NET net net net net. Terdengar bunyi tanda pesan dari HP polifonik di balik saku kanan celananya. Tangan kirinya dengan malas mengambil HP hasil jerih payah mengikuti program LSM penanggulangan HIV/AIDS-nya, dan tangan kanannya menguncup-kembangkan kelima jarinya seperti gerakan pemanasan olah raga. Telapak luarnya alami memar dan sedikit membengkak. Si Tinggi Putih tengah berupaya memulihkannya. Rasa sakitnya ia tahan dengan sikap dingin, kalem, juga serius. Rekan di sebelahnya, juga menahan rasa sakit sambil mengompres pelipis dan dagunya yang sedikit terluka dengan es batu. Keduanya beristirahat di sebuah gerobak kelontongan yang sediakan aneka minuman dingin dalam icebox buah sponsor Coca-Cola dan tiga macam gorengan yang tidak hangat lagi.
Si pemilik gerobak sedikit pun tidak berani bertanya kondisi mereka. Ia pura-pura mengantuk. Berakting mendengar siaran dangdut dari radio baterai ABC-nya. Meski mukanya sangar, brewokan dan berkumis tebal layaknya seorang penjahat sinetron, ia takada nyali menatap wajah si Kurus Berotot yang sedari tadi mengoceh sendiri. Puas dengan kesenangan yang baru saja ia lakukan. Kadang tertawa-tawa girang. Tidak peduli rasa ngilu dan perih yang mencubit-cubit kedua lengan, wajah, serta dengkul kaki kanannya. Si Tinggi Putih hanya manggut-manggut lembut saja memperhatikannya. Yang fokus ia perhatikan adalah satu kiriman SMS dari kakak lelaki paling mudanya, Sandriano Ludwiqan.
Dia membaca pesan itu penuh perasaan. Ada sesuatu yang melumpuhkan congkak egonya. Ada sebuah kalimat biasa dan tidak secanggih aporisma, puisi, ataupun motivasi tinggi seorang trainer pengembangan diri, namun itu berhasil mengingatkan dirinya menjadi lelaki paling berdosa malam itu. Sebuah tepukan lembut memeluk kelemahan jiwanya yang gundah-gulana. Jika diizinkan boleh menangis, ia pun ingin sekali meneteskan airmata berdosanya. Tapi, saat itu, ia berusaha tegar menjadi penyemangat bagi sahabatnya. Anak lelaki sulung yang tengah dilanda pelbagai ujian berat dan hebat. Seseorang yang sangat berpotensi jadi lelaki besar dan hebat, tapi belum ada figur yang dapat mengarahkannya. Ia pun mencoba setia mendampinginya, hingga titiknya. Sebab itu tujuannya hidup kembali ke jalanan, senang mengasah keahlian beladiri, jadi penasihat hidupnya.
Inilah bunyi SMS yang merundungnya menangis dalam hati. Haru akan perhatian kedua orang tuanya. Juga perubahan sikap kakak lelaki termudanya yang saat itu lebih banyak tinggal di rumah. Ia rajin membantu pekerjaan ibunya di dapur, mengantar ayahnya berobat ke dokter, menggantikan tugas belanja rumah tangga ibunya ke pasar lokal, dan menjadi asisten kedua orang tuanya jika sewaktu-waktu mereka menanyakan kabar anak bungsunya yang jarang pulang.
Keadaan pun justru terbalik. Akhir-akhir itu malah Sandriano lebih banyak di rumah menemani sepanjang waktu sepasang orang tua berambut putihnya, sementara dirinya tidak jelas pulang ke rumahnya kapan. Kadang ia berpikir atau juga bertanya-tanya mengapa kakaknya bisa berubah, dan drastis. Berubah total menjadi sangat lebih baik. Perubahan yang diharapkan dan dibutuhkan kedua orang tuanya, di saat semua anak-cucu mereka menyebar jauh di mana-mana. Mengharapkan kedua anak lelaki paling kecil keduanya memperoleh bahagia sebelum mereka menghadap Sang Abadi. Tidak terduga juga, kakaknya itu diam-diam senantiasa memperhatikan dirinya, di mana pun demi ketahui kabarnya, mendapatkan keadaannya, juga keuangannya. Tanpa sepengetahuannya, sang kakak rajin pula menghubungi Nyonyo, Firman, Alva, Micky, Tomi, Bambang, dan A Ho yang juga temannya, pernah menongkrong bersama, demi mencari tahu tentangnya. Sandriano pun bisa merahasiakan pada ayah-ibu mereka, sang adik jarang masuk kuliah dan kembali berkeliaran malam-malam—seperti masa SMU.