Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #18

Bab 17 - Around and run in Bandung Peaceful City

“HAHAAAA.... HAHAAAAA....”

Tertawa dua pemuda itu sungguh membuat segan, takut, gugup, bahkan mendadak seorang pengecut ramah jika bertatapan langsung dengan mata-mata elang mereka. Keduanya tengah duduk seenaknya di sebuah minimarket 24 jam. Di depan toko murah senyum itu terdapat 4-5 set kursi besi—satu meja dan dua buah kursi berwarna silver. Satu set kursi mereka kuasai. Malam Minggu itu dua sahabat tersebut lagi kehilangan keceriaan. Sedari tadi menghabiskan berbatang-batang rokok filter. Dua botol minuman berkasiat merek impor menghiasi meja silver mereka. Minuman itu jelasnya dibeli di tempat lain, di sana mereka hanya menumpang duduk dan bersantai saja. Tentunya setelah membeli dua bungkus rokok berbeda produsen. Gengsi juga jika tidak ada yang dibeli di situ. Entah apa permasalahan mereka, si pemuda berprofil kurus, tapi berotot, pipi bertulangnya dihiasi 8 - 9 jerawat, dan kedua alisnya menyatu, beserta sahabatnya yang bertipe tinggi, putih, ada sedikit jerawat kecil, terlihat indo juga sedikit mandarin wajah telurnya, berambut poni ala anak britpop, dan selalu bersikap pendiam?

Gaya pakaian mereka hampir sama. Kaos hitam bergambar kartun grafis sepeda motor Eropa pada zaman Perang Dunia II. Jam tangan anti air original berwarna hitam. Celana blue jeans yang masih cerah warnanya. Sepatu lapangan berwarna cokelat gelap. Dan switer keluaran clothing ternama dengan tulisan dan logo band idola masing-masing: The Rolling Stones dan Radiohead. Kedua switer itu ditaruh di sandaran kursi mereka. Warna switer si Tinggi Putih merah, dan yang Kurus Berotot hitam pekat. Sedikit pengunjung memperhatikan. Kurang simpatik. Tapi keduanya cuek-cuek saja. Malah asyik mengepulkan asap rokok. 

Sob, jalan ke mana kita malam ini?” tanya si Tinggi Putih berbasa-basi.

Urang, aku, nggak tahu, Sob. Bingung, bawaannya panas terus sekarang! Ini kalau sampai ada makhluk yang berbuat masalah dengan urang, langsung urang ratakan mukanya dengan aspal!!” emosi si Kurus Berotot menjawab.

Sungguh takterkontrol sikapnya. Isapan rokoknya begitu kasar. Perpaduan cengkeh dan tembakau kelas tinggi itu sama sekali tidak ia nikmati. Anak muda itu bak seseorang yang lagi ditimpa bertubi-tubi masalah. Malam itu, seolah semua problematikanya siap meletus oleh satu situasi yang takmembahagiakan dirinya. Ia pun terlihat bagai makhluk frustasi yang hendak mencari-cari objek pelampiasan emosi. Membuang ribuan masalah di dalam tubuh tidak terurusnya.

“Santai atuh, Sobat, kita jangan pernah menjual duluan!” seru sahabatnya menenangkan, “kita nggak pernah jadi penjual apalagi tukang obral. Tenang saja, kalau mereka jual, baru kita borong jualannya. Bila perlu sampai habis, jangan ada sisa. Itu sebabnya, di dunia hanya ada olah raga bela diri, bukan berkelahi!”

“Haha!” Lelaki muda yang dikenal sekitarnya temperamental itu tertawa, terhibur kalimat karibnya. “Untung, Sob, malam ini maneh, kamu, masih bareng urang. Kalau nggak, wah, sepertinya urang pasti bawa motor BSA urang, keliling kota dan ngabisin siapa saja yang sok ngejago nu urang temui di jalan!”

Gua dong pasti salah seorangnya yang kena hajar, Sob?!”

“Hehehee... Nggaklah, lu mah saudaraku, dulur urang, Sob! Lagi pula urang nggak berani melawan maneh atuh!”

“Hahaha! Thank you, Sobat!”

Soul brother to heaven kita...”

Soul brother to heaven juga, Sob!”

Mereka ber-toast begitu kencang dan semangat. Mengeratkan pegangan kedua telapak tangan mereka. Berkobar spirit anak muda yang tengah menyala. Penuh penjiwaan. Kekuatan rasa. Dan satu emosi di antara mereka.

“Berangkat kita!” ajak si Tinggi Putih mengarahkan niatan sang penderita masalah sosial lelaki di depannya. Duo sobat itu pun meninggalkan minimarket 24 jam yang juga sediakan aneka cookies dan hot coffee. Genio hijau gelap yang sedari tadi terparkir di samping mereka duduk siap around and run in Bandung Peaceful City. Gila-gilaan seru kelilingi ramai jalanan Dago, lalu ke Dr. Setiabudhi, Cihampelas, Trunujoyo, Riau, dan Gasibu. “Hm, malem Minggu sama Oplet lagi!”

**

Pada malam Minggu kali itu pusat keramaian kota Bandung tengah banyak acara sehingga mengundang ratusan remaja gaulnya. Di Gasibu, depan Gedung Sate, sepanjang jalan Dago, atau di perempatan BIP. Genio hijau gelap itu melaju bak seorang pangeran yang mabuk. Menguasai jalanan. Kendaraan dua roda dan empat roda semuanya mengalah, memberi jalan kepada mobil yang memutarkan empat rodanya seperti seekor ular yang melata supercepat. Beragam makian, cacian, sumpah serapah, dan umpatan spontan pun mereka dapatkan dari para pengguna jalan lainnya. Hak mereka merasa dijajah oleh makhluk-makhluk egois, mengaku sok pejabat, sok banyak nyawa: melewati jalan raya seenaknya. Anjing! Guoblok! Modar sia! Tapi kedua sobat karet itu malah tertawa-tawa bangga saja memiliki sepasang telinga mereka mendengar semua ucapan buruk tersebut.

Sob, kalau kita berhenti, terus turun datengin banci yang teriak goblok tadi, kira-kira mereka berani nggak, ya, diajak adu otot!” seru si Kurus Berotot, pemilik sekaligus sopir Genio hijau gelap itu. Rekannya hanya tersenyum kecil.

“Ya, kalau nggak minta maaf, biasanya kabur orang-orang lemah syahwat seperti itu mah!” sambungnya, seraya memasang topi berbentuk petak yang berwarna hijau army. Bertambah gagah saja ia kenakan asesoris kepalanya itu. Yang selanjutnya malah asyik sendiri bernyanyi-nyanyi mengikuti lirik lagu dari tape mobilnya dan berusaha mengalahkan suara penyanyi aslinya: Mick Jagger.

Plat mobil bagus selain plat ‘D’ hilir-mudik berkeliaran di jalanan. Itu tandanya Indonesia sedang long weekend. Para pekerja keras atau anak muda gaul Ibu Kota dan sekitarnya tengah mencari hiburan asyik di Bandung. Mungkin, karena bosan, terlalu sumpek, panas, stress, pusing, ataupun butuh suasana yang berbeda, yang lebih tenang dan unik dari kota asal mereka padati Parisj Van Java.

Pasti Bandung jawaban mereka. Berkeliling-ria mencari santapan enak, bonafit, setiap bulan terus berinovasi menunya, bersuasana outdoor, dan yang lebih penting: cuci mata menghitung gadis cantik yang ditemui di Bumi Priangan itu. Berburu dan kemudian koleksi pakaian butik, factory outlet (FO), dan clothing yang umum disebut distro—padahal distro sendiri, kata Firman, didukung Alva dan A Ho, itu berarti distribution outlet atau distribution store, konsep penjualan dan bukan nama produknya. Atau bagi yang kebiasaan menghambur-hamburkan uang, foya-foya, stress dengan pekerjaan, atau seumur hidup dilanda kesepian, mencari sarana hiburan malam yang banyak menawarkan sensasi ialah solusinya: lokasi yang aman untuk (maaf) bermaksiat, minuman yang menyenangkan, dan suasana yang seru untuk berkumpul atau merayakan sesuatu yang besar.

Lihat selengkapnya