“BRAD, sori, ya, kalau kemarin-kemarin gua ngilang. Bukan gua nggak percaya dengan kalian, tapi gua pengen kasih kejutan besar kepada semua orang!”
Sikapku hanya bisa jadi pendengar setia baginysa. Tiada merespons lebih. Apalagi menanggapi ucapannya dan kemudian sok menasihati. Ia adalah lelaki yang memiliki self depend sendiri terhadap segala ujian yang dihadapinya. Secara karakter, ia memiliki tipikal yang sama denganku: rajin memecahkan masalah sendiri, susah untuk meminta menyusahkan orang lain, dan menghilang itu biasa.
“Ya, gua sekarang lagi banyak ngebuktiin sama banyak orang… makanya kalau gua ketemu lu atau KS 375 yang lain, gua selalu meminta banyak doa dan support. Gua malu sama perubahan besar Sandriano, juga doa tiap hari Mamak.”
“Kita sama-sama saling mendoakan, Brad!” Akhirnya kutertarik bersuara.
“Awalnya, gua sempet ngerasa takut ketemu dengan Micky di kuliah ini. Gua bener-bener takut balik lagi ke masa-masa zaman Jahiliyah dulu!”
“Zaman Jahiliyah? Maksud lu, Dan?!”
“Hmm, kami berdua dulu sempet jadi komandan perang di geng motor,” seru Daniel, takkusangka ia bersiap menumpahkan sesuatu yang mungkin bebani hatinya selama kuliah itu. “Geng kami berdua berlawanan, bahkan berperang di jalanan pun kami sering. Tapi, gua belum pernah berhadapan langsung dengan Micky. Anak itu selalu tampil paling depan kalau ngadepin musuh, sangat nekad, sepertinya nggak takut mati. Sementara gua selalu di balik layar, menganalisis situasi, mengatur strategi, dan baru turun kalau diperlukan, kalau terjadi sebuah ketidakadilan—bermain keroyokan atau menggunakan senjata tajam. Pada masa sekolah itu, hidup kami memang keras, rumah kami seperti di jalanan, kehidupan kami seperti jauh dari cahaya matahari, berkelahi, membuat keonaran, nggak jarang juga kami merusak sekolah musuh yang kami sukai. Dan yang lebih parah lagi, kalau ada waktu libur, kelompok kami selalu mengadakan touring motor ke pantai dan melakukan apa saja di sana, asal kami senang. Dapat eksistensi yang lebih daripada siswa biasa lainnya, siswa yang banyak dianakemaskan sekolah karena prestasi akademik mereka. Itulah masa lalu kami, Brad!”
Aku benar-benar tercengang dengan alunan ceritanya. Jadi itu yang ia bilang masa lalunya yang kelam. Benar-benar kelam. Oleh karena itulah, pada awal kuliah, setelah kami berdua berbicara banyak tentang masa depan jurusan kami di dalam bus DAMRI, ia mengajakku berjanji agar serius kuliah, lulus tepat waktu, dan setelah itu, berjuang sekeras-kerasnya untuk membahagiaan kedua orang tua yang berjuang apa pun agar kami bisa kuliah. Demi menaikkan derajat keluarga. Dan hari itu, aku baru tahu mengapa setiap kali ia melihat pantai selalu merasa menjadi anak lelaki paling berdosa. Ternyata itu jawabannya. Dan, aku juga baru tahu, mengapa salah seorang yang dihormati di sekolahnya berucap pedas padanya di hari perpisahannya. Wajar juga sewaktu liburan semester 3 di Jogja, ia kendarai sepeda motor begitu ganas. Dan ternyata ia benar-benar anak gengster. Gengster yang ingin kedua orang tuanya bahagia setiap detik.
“Orang tua kami, waktu itu, sampai kehilangan harapan memiliki kami.”
Aku jelas kaget setengah mati. berharap masa lalu Daniel dan Micky itu bohong. Ia lagi memotivasiku, mendapat ilmu dari buku yang baru ia baca. Ilmu berbohong demi kebaikan orang lain. Di kamarnya juga takada tanda-tanda itu.
“Ya, mereka sudah kehilangan asa, kesabaran, juga cerahnya masa depan di pundak kami,” lanjutnya, mendongeng lagi. “Micky sebagai anak laki-laki satu-satunya yang mereka andalkan. Anak pertama yang seharusnya yang pertama membanggakan kedua orang tuanya. Begitu juga gua, anak bungsu yang selalu dibahagiakan oleh kakak-kakaknya, agar gua lebih baik dari mereka semua.”
Ia serukan itu begitu tenang. Lain dadaku yang berkali-kali menahan haru.
“Kami berdua mengaku: setelah kami masuk angkatan KS 375, hidup kami seolah terlahir kembali, harapan masa depan kedua orang tua kami pun serasa kembali ke pundak kami,” Daniel takkulihat sebagai lelaki, ia jadi cengeng. “Tapi, apa yang gua alami, itu masih seberapa kalau dibanding dengan masalah besar yang dimiliki Micky. Tapi Mick Jagger itu sangat pandai menyimpan masalahnya!”
Perbincangan itu terhenti karena soto ayam yang kami pesan datang ke meja kami. Hari itu, Daniel mentraktirku makan soto di tempat favoritnya, soto A3. Warung soto ayam kuah santan, salah satu ikon warung makan di Jatinangor, itu lagi ramai-ramainya. Beberapa kelompok mahasiswa Ilmu Kedokteran asal Malaysia dan praja-praja IPDN telah menikmati sajian soto segar dan gurih itu. Kami saja hampir tidak kebagian. Untunglah kami berdua sudah langganan, jadi sempat disisakan dua potong ayam untuk kami berdua. Oh ya, soto A3 ini sangat mengenyangkan karena satu porsinya benar-benar satu potong ayam yang disuwir-suwir dan kita sendiri yang memilihnya. Bukan satu potong ayam yang diiris-iris tipis untuk 4 porsi. Daniel dan aku tanpa basa-basi menyantapnya.
Daniel menundukkan kepalanya, lama sekali. Begitulah kebiasaannya jika hendak makan. Doanya begitu panjang. Kadang aku sudah habiskan seperempat nasi di piringku, tapi ia baru selesai berdoa. Setelah kutanya, jawabannya, banyak anggota keluarganya yang harus ia doakan sebelum menikmati rezeki dari Tuhan.
“Sekarang si Micky di mana, Brad? Kok tadi dia kagak kuliah…” tanyaku setelah menambahkan merica, sambal, dan kecap manis pada mangkuk sotoku yang masih panas—asapnya mengepul-ngepul menyebarkan aroma lezatnya.
“Kata si Puspita sih yang nandatanganin absennya, dia ke bengkel sama si Andriyas!” jawab Daniel setelah mengambil lima buah kerupuk kalengan yang ia taruh di piring. Aku gegas sambar makanan idolaku itu tanpa disuruh Daniel pun.
“Gua salut dengan Micky, Dan! Dia masih tetap bisa struggle dan survive dengan permasalahan yang kompleks di keluarganya. Nggak kebayang kalau gua yang ngalaminnya. Kagak kebayang juga nasib cita-cita gua, mimpi-mimpi gua.”
“Sama, gua juga, Brad! Alasan yang bikin gua ngilang dari peredaran, ya, salah satunya misi sosial ini, kembalikan semangat kuliah dan kreativitas Micky. Anak itu punya potensi besar, tapi belum ada seorang saja anggota keluarga doi, mau mengarahkannya. Karena itu dia melampiaskannya ke arah yang negatif!”