HAMPIR dua tahun PANTERA, organisasi pecinta alam kami, berpetualang dan beraktivitas ke sana-ke mari tanpa legalitas dari kampus, termasuk ketika terjadi tsunami di ujung utara negeri ini, juga gempa di Yogyakarta dan di Jawa Tengah setelah isu meletus Gunung Merapi. Dan barulah pada 16 Desember 2006—tepat dengan tanggal wafatnya aktivis ‘66 Soe Hok-gie yang wafat di puncak Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahun ke-27—kemarin Pioneer of Adventure and Rescue Association (PANTERA) resmi jadi KKM (Kelompok Kegiatan Mahasiswa) yang disahkan Sidang Tengah Tahun Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP UNPAD. Resmi milik fakultas, yang awalnya milik HimaKS, KAMPAKS (Kelompok Aktivis Pecinta Alam Kesejahteraan Sosial), namun FISIP lebih butuh. Mitra aktivisku di kampus yang senang tinggalkan sejarah luar biasa untuk tanah yang pernah ia pijak, si History Attitude Halim Musyaffa, sang pengganti guru rohaniku Ustadz Pa’ang untukku yang jadi pejabat Ketua BEM FISIP kala itu. Aku membantunya berduet dengan aku versi perempuan, si Extraordinary Girl Sekar Ayu Ambarwati, Ienez, di Departemen Minat dan Bakat, yang berhubungan kesenian dan tulis-menulis. Rasyid, Puspita, dan Awan sudah pasti membantunya di Departeman Pengabdian Masyarakat. Dan KS 375 lainnya langsung atau tidak jadi voluntirnya.
Yang kemudian PANTERA kami mendapat pengesahan dan surat SK dari Pembantu Dekan III bagian Kemahasiswaan. Serta mendapat dana kegiatan kemahasiswaan dari Pembantu Dekan II bagian Keuangan. Tapi kami mengakui hari lahir PANTERA pada tanggal 16 Desember 2004, tepat pada pendeklarasian organisasi pecinta alam kami di puncak Gunung Gede. Semenjak pengesahan dari birokrasi kampus itu, kami 21 orang para pendiri PANTERA tidak malu-malu lagi menjawab identitas kami ketika ditanya mapala-mapala lain, dan kami pun bebas mengibarkan bendera oranye kami ke puncak-puncak gunung tertinggi di tanah air ini. Semangat hidupku menemukan jati diriku dan mengubah hidupku lebih baik juga mulai terbuka, setelah menjadi anggota mahasiswa pecinta alam itu.
Hari Deg-Degan Seduniaku tinggal beberapa jam lagi. Meski aku tahu waktu menuju pagi masih lama. Malam masih berputar sekitar jam 9 malam. Aku dan Daniel meninggalkan Aula Potensi dengan perasaan riang. Sumpek juga berlama-lama berada di dalam ruangan. Apalagi ditambah dengan beban pikiran, berseliweran kenangan manis hidup yang takbisa diraih kembali, atau perasaan kerdil jika ditantang masa depan. Aku belum siap 11 Februari 2008 lulus kuliah.
Untunglah Daniel mengajakku makan malam. Dengan alasannya, mengisi energiku dan menghitung jumlah mahasiswi cantik yang masih berkeliaran di sekitar tempat kosku, Jalan Ciseke Besar. Ia takut perutku dan juga pikiranku kosong, atau besok fisikku lemah, atau malah memikirkan yang bukan-bukan.
Ternyata banyak warung makan yang tutup atau tinggal menu sisa-sisa saja, yang sudah tidak hangat dan menarik lagi tampilannya. Kalau aku atau siapa saja makan di situ, wah, Ariesta Floreta pasti semalaman ceramahi kami akan bahaya memakan makanan taksegar itu, lengkap dengan dalil-dalil ilmiahnya dan cara pengobatannya jika kami mengalami apa yang ia khawatirkan.
Setelah memuji beberapa gadis manis yang berlalu-lalang di sepanjang Daniel dan aku berjalan, akhirnya kami memilih makan malam di Mentung. Sebuah warung nasi 24 jam langganan kami yang ada paket delivery service dan tidak siap saji, baru dimasak jika ada yang memesan sehingga selalu hangat. Inilah tempat makan yang sangat disukai si perfeksionis Ariesta Floreta. Warung sederhana itu sediakan khas jajanan murah mahasiswa: nasi telur, nasi jamur, nasi goreng, nasi korned, nasi teri medan, nasi tumis kangkung, nasi balado kentang, nasi orek tempe, nasi gila, nasi ayam goreng, nasi ayam panggang, nasi omelete, aneka Indomie rebus atau goreng (dicampur keju, korned, sosis, telur, atau sayuran), serta minuman hangat sachet-an yang dikemas begitu sederhana, seadanya dan murah. Rata-rata pegawainya anak-anak di bawah usia 15 tahun—pekerja anak. Pendidikan tertinggi mereka adalah lulusan SD, bahkan ada yang putus sekolah. Jadilah mereka anak-anak bangsa yang didewasakan oleh dunia pekerjaan mereka. Ketika ditanya cita-cita atau impian, sebagian besar anak-anak yang direkruit dari kawasan ujung pedesaan tertinggal di Kabupaten Sumedang itu berkata: “Ah, yang penting sayah tidak hidup menderita sajah di kampung!”
“Brad, lihat pegawai-pegawai ini paling umurannya sekitar 11 sampai 14 tahun, tapi sudah bekerja keras seperti ini!” seru Daniel membuka pembicaraan setelah kami berdua mantap mengambil tempat duduk, tepat menghadap layar TV edisi sepuluh tahun yang lalu. “Kasihan gua, mereka nggak seperti kita, dapat kesempatan Wajib Belajar Dua Belas Tahun. Kita berdua ini masih enak, Brad, walaupun kantong keluarga kita pas-pasan, tapi kita masih diberi kesempatan sekolah tinggi, kuliah. Dan bersyukur lagi lu besok sudah bisa sidang sarjana dan lusanya gua. Sungguh miris pendidikan di negara kita sekarang ini, Brad!”
Dia benar-benar mengeluarkan unek-uneknya selama ini padaku. Tentang nasib anak-anak yang seharusnya memperoleh hak pendidikan mereka. Seketika itu juga hatiku langsung berkaca-kaca. Malu, juga terharu, oleh ucapan partner kuliah, UAS, dan skripsiku itu. Beberapa jam lagi aku sidang sarjana. Setelah wisuda dan mendapatkan ijazah aku bisa terbang ke mana pun menggapai mimpiku, tripotents challenges-ku, juga relasi selama aku aktif berorganisasi, atau jalur ilmu KS-ku yang katanya bisa bekerja di mana saja, yang kuinginkan.
Tapi anak-anak ini apakah bisa sepertiku? Secara latar belakang aku memiliki kesamaan dengan mereka, sama-sama berasal dari kampung pedesaan terpencil di Jawa Barat ini. Namun, secara…
Ah, sudahlah. Sebaiknya aku mengistirahatkan otakku. Kasihan ia terlalu banyak menyimpan beban pikiranku juga ambisi hidupku yang sedang gencar-gencarnya. Tujuanku ke tempat ini adalah makan malam. Aku tegaskan kepada pancainderaku pun demikian. Lagi pula mereka cukup bahagia mencari nafkah di sana. Penampilan mereka pun hampir menyerupai dandanan mahasiswa baru, tidak seperti ketika mereka baru awal-awal bekerja. Meskipun kualitas kaos, blue jeans, atau sandalnya taksemahal milik mahasiswa gaul yang sering menumpang makan di sana. Justru itulah salah satu kebahagiaan mereka yang selama ini kurasakan. Bisa membeli pakaian, HP baru, pewarna rambut, dan parfum sendiri.
“Busyet, Fadh, HP mereka lebih bagus daripada yang kita punya. Mereka sudah ada WAP, mp3, dan kameranya!” takjim Daniel kemudian ketika melihat tiga pegawai yang kebagian shift malam itu memainkan HP mereka.
Seorang yang lebih tua sambil memasak pesanan kami, mendengarkan radio dari earphone HP-nya. Seorang lagi yang bertugas melayani pengunjung, kasir, pengelap meja, dan pembuat minuman asyik sendiri memutar lagu-lagu alay dalam playlist-nya. Sedangkan yang paling kecil, memiliki tugas mengantar pesanan dengan sepeda mini—fasilitas warung—yang sering putus rantainya itu, berkali-kali memotoi tampang dirinya, dan langsung menghapusnya jika dirasa kurang bagus hasilnya, lalu mengambil gambarnya lagi hingga ada sesuatu yang bisa menghentikannya. Ada pesanan harus diantar atau ada pengunjung datang.
Malam ini rupanya lagi sepi, hanya aku dan Daniel tamu mereka. Si kecil tukang mengantar-antar ke mana pun orang yang memesannya itu jadi merasa tidak ada hal yang mengganggunya. Itulah waktunya istirahat dan bersantai.
“Kalah kita, Dan!” seruku menanggapi ucapan Daniel, melihat keasyikan mereka menikmati kebaikhatian Tuhan kepada mereka di tanah perantauan.
“Hem, tapi kalau dipikir-pikir enak juga jadi mereka,” celetuk si the White Casanova. “Nggak banyak pikiran, hidup mereka, yah, tinggal bekerja dan setiap bulan mendapat gaji, dan nggak perlu bersusah-susah ngerjain skripsi, nggak bikin surat lamaran kerja, juga nggak punya gengsi kalau seandainya nanti lulus kuliah tapi terus nggak punya pekerjaan! Pengangguran terdidik untuk dunia!”
“Benar, Brad!”
Kami berdua saling tersenyum. Sungguh miris. Dan aku teringat ucapan Rasyid, ketua angkatan kuliah Ahmad Rasyiddin, yang sering makan di Mentung bersama duet jahilnya, Wiku. Rasyid yang sangat peduli terhadap dunia anak-anak itu sering mengobrol dengan mereka, bahkan kadang jadi tempat curhat mereka. Suatu hari, Rasyid pernah bercerita permasalahan mereka padaku, Zaqi, Awan, Firman, A Ho, Nyonyo, Jambi, Puspita, juga Sinna. Aku pun bercerita itu pada Daniel, sesuatu yang diutarakan Rasyid a.k.a Kehead, memprihatinkan.
“Menurut cerita si Kehead, mereka ini nggak ada kesempatan menambah ilmu pengetahuan apalagi keterampilan lain. Orang tua mereka begitu takacuh soal pendidikan. Orang tua-orang tua itu anggap sekolah hanya buang-buang uang dan juga waktu saja. Anak-anak yang disekolahkan katanya hidupnya jadi terbawa gengsi, minta dibelikan motor, HP, atau yang perempuan, ya, alat-alat perawatan kecantikan. Jadi, menurut mereka sekolah itu nggak menghasilkan apa-apa, nggak memberi mereka uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga,” tuturku, pelankan suara, semoga tiada didengar mereka bertiga.
“Rata-rata mereka ini berasal dari kalangan bawah di pinggiran kota Sumedang yang bermata-pencaharian buruh tani, kuli bangunan, atau pekerjaan nggak tetap lainnya. Salah seorang orang tua mereka bahkan ada yang berkata: ‘Daripada membuang uang untuk biaya sekolah lebih baik untuk biaya hidup keluarga. Ujung-ujungnya sekolah juga mencari kerja, ya, lebih baik mereka bekerja saja. Bekerja apa saja asal menghasilkan uang.’ Dan, anak-anak di warung Mentung ini pun akhirnya menjadi konsumtif. Gaji mereka setiap bulannya yang masih di bawah UMR kota Bandung, karena Jatinangor masuk Sumedang, selalu habis setiap awal bulan gajian. Sasarannya, iya, untuk membeli apa yang mereka impikan waktu tinggal di desa dengan status ‘gak jelasnya: sekolah tidak, bekerja pun tidak. Sungguh malang nasib mereka, Brad, nggak seperti kita yang memiliki impian, harapan, cita-cita, pengetahuan dan keinginan hidup lebih baik.”
“Kita sungguh bersyukur, Brad!” tambah Daniel seraya mata elangnya menatapku. Aku takbisa berlama-lama menatapnya, segan, pun ada rasa kagum yang takbisa diucapkan kata-kata. Tapi itu tidak bagi mahasiswi-mahasiswi di kampus atau mereka yang tadi aku ditemui di jalan sebelum sampai ke warung Mentung. Oh ya, jumlah mahasiswi yang cantik atau sedap dipandang yang tadi aku temui dengan Daniel jumlahnya ada 27 orang. Itulah salah satu permainan iseng yang aku jalankan bersama Daniel setiap mengunjungi suatu tempat atau memang iseng tidak ada kerjaan. “Dan harus terus bersyukur setiap waktu!”
“Tuhan masih memberi kasih dan sayang-Nya kepada kita. Secara jenjang pendidikan dan rezeki saat ini kita masih lebih dari mereka. Nggak kebayang juga kalau gua gagal SPMB, lalu melihat bapak gua nggak kerja, sakit-sakitan, entah nasib gua sekarang di mana. Mungkin gua bekerja seperti mereka sekarang!”
DEB! Seolah ada tonjokan keras yang menghantam tubuh sehatku. Tubuh yang masih merasakan nikmatnya makan tiga kali sehari dan tidak susah untuk mendapatkannya. Daniel kembali menyadarkanku tentang pentingnya setiap saat bersyukur, berpikir, dan introspeksi diri. Apa jadinya jika aku gagal SPMB juga, gagal masuk IKJ-STSI-atau ISI, atau pamanku tidak memiliki biaya untuk melanjutkan sekolahku? Gaji pensiunan ayahku hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hariku. Mungkin aku selamanya menjadi seorang pemimpi kelas dunia.
Mungkinlah aku seperti orang impotensi, napsu besar tapi kemampuan tidak ada. Mana mau jiwaku jika disuruh berjualan daging sapi di pasar untuk membantu usaha sapi potong pamanku, yang setiap hari harus bangun jam 1 malam, lalu berangkat ke pasar tradisional agar tidak ditinggalkan pelanggan. Begitu setiap hari. Kehadiranku di Warung Mentung itu menjadi satu penambah rasa syukurku lagi: kenapa Tuhan menguliahku di Ilmu Kesejahteraan Sosial. Ya, dengan tripotens challenges-ku dan gelar S.Sos-ku aku bisa menjadi bagian dari kesejahteraan sosial di negeri ini. Salah satunya, menyayangi dunia anak-anak. Terlebih mereka yang berbakat tapi tercekal cita-cita dan kekurangan biaya.