Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #22

Bab 21 - Kebahagiaan hidup untuk anak-anak

Panti Sosial Asuhan Anak Riyaadlul Jannah, Jatinangor

SOLUSI Awan ternyata sepemikiran dengan pengurus inti HimaKS lainnya. Sinna, Puspita, Suryani, Zaqi, Rasyid, A Ho, Ienez, juga sependapat dengan yang bukan pengurus tapi pendukung HimaKS sejati: Wiku, Daniel, Bambang, dan Tomi. Aku pun demikian. Mengikuti apa yang jadi kemajuan dan kekreatifan Himpunan.

Setelah melakukan sekali survei dan sekaligus meminta izin mengadakan kegiatan dengan pihak yayasan, program pengabdian masyarakat Awan dan divisinya pun terlaksana, mendadak, dalam waktu yang cukup singkat dan minim dana. Beruntung sekali Awan, kesehariannya yang selalu menyenangkan dengan ulah-ulah anehnya atau ekspresi-ekpresi uniknya, hari itu menyelamatkannya. Orang-orang yang senang padanya banyak membantu program besarnya, baik secara teknis maupun nonteknis. Bambang yang antikegiatan kampus, apalagi mengikuti organisasi, jadi donatur terbesar untuk acara Awan itu. Solidaritas dan integritasnya memang cum laude. Selama dua minggu ke depannya pun Awan sering memanggilnya Tuan Thakur, karakter juragan pada film-film Bollywood.

Boleh dibilang program Awan memang dadakan, nekad, berani, dan pasti jadi pionir. Untuk merealisasikannya, bayangkan, hanya dalam waktu tiga hari hingga hari H. Hari pertama, Awan memiliki ide, lalu menghubungi Sinna, dan Sinna memberikan mandat kepada pengurus inti dan semua anggota di bawah divisi Awan untuk rapat pada malam harinya di Pondok Hidayah. Keesokan harinya, setiap orang yang diberikan tanggung jawab sesuai rapat semalamnya bergerak cepat. Ada yang mengurus proposal acara, meminta tandatangan ketua jurusan KS dan PD III FISIP, meminta dana ke ruang PD II, menyurvei lokasi dan menyerahkan surat izin kegiatan, juga memberikan publikasi. Dan persiapan hari terakhir, tim panitia cek kebutuhan untuk besok, menyusun materi, membahas run down acara, konsumsi, sumbangan, cinderamata, dan dokumentasi.

Yang hasilnya adalah hari itu sebuah program pengabdian masyarakat di sebuah panti asuhan di Jatinangor dilaksanakan. Awan berlaku sebagai ketua pelaksana; aku yang lumayan cukup dekat dengan pengurus panti menjadi wakil ketua; Ienez yang di HimaKS menjabat sebagai Kadiv Kreativitas Seni ditugaskan Awan sebagai sekretaris—karena keuletan, ketelitian, dan kerajinannya; Hafsah mengemban amanah bendahara; Suryani yang rajin belanja didaulat koordinator konsumsi dan Ariane yang jago menawar menjadi asistennya; sopir andalan kita Budiman yang paling jago memotret diangkat Pak Ketu Awan jadi koordinator dokumentasi; Tomi yang nonHimaKS tapi hobi mendesain dipercaya memegang koordinator publikasi; Ko A Ho yang pandai berkomunikasi, meyakinkan orang, memanaj sesuatu, ditugaskan sang ketua sebagai humas, dan yang menjebolkan proposal; Zaqi yang pandai menghibur suasana atau kadang berpuitis-puitis-ria dipaksa Awan untuk memandu acara hingga selesai; dan Shalih yang mengajinya paling bagus di antara kami diberi kehormatan sebagai pembaca Kalam Ilahi.

Sementara otak kesuksesan dan kesan mendalam yang akan didapatkan adik-adik panti asuhan serta para pengurus adalah pada seksi materi. Divisi kegiatan yang menentukan konsep pengabdian, teknis berjalannya acara, dan yang selanjutnya melakukan monitoring dan evaluasi (monev) terhadap program. Sebab setelah kegiatan hari itu, meliputi pembukaan secara resmi, perkenalan pengurus HimaKS dan pihak panti, ice breaking, penggalian potensi anak, diskusi dengan pengurus panti mengenai pelayanan sosial di sana, dan kreativitas seni, kegiatan selanjutnya adalah HimaKS tiga minggu sekali melakukan monev juga konseling. Dan pada sesi penting itu, kami semua mempercayakan itu kepada Ahmad Rasyiddin dan Puspita Rahayu Sri Wulandari. Dua peksos sejati KS 375.

Konsultan acara secara taklangsung dipercayakan pada Daniel. Beberapa pengurus HimaKS lainnya dan adik tingkat yang tertarik dengan kegiatan kami diamanahkan sebagai sub-bagian umum, bantu-bantu tugas para koordinator, atau apa saja yang penting terlibat. Dan untuk mengoordinir divisi umum ini dikomandoi si Mistikus Miskin: Wiku. Wiku hadir dengan penampilan berbeda, mengenakan baju koko Awan berwarna putih bersih, celana bahan berwarna biru tua milik Budiman, dan kopiah pejabat H. Iming berwarna hitam yang hari itu baru saja dihadiahkan Shalih padanya. Sungguh pangling. Selain itu, Malik dan Gunawan Dipa (Aigun), notabane bukan pengurus Hima serta jarang berkegiatan dengan kami, hari itu membantu transportasi kami. Malik dengan minibusnya, dan Aigun dengan sepeda motornya yang dihibahkan jadi kendaraan bersama.

Di hari yang cerah itu pun kami dikaruniai menikmati suasana pedesaan Desa Sayang Kecamatan Jatinangor yang sejuk, tenang, dan masih alami. Sawah-sawah menguning yang luasnya sejauh mata memandang dapat kami saksikan secara langsung. Di belakang lahan penyambung usia manusia Indonesia itu terlukis panorama gunung kecil, Gunung Geulis yang bersih. Benar-benar seperti lukisan dalam kalender. Ia begitu rimbun, elok, dan jika memandangi puncaknya seolah-olah ajak kami segera ke situ. Angin sepoi-sepoi dan suasana pesawahan ia ingatkanku dengan suasana kehidupan pedesaan di kampungku, di Kuningan.

Teringat pula aku pada orang tuaku, kakek-nenekku, dan sahabat-sahabat di masa kecilku yang sebagian besar mereka bermata-pencaharian petani. Dan di daerah itu Himpunan kami melakukan pengabdian masyarakat, lebih tepatnya pembinaan anak-anak panti asuhan Riyaadlul Jannah, dan pengenalan konsep pekerjaan sosial pada para pengurus yang rata-rata lulusan SMA atau D2 PGTK.

Riyaadlul Jannah nama panti asuhan itu. Jika mendengar nama RJ, aku terkenang program HimaKS 1,8 tahun yang lalu, saat kami jadi mahasiswa baru. Yaitu acara buka puasa dan bakti sosial HimaKS di sana. Namaku yang kearab-araban dipercaya senior menjadi ketuanya, Shalih menjadi sekretarisku, Ariesta jadi bendaharaku—meskipun ia noni, tapi demi angkatan KS 375, HimaKS, dan demi kebahagiaan untuk anak-anak ia sangat aktif dan loyal membantuku, dan Zaqi sebagai pembantu setiaku, MC, humas, dan sebagainya, dibantu Halim, Ko A Ho, dan Wiku. Oleh sebab itu, beberapa pengurus masih mengingat wajahku.

Semua yang terlibat acara sudah hadir. Saat itu juga mereka bermain-main, mengajak mengobrol, bercerita dan bercandakan anak-anak panti yang berjumlah lebih dari tiga puluh orang. Sebelum kegiatan pembinaan itu dimulai, Rasyid serius menyampaikan sesuatu pada salah seorang pengurus panti yang laki-laki. Begitu pun Puspita, dengan sifat periang dan childish-nya, membahas konsep pembinaannya untuk salah seorang pengurus panti yang perempuan.

Sementara yang lainnya, termasuk aku, malah asyik mengobrol di mini orsel—mainan anak TK yang berbentuk kerangka mangkuk, dan cara bermainnya dengan seseorang memutarkan lingkaran besi muda tersebut, sehingga orang-orang yang duduk melingkar di sana terbawa berputar-putar. Aku, Zaqi, Suryani, dan Sinna yang setua itu pun menikmati salah satu mainan anak-anak inventaris yayasan. Awan sang penikmat hari betapa senangnya hari itu bertugas memutar-mutarkan mini orsel. Senanglah mereka yang duduk-duduk santai di atas ayunan, perosotan, juga di teras berkeramik putih bangunan panti. Semuanya seperti bayi raksasa yang mengalami masa kecil kurang bahagia dan besar kurang biaya.

**

“Senangnya, ya, kalau kita setiap waktu bisa berbagi dengan anak-anak!”

Sinna tiba-tiba berkata di sebelahku, menjeda sebentar membaca buku Lukman Al-Haqaninya, Karena Kamu Sudah Dewasa. Dua perempuan tangguh yang mengapitnya, Hafsah dan Karina, tersenyum setuju di atas ayunan.

Lihat selengkapnya