu, Dan. Dan pastinya jawabannya, karena gua ketemu kalian, KS 375,” agulku. “Tapi, Brad, gua di Jatinangor, bukan di Bandung!”
“Hem, sudah enak lu di Bandung, kenapa juga lu pindah ke Jatinangor!”
Aku tidak menjawabnya. Hanya memberi senyum, itu juga kalau ia yang berada di samping sopir melihat. Tapi benar kata Daniel, cita-citaku bukan hanya menjadi filmmaker tok. Tuhan masih ada memberi kesempatan kepadaku untuk mengembangkan potensi diriku yang lain. Tinggal bagaimana kepekaanku saja.
“Segala sesuatu yang Tuhan turunkan ke bumi ini nggak ada yang sia-sia, Brad!” bijaknya serius, “tinggal manusianya saja, mau bersyukur atau tidak! Mau berpikir atau tidak! Mau bergerak atau bertindak tidak!”
“Benar sekali, Brad!” sahut Micky, asyik di balik kemudi Genio hijau gelapnya. “Seperti menciptakan si Endut yang jadi pujaan seantaro FISIP.”
“Hahaha… ngehe lu, Sob!”
“Brad, mungkin ini cukup klasik. Tuhan menciptakan serangga bernama nyamuk dan hampir semua orang membencinya. Tapi oleh orang yang berpikir, makhluk kecil nan galak itu dijadikan inspirasi untuk membangun pabrik Baygon, Hit, Tiga Roda, Vape, Lavenda, Autan, ataupun Morten. Rumah kotor kita pun diinspirasi orang untuk menciptakan sapu lantai, kemoceng, pembersih ruangan, pengharum ruangan, pajangan rumah, asbak, tirai, alas lantai, dan sebagainya. Dari situlah, selain kita diingatkan masalah pentingnya ‘kebersihan’ juga pabrik-pabrik pembuat produk tersebut dapat perkerjakan ribuan manusia, ribuan!”
Wow! Kembali Daniel membuatku terkejut. Kagum. Tersentil. Ucapannya sungguh mistik. Biasanya si Mistikus Miskin Wiku yang pandai berbuih perkataan sejenis itu. Aku sudah lupa analisis rasa syukur tersebut. Seingatku dulu ketika belajar Pendidikan Agama Islam, kelas 1 SMU, 4 tahun sebelumnya. Itu sudah lama sekali. Aku diingatkan kembali oleh seorang yang pendiam. Dan pasti akan membuat orang lain tidak percaya, kalau ia barusan berbicara seperti itu. Ia selalu begitu. Seperti ada yang disembunyikan dalam dirinya, dariku.