Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #21

Bab 20 - Rememebering into action

SATU malam di Auditorium UIN Sunan Gunung Djati itu menjadi satu malam yang penuh inspirasi bagi kami, kala itu. Aku mendapat kalimat baru, ‘remembering into action’, yang selanjutnya jadi salah satu kata-kata fovoritku sebagaimana Daniel dengan ‘fenomena sosial’-nya, Wiku dengan ‘Tuhan, aku, dan alam’-nya, Halim dengan ‘maju bersama’ dan sebaris puisi Chairil Anwar ‘sekali berarti setelah itu mati’-nya, dan Zaqi dengan ‘keep adventure until the end’ dan pula ‘eidelweis mahameru’-nya. Sepulang menghadiri undangan hebat itu pun, minat dan bakatku langsung mengarahkanku untuk menuliskan sebuah syair lagu.

 Satu hari sesudah parhelatan akbar itu, Daniel berkunjung ke Pondok Hidayah yang tengah sepi penghuni. Markas besar KS 375—karena kami yang mendominasinya—saat itu hanya ada aku, Awan, dan Tomi. Daniel ke Jatinangor ada agenda mengantarkan satu set lampu panggung yang ia pinjam dari anak Lises UNPAD. Satu set lampu itulah yang jadi bagian kesuksesan event LSM-nya.

Setelah menemui Untung Syukirman sebagai kuncen Lises UNPAD, Daniel pun langsung bertandang ke rumah keduanya. Untung adalah satu-satunya anak KS 375, bahkan anak KS sendiri, yang begitu total, loyal, dan serius mengabdi jadi  anggota UKM itu. Karena dedikasi yang besar itulah, UKM yang sejak awal kuliah ia geluti mempercayainya setahun kemudian sebagai ketua organisasi, dan bisa berjasa membawanya ke luar negeri—mewakili UNPAD dalam bidang seni dan budaya. Dan pada hari itu, Untung membawakan kami ubi bakar hasil olahannya di rumah berkesenian Sundanya untuk kami. Beginilah nikmatnya bersaudara.

Brad, ini ada sedikit rezeki dari Kang Untung!” sapa Daniel.

“Semoga Kang Untung cepat sembuh je’r’awatnya!” doa Tomi pada sang penderma kami. Orang tua tersebut tahu saja kami bertiga belum makan siang. Si Untung ini dalam usia sederajat dengan Halim, Budiman, Bambang, dan Dalian, tapi biarpun mereka disebut orang tua oleh kami, tetaplah Nyonyo paling sepuh.

Selesai urusan dengan Untung. Dan beberapa kali kami memujinya. Tanpa banyak basa-basi, Daniel langsung kami kacungkan. Seperti halnya si Duet Jahil, Wiku dan Rasyid, Daniel tipikal manusia bermulti-talenta juga. Selain atlet panjat dinding, penggila arung jeram, pemain bas britpop, voluntir aktif penyuluhan HIV/AIDS, konseptor kegiatan sosial, dan ahli strategi berantem, ia pun berbakat merapikan rambut—tukang cukur. Sisir sasak warisan kakak perempuannya yang selalu berada di dalam tas selempang hitam Avtech-nya langsung ia keluarkan.

Seketika itu juga bakat terpendamnya kami bertiga manfaatkan. Awan mendapat giliran pertama. Aku dan Tomi yang memiliki potongan rambut yang sama harus mengantri. Sambil menunggu pelanggan yang pertama selesai, aku sibukan diri membaca novel Harry Potter jilid keempat koleksi Daniel. Sedangkan Tomi malah asyik sendiri ber-SMS-an dengan kekasih barunya, katanya—seorang mahasiswi Ilmu Keperawatan yang seangkatan dengan kami. Tomi mengenalnya, karena si gadis malang itu teman salah seorang penghuni Pondok Hidayah dan  sering mengerjakan tugas di markas kami. Oleh sebab itu, Tomi amat rajin main ke tempat kos kami dengan alasan ia sudah tidak betah tinggal di Le’ Marezanne.

Lihat selengkapnya