Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #15

Bab 14 - Film atau novel, sutradara atau sastrawan

“KULIAH bersama, wisuda bersama, sukses bersama, dan bahagia bersama ….” itu hanya euforimu saja, Kawan! Satu setengah tahun kemarin memang iya. Tapi detik jam dinding sekarang… Kau bilang kita harus rajin kuliah karena bagian dari doa kedua orang tua kita. Tapi kau dua bulan lebih menghilang. Di saat aku membutuhkannya. Bahkan tugas-tugas kuliahmu selama menghilang, Ienez yang membuatkannya. Dan absen kuliahmu pun Ratih yang rajin menandatangani.

Kau bilang kita harus wisuda bersama, lulus tepat waktu, jangan sampai membuat kecewa anak-anak yang kesulitan ekonomi dan tidak dapat merasakan kuliah seberuntung kita. Meski kita tidak mengharapkan gelar S.Sos., tapi S.Sn.. Kau bilang juga kita akan sukses bersama setelah lulus nanti. Dan selama kuliah itulah kita mulai sama-sama membangunnya, termasuk mendirikan UKH film, UKH pecinta alam, bahkan UKH perlindungan anak jalanan. Sudah itu bahagialah kita sebelum usia 30 tahun. Tapi, tapi, ikrar bus DAMRI itu ternyata dusta!

Telah lama sekali akumengikhlaskan dipisahkan dengan sahabat rohaniku, Pa’ang, sahabat sosialku, Robin, dan sahabat sastraku, Hana. Mereka yang telah memiliki dunia masing-masing, jauh di seberang pulau sana. Seharusnya mereka kuliah di KS bersamaku, atau di mana saja asal di Jatinangor. Jika mereka di sini, mungkin sudah lama aku mengaktifkan ketiga potensiku di kampus. Pa’ang entah di mana? Kuliah atau tidak? Bagaimana cita-citanya menjadi dokter Muslim? Robin juga takada kabar lagi setelah ditolak orang tuanya untuk kuliah di IKJ atau di Bandung? Bagaimana juga nasib band underground-nya? Apa kabar juga Hana di UNSRI? Apakah cita-cita wartawan dan penulisnya masih ia genggam?

Tiga guru kepribadianku pun jarang kulihat hitam rambutnya di kampus. Walau ada itu pun takdapat berjam-jam berada di dalam kornea mataku. Wiku mencoba serius kuliah di UNPAD, setelah merasa gagal di UGM, bahkan katanya ia sempat berjualan togel untuk biaya kuliahnya di sana. Di UNPAD pun ia sedang banyak mengerjakan orderan kaos kepanitian dari beberapa fakultas dan juga jaket angkatan kuliah. Semua itu agar kuliahnya di KS dan aktivitas mendaki gunungnya berjalan terus. Aku tidak boleh mengganggu aktivitas wiraswastanya.

Halim Musyaffa, semenjak menjadi orang nomor 1 di DKM, ia lebih aktif di mushola, menyampaikan mentoring kepada adik-adik mentornya, dan juga mencari dana sumbangan ke sana-ke mari guna memperluas mushola fakultas. Aku pun kurang baik mengganggu misinya memajukan FISIP lebih berprestasi itu.

Zaqi? Apa yang ia kejar menjelang akhir semester 4 itu? Ia lebih banyak di Bandung bersama teman-teman Belitungnya, ketimbang aku, kembaran dan juga bayangannya. Orang yang selalu mendukung apa pun yang kukerjakan, meski itu mustahil atau unpredictable baginya, tapi ia selalu jadi oli dan bensin yang baik.

Hari itu, Sahabat, aku seperti remaja gadis berpenyakit food’s conditional syndrome—istilahku sendiri. Makanan bisa memiliki nilai sejarah dan pengingat film kita di masa lalu atau obat penawar racun bagi si pengidapnya. Misalkan, jika makan stroberi ia akan teringat pacar pertamanya. Jika makan mie Anak Mas dan cokelat Cap Ayam Jago ia akan terkenang masa SD-nya. Nah, saat mau kembali merasakan momen yang telah lama ia lewati atau kangen dengan manusianya, biasanya ia akan mencari lalu memakan sesuatu yang dianggapnya bersejarah. Atau bisa juga, ketika ia merasakan stress karena bermasalah dengan orang-orang di rumahnya atau baru diputuskan pacar, ia akan mencari es krim dan memakan sebanyak-banyaknya. Aku pun suka mengalami sindrom itu.

Jika aku kangen suasana Palembang, aku biasakan seorang diri mencari warung pempek, lalu di sana memesan pempek dan berdiam secukupnya hingga rasa kangen tersebut lepas. Dan jika aku rindu rumahku di Kuningan, nenekku, atau kedua orang tuaku, dan belum ada waktu kosong pulang ke sana meski tidak sejauh ke Palembang, aku pun mencari makanan yang biasa dimakan ketika di Kuningan: surabi plus gorengan oncom, nasi goreng putih ciri khasku yang di kota sering disebut nasi goreng kampung—biasa tanpa kecap, ada irisan cabai rawitnya, telur orak-arik, dan kalau ada dikasih potongan halus seledri atau daun bawang Kuningan—, belut goreng takterlalu kering, baso sapi kuah kikil, atau bubur ayam kampung. Dan food’s conditional syndrome-ku saat itu, setengah gila merindukan seseorang yang ada di seberang nun jauh di sana. Ia yang bukan keluargaku atau ketiga sahabat istimewaku. Mendadak aku kangen suasana kota yang telah 6 tahun mendidik mentalku. Lalu kucari warung pempek di Jatinangor.

Aku mencari yang asli, meski tidak seenak pempek Pak Raden, Nony, dan Candy tentunya, yang penting penjualnya asli orang Palembang. Aku tidak mau memakan pempek yang keras, asal buat, lalu mengaku pempek khas Palembang. Itulah produk yang akan mempertanyakan citra rasa enak atau tidaknya pempek Palembang oleh para pecinta kuliner. Bagaimana jika ada traveler asing yang ingin mencicipi pempek, tapi malah memakan yang miskin ikan dan kurang bagus pengadonannya? Mereka pasti bilang di negaranya dalam jurnalnya: “Pempek?!”

Dua puluh menit aku berjalan seorang. Mencari. Harus mendapatkannya. Beberapa hari yang lalu aku sering melintasi jalanan Jatinangor yang mulai ramai, dan kuperhatikan hanya ada sekitar 3 - 4 warung pempek di sana. Dan dari penampilannya hanya ada satu warung yang benar-benar asli dari Palembang, bukan buatan orang lokal. Itu terbukti dari tulisan spanduk warung tersebut. Di situ bertuliskan: Menyediakan Makanan Khas Palembang. Pempek Kapal Selam. Pempek Telok Kecil. Pempek Adakan. Pempek Kulit. Pempek Lenjer. Lenggang. Model. Tekwan. Lakso. Rujak Mie. Dan Bermacam Minuman Dingin. Asli. Cabang 10 Ulu Palembang. Jelas sudah, asli Palembang! 10 Ulu merupakan kawasan pemukiman atau kecamatan yang ada di kota masa sekolahku itu. Palembang sendiri terbelah menjadi dua daratan: Ulu dan Ilir. Sungai Musi yang cantik itu menjadi pemisahnya. Dan kokoh Jembatan Ampera sebagai penyambungnya.

Wong kito galo!” sapaku sok akrab pada si penjualnya.

Hari itu cukup terik. Belum ada mahasiswa Jatinangor yang meneguk cuka mantap khas Palembangnya. Padahal bule-bule Eropa jika mampir ke Palembang, pasti membeli cuko pempek secukupnya sebagai pengganti bir, wine, dan anggur. Hanya cuko-nya saja yang dibawa ke negara asalnya. Karena pempeknya bisa basi sampai di sana—ada teknik khusus agar awet hingga ujung Eropa, yaitu pempek mentahnya, hasil rebusan, dilumuri tepung kanji (aci) atau sagu, tapi jangan lebih dari 2 hari perjalanan, meski sekarang sudah ada paket untuk dibawa ke luar Palembang dengan divakum (dipres) atau disimpan dalam freezer portebel.

Penjaga warung yang lagi asyik menonton televisi itu ada dua orang, sepertinya suami-istri yang mempunyai anak paling besar kelas 5 SD. Sang suami bertugas menggoreng pempek atau menyajikan model dan tekwan. Dan sang istri bartendernya. Peramu jus, teh manis, atau minuman botol dingin, juga bertindak sebagai kasir. Keduanya ramah. Hanya logatnya saja yang masih kental Melayu Bumi Sriwijayanya. Terdengar aneh jika didengarkan di Jatinangor.

“Tunggu sebenta’r’, Dek, yo!” ujar si suami yang semi cadel melapazkan huruf ‘r’, setelah aku memesan padanya dan mantap duduk di kursi plastik berwarna hijau yang menghadap TV. Aku dipanggilnya ‘adek’. Panggilan untuk anak-anak atau orang yang lebih muda dalam adat sehari-hari orang sana.

Lihat selengkapnya