Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #20

Bab 19 - Revolusi mahasiswa

AKU, Awan, dan Tomi tengah duduk-duduk di ruang kumpul Pondok Hidayah. Topik yang pertama kami bahas adalah curahan hati Tomi, juga Baron, Andriyas, Rasyid, dan si anak juragan bahan bangunan Karawang, Malik, ingin pindah kos ke Pondok Hidayah. Tomi muak dengan kondisi di Le’ Marezanne yang semakin hari semakin ketat saja peraturan, baginya. Tomi pun harus bersabar karena di kosanku masih penuh penghuninya, kemungkinan baru ada kamar yang kosong saat masuk ajaran baru nanti. Itu pun jika ada penghuni lama yang rela melepas pondokan yang bagai milik mereka sendiri. Apalagi untuk lima penghuni baru.

Topik selanjutnya yang kami bahas adalah curhatan Awan yang ingin segera memiliki kekasih. Pacar pertama dalam seumur hidupnya. Ia pun ungkapi beberapa calon yang ke depannya dipilih salah seorangnya jadi penyemangatnya. Apa pun itu, penyemangat makan, meminum obat, meminum susu, bangun pagi, mandi sore, kuliah, berorganisasi, salat berjamaah di masjid, membersihkan kamar, mendaki gunung, latihan memanjat, dan khususnya skripsi.

Aku dan Tomi pun tertawa-tawa kegelian menyaksikannya mengharapkan seorang kekasih. Tomi yang kalau berbicara selalu mengambil kutipan idolanya, jika bukan dari Bim-Bim, ya, dari Kaka Slank, atau pun kadang dari Bunda Iffet. Lalu memotivasi Awan karena di antara KS 375, ia, Alva, Gunawan Dipa, dan Firman yang jumlah mantan pacarnya belasan. Awan menurut kalau soal itu.

“Hidup itu ha’r’us mempunyai dua mimpi,” serunya mengucapkan salah satu omongan Bim-Bim pada sebuah wawancara TV, dan dengan tafsirnya sendiri ia membuat Awan dan aku para jomblokronis itu takjub, “jika kau memimpikan sesuatu, mimpikanlah juga sesuatu yang lain yang kau anggap bisa seimbangkan impian utamamu, jika sewaktu-waktu kau tidak bisa me’r’aih impian utamamu. Begitu juga dengan ikhtia’r’mu memilih calon kekasih! Bangkitlah, mBlo!”

“Maksudnya, Tom?” serempak Awan dan aku bertanya.

“Kau jangan hanya seleksi seo’r’ang saja,” tegasnya, serius daripada biasa sehari-harinya, yang hidup semau jidatnya, “tapi ha’r’us ada pilihan lain!”

Plan B? Kalau gua gagal dengan si A, gua bisa memilih yang B! Bukan begitu, Brad?” ujar Awan ragu.

“Ce’r’das!” puji Tomi menghancurkan keraguan Awan.

“Tapi ingat, cukup satu saja! Hanya satu calon sebagai Plan B-mu! Jangan pe’r’nah seperti aku Plan B-nya di mana-mana, pusing, Kawan, st’r’ess, tentunya juga itu ’gak sehat. Membe’r’i ha’r’apan yang ’gak pasti kepada banyak o’r’ang. Selain nama baik kita terco’r’eng sebagai laki-laki sejati—jika ’gak cantik bermain apinya, kita juga pasti disumpahi me’r’eka yang dipe’r’mainkan hatinya, atau malah me’r’usak aib kita sendi’r’i kalau semuanya kompak menolaki! Hahaha!”

“Hahaha... Baiklah, Guru, pelajaranmu akan segera daku amalkan!” seru Awan takjim pada guru barunya, dosen percintaannya, siap membunuh stigma jomblokronis untuknya. Awan pun menggodaiku agar segera mengikuti jejaknya.

Dan topik terakhir yang kami bahas adalah undangan untuk penghuni Pondok Hidayah beserta penghuni gelapnya yang datang dari sebuah yayasan sosial di Bandung kota. Salah seorang anggota KS 375 kami ada yang menjadi voluntirnya, bahkan katanya memiliki peranan yang cukup penting. Undangan tersebut mengajak kami jam 8 malam nanti ke Auditorium UIN Sunan Gunung Djati Bandung—kawasan tempat kos ketigaku sebelum aku migrasi ke markas KS 375. Yang paling bersemangat untuk kami hadir nanti malam ke sana adalah Tomi. Dan faktor besarnya adalah salah seorang idolanya yang mengundangnya.

“Hebat, nggak salah gua mengidolakannya!” kagum Tomi begitu serius.

 “Wah, ternyata ini tho, Tom, kejutan dari Daniel setelah dia cukup lama menghilang, sering bolos kuliah, lupa jalan ke Pondok Hidayah, absen latihan panjat dinding di Sastra—Fakultas Sastra, sekarang FIB, Fakultas Ilmu Budaya—, dan juga jarang pulang ke rumah. Sebuah kejutan yang bernilai!” sambut Awan dengan kesalutannya. ”Gua juga jadi tertarik sekarang ikutan magang di LSM.”

Terbongkar sudah rahasia Daniel menghilang selama ini. Ia menghilang bagai Wiku kalau diharapkan ada lebih dari dua bulan. Dan baru muncul kembali ke hadapan kami, beberapa hari lagi UAS semester 4. Apa yang akan ia jawab pada UAS nanti, semua matakuliah pada semester itu banyak sekali materi yang ia lewatkan? Siap-siap saja ia menjadi korban kebaikhatian Rasyid yang selalu setia membantu siapa saja yang kesulitan ketika UAS.

Kemunculan pertamanya sungguh mengejutkan sekaligus memberikan kebahagiaan kepada kami. Memang enak rasanya jadi makhluk yang dirindukan. Persepsi negatif tentangnya langsung runtuh seketika itu juga ketika ia serahkan satu undangan kehormatan untuk HimaKS—yang kami pindahkan dari Student Centre FISIP UNPAD ke Pondok Hidayah, saking nyamannya kosan, yang kamar Suryani jadi ruang kesekretariatan, kamar Zaqi jadi ruang curhat, kamar Awan jadi hotel bintang tiga karena kebersihannya, kamarku jadi sarana hiburan dan sanggar mencari inspirasi, dan kamar Aidil takada yang berani ke sana karena jarang diajak mengobrol oleh si Bapak Pendiam KS 375 itu—menghadiri sebuah perhelatan akbar yang diadakan LSM yang lagi diabadikan dan dibesarkannya. 

Anggapan buruk dan kecurigaanku selama ini padanya salah besar. Sama sekali ia takmelupakan janji sucinya di dalam DAMRI ketika awal kuliah dulu. Ikrar DAMRI itu masih ia pegang, walau secara taklangsung, sebab setelah kami kuliah kami takpernah mengungkit-ungkitnya lagi. Karena kami menanamnya di dalam hati. Ia sibuk ke sana-ke mari, mengikuti pelbagai seminar, pelatihan, dan banyak membaca buku how to dan healty adalah untuk sebuah tujuan. Satu alasan. Satu harapan besar. Dengan optimistik anak bungsu itu ingin merevolusi hidupnya.

**

Lihat selengkapnya