Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #24

Bab 23 - Bagaimana kalau kita ke Ciremai?

MENJELANG sore yang sepi di Pondok Hidayah. Awan tengah bernostalgia sendiri dengan saat-saat menakjubkan liburan semester 3-nya dengan Daniel, Rasyid, dan aku ke Jogja. Sambil memainkan sebatang Choky-Choky ia berdiri mantap di hadapan cermin kecil di kamarnya. Cermin yang bernasib ramai tempelan sticker logo-logo kelompok pecinta alam di Pulau Jawa yang pernah ia kunjungi, di pinggiran kacanya. Kadang aku suka kesulitan jika ingin menumpang bercermin di sana. Sungguh hari itu ia riang sekali. Lebih riang dari biasanya. Apakah Plan A-nya mengejar salah seorang calon penyemangat hidupnya sudah ia dapatkan? Atau mungkin juga ia kangen para malaikat liburan semester 3 kami: Gale, Alden, Ishak, dan juga Dhipia. VCD player-nya pun berulang-ulang memutar lagu-lagu yang mengingatkannya akan suasana liburan ketika itu: Yogyakarta – Kla Project, lagu-lagu Faithful Songbird, nasyid acapela milik guide kami, Alden, dan tentunya Earth Song – Michael Jackson. Narsislah ia berdiri di hadapan wajahnya sendiri.

Pondok Hidayah dalam kondisi sepi. Sebagian besar penghuni aslinya belum pulang ngampus, begitu juga masing-masing penghuni gelap mereka. Sehari lagi semuanya serempak melaksanakan UAS. Dan biasanya beberapa jam menjelang UAS, anak-anak pasti mulai terasa menjadi mahasiswa: ke sana-ke mari mencari bahan UAS, silah ukhuwah ke tempat kos senior—lebih seringnya dengan para senior yang perempuan—menanyakan soal-soal UAS tahun lalu dan kemudian ngajak makan malam, atau seharian mengurung diri di dalam kamar, belajar apa yang bisa dipelajari atau memang biar terlihat akan menghadapi UAS.

Sepertinya tidak bagi Rasyid, Kang Seto muda itu malah asyik mengulik Adobe Photoshop di kamar Aidil. Sebagai ketua angkatan yang baik, ia berusaha akrab dengan semua anak buahnya. Lagu-lagu jazz lokal terus teduhkan dirinya berkreasi. Ia tengah mendesain logo cinemaKS yang aku pesan. Aidil yang hari itu komputernya baru saja dibebaskan dari virus oleh tangan IT Rasyid, duduk di belakang sang dewa sambil berkali-kali menawarkannya kerupuk dan kemplang Palembang yang terhidang manis di sana. Sungguh suatu keajaiban bagi Rasyid, semenjak kunjungan pertamanya ke kamar Aidil, selanjutnya ia menjadi akrab dengan Bapak Pendiam KS 375 itu. Bahkan jika Rasyid sedang menjadi musafir di Jatinangor, anak muda Melayu Sriwijaya itu berkali-kali mentraktirnya makan.

Sementara itu, Zaqi sudah dua hari tidak pulang. Mungkin ia konsentrasi persiapan UAS, ribut dengan dewi eidelwiesnya, atau menginap lagi di kontrakan anak-anak Belitung di Bandung. Setelah ia bercerita, aku jadi tahu, ia yang sering meninggalkan Pondok Hidayah, aktivitasnya di kampus, kebersamaan denganku, dan bahkan kekasihnya Renata, adalah untuk menjadi peksos bagi teman-teman Belitungnya. Rata-rata mereka itu anak-anak muda seberang pulau yang belum bisa menyesuaikan kehidupan kota kecil Tanjung Pandan dengan kemajuan teknologi dan kemetropolisan kota besar Bandung. Zaqi yang berjiwa kekakakan sebagai anak sulung di rumahnya menjadi penasihat, pengingat, penyemangat, juga pertimbangan bagi mereka yang bermasalah, selalu. Ada yang bermasalah sulitnya berinteraksi di kampus; bingung memilih organisasi kampus yang tepat; stress diajaki seseorang yang tidak dikenal agar masuk aliran suatu kepercayaan; bagaimana pacaran jarak jauh; bingung mengelola uang kiriman; kehilangan semangat kuliah; tidak bisa tidur memikirkan gadis manis pujaan hati di kelasnya; atau minta diantar membeli barang-barang kebutuhan kos. Bahkan orang tua mereka jika ingin tahu kabar dan kemajuan kuliah mereka, selalu saja hubungi Zaqi. Mungkin sore itu juga Zaqi tengah menjadi penyemangat UAS bagi mereka.

 Si manis Suryani muncul di markas malam harinya. Ia dan anggota A5 (5 tampan KS 375, julukan groupies mereka di kampus) termuda, Gunawan Dipa atau biasa dipanggil Aigun, yang tercatat sebagai voluntir MCR-PKBI di Bandung, lagi sibuk menutup program lembaga sosial mereka periode kali itu. Bersama seniornya, Sinna, juga Puspita, ia dan Aigun bertugas jadi fasilitator kesehatan dan reproduksi remaja pada sekolah-sekolah di pinggiran kota Bandung. Mereka ke lokasi penyuluhan yang jauh dari peradaban kota, berpanas-panasria, koleksi debu jalanan, menumpang sepeda motor Aigun. Kadang harus mendorong bebek Jepang itu jika melewati tanjakan yang tinggi, jalanan bebatuan, kehabisan bensin di tengah jalan, ataupun mogok. Tapi salut, keduanya sangat menikmati itu, alasanya sebagai bahan tertawaan jika kami berkumpul di ruang kumpul Pondok Hidayah. Terlebih A5 Aigun yang baru tertarik berkegiatan sosial setelah keterlibatannya di program pengabdian Awan. UAS yang hanya tinggal beberapa jam lagi takkan menjadi hambatan demi menyukseskan aktivitas sosial keduanya.

Menurut mereka berdua bahwa persiapan UAS itu bukan satu hari atau menjelang UAS dilakukan, tetapi persiapannya itu ketika kita menyimak materi yang disampaikan dosen sewaktu kuliah dan mengulangnya di kamar kos.

Tomi yang biasa ada di situ, menginap di kamar Awan, buang air kecil di kamarku, menumpang makan di kamar Suryani, sharing ilmu menaklukkan hati perempuan di kamar Zaqi, dan setiap melewati kamar Aidil selalu berteriak “Wong kito galo!” atau jahil mengetuk pintu kamarnya lalu kabur jika Aidil membuka pintunya, hari itu pun tidak terlihat batang hidungnya. Aku berpikir ia sudah baikan dengan penjaga kosnya. Tapi tebakanku yang paling akurat adalah ia lagi menggombal di tempat kos kekasih barunya, Tiar Mandela. Mahasiswi Ilmu Keperawatan yang rajin membawa makanan banyak jika berkunjung itu dan lagi dinyanyikan lagu Mawar Merah, Terlalu Manis, atau Malaikat Penyelamat oleh kekasihnya yang juga pandai bermain gitar. Tiar kupastikan tersipu-sipu geli.

Aku dan Daniel terkekeh-kekeh melihat kelakuan Awan di depan cermin kamarnya. Ia tidak menyadari kehadiran kami. Musik yang sedang ia nikmati pun mengalahkan suara derap langkah dan kekehan tertawa kami berdua. Ia sungguh menjiwai menyanyikan Earth Song yang entah sudah berputar untuk keberapa kalinya. Penjiwaannya mengungguli Faithful Songbird saat kami melihat mereka latihan pada liburan semester 3 kami itu, juga kalahkan penghayatan Micky saat menghiburan adik-adik panti Riyaadlul Jannah. Matanya merem-melek sesuai dengan emosi yang diciptakan lagu tersebut. Selain itu, ia juga melengkingkan suaranya dan siap menyaingi vokal Jacko di dalam kepingan mp3. Kedua tangan pemanjatnya bergerak naik-turun sebagaimana seorang Addie MS, Tya Subiakto, Erwin Gutawa, Kitaro, atau August Rush di hadapan para pemain orkestranya pada sebuah pertunjukan akbar. Dian Putra Setiahatta semakin gila mengikuti lagu itu—apalagi pada bagian ketika sang megabintang saling bersahutan dengan penyanyi latarnya. Awan pun seperti orang tercekik mengejar temponya.

Lihat selengkapnya