KUNJUNGANKU ke Pondok Le’ Marezanne ternyata Tuhan perkirakan. Pastinya. Sahabatku, aku terinspirasi dengan seorang Slankers sejati yang jarang kuliah, berbadan kurus kering, dan kadang berbicara pun tidak pernah menyambung. Lantas aku ingin sepertinya, Micky, Rasyid, Baron, dan Andriyas yang membentuk sebuah grup musik untuk mengembangkan kemudian mewujudkan salah satu tripotents challenges-ku. Aku tidak mau jika selamanya jadi penikmat, pengidola, dan terus-terusan memendam potensiku di dalam kamarnya. Kadang aku malu pada Pa’ang di sana, yang dulu rajin memotivasiku bisa berdakwah lewat musik.
Untuk menambah inspirasi, aku ingin menciptakan musik yang baru yang berbeda dengan yang lain, aku membolak-balik majalah musik terbitan nasional itu serius. Majalah remaja yang cukup tebal, full colour, bahasa headline yang memancing, banyak pula membahas pelbagai macam kelompok musik nasional dan internasional dari pelbagai belahan bumi mana pun yang jarang aku dengar namanya. Mengupas band atau aliran musik yang lagi tren dari sisi yang berbeda, dan terbit sebulan sekali. Edisi yang kubaca adalah edisi musik rap atau hip-hop.
Di Indonesia, saat itu, musik yang biasa dipopularkan kaum kulit hitam Amerika tengah semarak. Neo, T-Five, Ebith Beat A, Kungpow Chicken, Saykoji adalah beberapa nama yang lagi digemari, dan baru-baru itu muncul Bondan Prakoso & Fade to Black yang membawakan musik rap dalam nuansa beragam.
Sejak kecil aku memang mengidolakan Bondan, hingga ia jadi pembetot bas Funky Kopral pun aku tetap setia. Bahkan kadang aku berkhayal suatu saat memiliki band yang terdiri dari Bondan Prakoso (bas, vokal, all instruments), Eno ‘Netral’ (drumset), Eross ‘Sheila on 7’ atau Fedi Nuril ‘Garasi’ (lead guitars, piano, synthersizer, vokal), dan aku sendiri (MC atau raper, penyair, sutradara videoklip, gitar akustik, kecapi, dan vokal pelbagai karakter). Aku menggabungkan lima konsep bermusik hebat dalam grupku: Blink-182, Linkin Park, Oasis, Red Hot Chili Pappers, dan Kantata Takwa—di mana WS Renda sebagai penyairnya. Bagaimana mungkin itu bisa, selama di Kecamatan Jatinangor aku belum pernah nge-band.
Pertama dan terakhir aku manggung dalam format band adalah ketika aku kelas 3 SMU. Tepatnya pada festival band antar kelas di sela waktu ujian semester dan pembagian rapor semester 1, atau kami menyebutnya itu class meeting. Aku bersama lima teman di kelas 3 IPS 1 membentuk band yang diberi nama Classix—artinya enam teman sekelas bersatu dan membentuk band.
Lagu andalan kami adalah In The End – Linkin Park. Hip metal (hip-hop metal), rap rock, dan nu metal saat itu tengah booming. Majalah-majalah remaja dan musik pun banyak membahasnya. Tidak heran banyak pula bermunculan musisi-musisi hip metal yang mewarnai belantika musik Indonesia, tapi yang bertahan hingga sekarang tidak lebih dari lima grup. Memang kadang miris, di negara kaya sumber daya alam dan manusia-manusia kreatif ini, musik kita selalu saja didikte Barat ataupun dijajah dengan style berpakaian yang mereka usung.
Persepsiku, jika kita semua ingin maju dan musik kita dikenang sepanjang masa, pemusik kita harus menciptakan tren, berani tampil beda, dan yang lebih penting totalitas bermusik. Jika sekadar ikut-ikutan, bersiap-siaplah didengar hanya sekilas saja. Akhirnya, aku menyalutkan band-band indie dan underground tanah air yang bisa bermusik enak tapi tidak dituntut pasar, pasar yang mungkin tidak sesuai hati nurani, idealis, konsep, gaya, visi dan misi bermusik mereka. Di antaranya adalah KS 375-ku, Syarifa Fatira, dengan band garage-nya, dan Robin Samanjid, mitra berkesenianku di Palembang, dengan band black metal-nya.
Bintang hip metal saat itu adalah Limp Bizkit, bahkan topi bisbol merah dan hitam Fred Durst menjamur di Palembang, baik yang imitasi maupun yang berbandrol di atas seratus ribu. Meski aku suka tapi aku tidak membelinya. Aku bukan tipikal pengikut tren, tapi pembuat tren sendiri. Gayaku tidak mau meniru gaya umum, tapi anehnya tidak mau ditiru oleh orang lain. Obesesiku adalah memiliki penampilan yang hanya aku sendiri yang memilikinya di sekitarku.
Limp Bizkit seolah menjadi raja musik rock dunia. Seniornya, KoRn, yang vokalisnya [Jonathan Davis] selalu tampil berkostum adat Skotlandia—memakai kilt, rok merah bermotif kotak-kotak besar seukuran lutut, kaos kaki putih selutut juga, dan sekali-kali meniupkan bagpipes khas alat musik bangsa Braveheart itu, Skotlandia—dan jadi band rock termahal di dunia pun tergeser popularitasnya.