HAHAHA. Itulah mereka. Yang pasti selalu kurindukan. Terlebih duet unik, Jambi dan Nyonyo. Ingat mereka, yang paling masterpiece kekonyolan keduanya adalah ketika diskusi di kelas ‘Apa itu pekerja sosial?’. Saat kuliah Pengantar Pekerjaan Sosial (PPS) pada semester 3 bersama dosen kesayanganku, Joni Priyono, M.Si. Materinya adalah kelas dibagi sepuluh kelompok, dan setiap kelompok ditugasi membuat konsep pekerja sosial, dibuat pula ilustrasinya pada kertas flip chart, lalu salah seorang perwakilan kelompok mempersentasikannya dan berdiskusi.
Kelompok yang sangat dinanti-nantikan tiba gilirannya. Kelompok ajaib. Kelompok siapa lagi kalau bukan kelompok si Child Out Hill, si anak hutan yang tersesat di kota, Jamaludin Biwana. Riuh sorak penonton yang ingin menyaksikan lawakan cerdas Warkop DKI di Taman Ismail Marzuki pun semakin menambah keceriaan di ruang B. 205. Pemuda unik berprinsip di mana kakinya berpijak akan berlogat bicara warisan leluhurnya dan bercita-cita kurangi angka kemiskinan di Provinsi Jambi, itu berjalan penuh percaya diri ke depan kelas. Niat kuatnya ingin terlihat berwibawa dan tampan layaknya 11-12 ganteng: Daniel dan Firman.
Sayangnya, ia jauh dari kenyataan. Ia malah bak peragawan berbadan kuli yang berdinas mencangkul ke sawah. Pengamat busana KS 375 yang grooming-nya selalu up-to-date, Mizz Execute Ariesta Floreta, berkomentar pedas padanya.
“Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran si Jamaludin ini?” serunya di belakangku, “sayang, ya, bakat bermusiknya tertutup gelap oleh penampilannya yang nggak terjaga dan perilakunya yang hobi abnormal. Padahal kalau dia mau mengembangkannya, aku yakin dia bisa menjadi musisi kaya raya yang dimiliki kampung halamannya, dan mampu mempermalukan musisi-musisi musiman di Ibu Kota. Sayang saja, potensinya nggak terarahkan dengan baik!”
Aku yang cukup jelas mendengar kalimat Ariesta itu mencoba merespons.
Ariesta yang hari itu berpakaian serbabiru dongker tepat memilih kursi di belakangku. Tumben, ia tidak memilih Chitose di barisan depan. Sebenarnya aku tidak tahu komentarnya itu diserukan untuk siapa. Aku melihat Vanika ataupun Nabila yang duduk di antaranya tidak sedang berbincang dengannya. Mungkin kedua sahabat terdekatnya itu kurang memahami topiknya. Atau boleh juga Ariesta hanya ingin menggeruti sendiri. Aku yang terbiasa berdiskusi dengannya jika ada waktu luang, mencoba jadi lawan bicara yang asyik calon guru piano itu.
“Orang-orang seperti Jambi, Nyonyo, dan Awan adalah aktor yang selalu dirindukan ketika kita kesepian,” seronohku takizinkan ia bicara sendiri. “Walau waktu berkumpul mereka kurang memberi kontribusi yang lebih, tapi setidaknya mereka terbiasa menyehatkan pikiran dan hati kita: orang-orang sok sibuk yang kadang untuk setiap hari meminum air putih segelas saja nggak sempat.”
“Betul!” tegasnya, “tapi, Fadh, aku malah lebih baik merindukan mereka daripada harus melihat langsung perilaku mereka!”
“Janganlah seperti itu, Ries, biasanya suka jadi jodoh lho…”
Dialog itu tidak selesai. Selain pinggangku takut pegal-linu karena harus membengkokkan setengah badanku ke arah Ariesta, aku juga harus menghargai materi diskusi pada hari itu. Apalagi temanya kali itu sangat akubutuhkan sebagai calon pekerja sosial, kelak kalau aku gagal jadi seniman. Seperti kata Bim-Bim Slank yang diutarakan Tomi, kita harus memiliki dua mimpi. Begitu juga Ariesta. Kedua mata sehatnya yang setiap hari konsumsi vitamin A, ia fokuskan ke arah Jambi. Menatap bercahaya merah menyala, takmengerti tabiat Jambi di kelas.
Kertas karton putih bergambar manusia aneh atau apa Jambi bentangkan di permukaan punggungnya. Orang-orang di belakangnya resmi menganggap gambar itu adalah sketsa makhluk sejenis dirinya. Spesies langka yang secara ‘tak sadar dilindungi oleh negara namun hendak dimusnahkan oleh umat. Kemeja merah flanel andalannya yang menutupi tubuh kecil dan pendeknya ia gulung bagian lengannya. Celana bahan hitamnya yang sempit berkali-kali ia bersihkan. Banyak tapak sepatu yang menempel di bagian belakang celananya itu—celana yang katanya pemberian salah seorang paman angkatnya, juragan pakaian di daerah Antapani, Bandung. Tapak sepatu itu hasil perbuatan beberapa anak jahil yang tidak kuat menahan ketawa, melihat pemuda urakan Desa Muarobungo itu berkomedi-ria berjalan menuju ruang persentasi. Lihat saja, rambut landaknya yang bak dilumuri 21 kg gel dengan maksud agar terlihat selalu basah dalam setiap penampilan, itu kataku, sangat mempermalukan keluarganya, bahkan para pendiri Provinsi Jambi khususnya. Bagaimana tidak memalukan ia. Dengan style-nya seperti itu bukannya bisa tampan layaknya si 11-12 ganteng di KS 375, tapi ia malah tertampak seperti tikus tengik tercebur got. Basah tidak karu-karuan.
“Peksosnya lucu!” begitu komentar A Ho, dengan gaya cerianya ketika satu dari tiga mahasiswa KS 375 unik itu usai menempelkan kertas kartonnya di whiteboard. Salah satu kegemaran John Lennon Sunda di dunia ini adalah mengaktualisasikan kelakuan abnormal dan sense of humor Jambi ke khalayak publik. Bahkan pernah, ketika ada audisi pelawak di TV, A Ho mati-matian ingin mendaftarkan Jambi ke ajang tersebut sekaligus memanajerinya.
“Ayolah, Bang Jambi, buatlah nama KS 375 terkenal di mancanegara! Banggakan pula warga masyarakat Provinsi Jambi, beserta Suku Anak Dalamnya, bahagiakan mereka memilikimu yang sukses di Pulau Jawa!”
Dengan bersimpuh, merendah diri, dan memohon-mohon A Ho memaksa Dono Warkopnya KS 375 itu. Rencananya, jika ia bersedia, kelompok itu terdiri dari lima orang: Jambi, A Ho, Awan, Zaqi, dan aku. A Ho menyusun konsep dengan begitu matang. Dalam kreativitas tingkat tingginya itu ia sendiri berperan sebagai leader; Zaqi dengan sikap melankolis dan gaya bicara ala dubber telenovelanya berlaku sang pelempar umpan; dan Awanlah bernasib korban umpanan Zaqi yang kemudian akan dijadikan materi lawakan sang leader dan Jambi; lalu aku yang berbakat lain menirukan gaya beserta suara vokalis band ternama diatur A Ho sebagai penambah warna grup; sementara manusia langka yang kelak bisa disetarakan dengan Dono Warkop DKI, Unang Bagito, Parto Patrio, Jojon Jayakarta, Sule S.O.S., Joe P-Project, atau Komeng Diamor, bertugas jadi maskot kami. Dan sengaja tidak mengajak maskot KS 375 satunya lagi, King’s Talker, si Manusia Tanpa Lawan Nyonyo. Selain ia yang gengsian, juga malas tambah akrab dengannya. Nama grup pun A Ho dan Zaqi diskusikan dengan sang Rainbow Fever, lelaki penggemar tantangan untuk dunia yang penuh warna, si ganteng dan kreatif Firman Satyabudhi: antara Jomblokronis dan RI, Rajin Ibadah.
Sebagian besar kami sangat mendukung ide gila A Ho tersebut. Penuh keikhlasan dan berharap besar bisa berhasil. Tapi, sayang-disayang, sedikit saja Jambi tidak tertarik untuk meraih salah satu kesuksesan manusia yang sudah ada di depan matanya itu. Ia memiliki cita-cita yang lebih besar dari itu, katanya. Sebuah pengabdian. Itulah yang selalu dikatakannya ketika lagi normal.
“Anak KS itu harus maju!” seru A Ho lagi, “Kamuh lihat sekarang Rasyid, Micky, Baron, Andriyas, Tomi, Fadhil, Fatira, juga Albar, mereka semua jadi anak band dan bakal serius ke depannyah. Belum lagi anak-anak lainnyah yang sambil kuliah tapi tetap fokus mewujudkan cita-cita besar merekah. Akuh yakin, kamuh kelak bisa menjadi pelawak ternama di Tanah Air. Dan sekaranglah awalnyah!”
“Ho, cita-cita terbesarku di Pulau Jawa ini hanya ingin mendapatkan ilmu sebanyak mungkin,” jawab Jambi serius, ketika itu, “dan bukan untuk sekadar mendapatkan popularitas! Kalau aku mengejar itu, sudah dari dulu aku lakukan.”
Kalimat penuh motivasi, sanjungan, dukungan, juga Teori Bangkit A Ho edisi tujuh secuil pun tidak ada yang menyangkut. Jambi tetap mempertahankan pendiriannya. Cita-cita besarnya yang masih ia rahasiakan. Jika dianalisis kisah hidupnya, Jambi dan aku memiliki harapan yang bertolak belakang. Tapi ajaibnya memiliki satu keterkaitan. Aldiba Fadhilah yang nekad membawa jiwa raganya dari Pulau Sumatera menyeberang ke Pulau Jawa adalah demi mewujudkan tiga potensinya. Dan aku akui aku belum memiliki keahlian yang terlatih, hanya minat yang besar saja yang akubesar-besarkan. Justru Jambi sebaliknya. Ia memiliki tripotents challenges itu dengan baik, bahkan dikatakan mendekati ahli. Tapi ia datang ke Bandung bukanlah akan mewujudkannya. Hanya demi menuntut ilmu.
“Hei, Jambi, itu gambar nenek moyangmuh?!” Musuh bebuyutannya, si Bocah Tua Nakal, si Atlet Segala Bidang, mencoba menghambat pembukaan persentasinya. “Hah, gambarmuh ternyata lebih ganteng daripada dirimuh!”
Begitu menyebalkan Nyonyo berucap, sambil tangan kanannya mengelus-elus perut six pack-nya. Ia memandang remeh pemuda yang memiliki bakat luar biasa tapi tidak mau mengembangkannya itu. Dengan gaya posisi duduk khasnya, duduk dekat dinding dan menyandar miring semiring perilakunya, ia tersenyum jelek sekali. Ingin rasanya Jambi mengajaknya ke salon perawatan khusus wajah.
“Diam kau, Bocah Tua Nakal, ingatlah usiamu sekarang!” tegas Jambi pada salah seorang manusia paling sepuh di kelas kami. Lalu memandangi kami semua sambil menunjuk gambar manusia aneh di karton putih itu.
“Ini gambar Dewa Cinta kalau kalian ingin tahu!” Selain memiliki bakat melawak, berpuisi, mengaransemen lagu, dan mengedit video, bakat lain yang ia miliki adalah menggambar. Gambar Dewa Cinta itu adalah buah karyanya.
Daniel menundukkan kepalanya dan menempelkannya ke mejanya sambil tertawa-tawa. Tidak kuat menahan geli. Kedua tangannya pun melindungi batok kepala berisinya. Aku hanya tersenyum semut melihat persentasi orang gila di depan kelas. Orang gila yang mengibaratkan peksos itu seorang ‘Dewa Cinta’.
Lihatlah gambarnya! Seorang lelaki tampan dengan pakaian modis yang katanya mirip David Beckham. Ienez, Sekar Ayu Ambarwati, yang kujuluki hebat Extraordinary Girl, karena jasanya membuat makrab, malam keakraban pertama untuk semua keluarga KS FISIP UNPAD, termasuk alumni, sebagai pecinta fanatik suami Victoria Adams yang sekelompok dengan Sinna, itu jelas berang dan panas memprotesnya. Aku saja sampai ganti idola pemain sepakbola. Memahami itu, Jambi langsung mohon minta maaf, takut dimusuhi Ienez beserta geng-nya yang terkenal kompak lahir-batin. Seven Souls yang berbahaya itu. Deden Belanegara Damali bertepuk tangan sendiri menyaksikan gambarnya. Mungkin karena yang menggambar kurang tidur atau memang ketiduran, ketampanan dan kemodisan si lelaki dalam gambar yang dipuji-puji Jambi itu malah seperti jaelangkung.
Lebih mencaur lagi. Di pundak lelaki itu terdapat sepasang sayap yang tidak jelas bentuk dan ukurannya. Yang kanan seperti janggut kambing jawa dan yang kiri seperti pelepah pohon kelapa. Di tangan kanannya terpegang sebuah buku yang tebal. Sementara di tangan kirinya terpegang sebuah kantung kain bekas wadah tepung terigu bergambar logo dollars—seperti kantung uang di film-film kartun produksi Amerika. Dan, di atas gambar manusia tampan itu bertuliskan huruf kapital, ‘DEWA CINTA’. Ya, itulah penggambaran ‘peksos’ kelompok mereka. Lebihnya kutebak, itu ide asalnya si Jambi sendiri.
Sharifa Fatira, yang kujuluki Chyrup Delychious, saking manis dan selalu segar setiap hari orangnya, salah seorang vokalis band indie ternama di Bandung yang sekelompok dengan Jambi asyik sendiri bertepuk tangan, menyemangati kelompoknya. Namun, yang lain bersikap biasa saja padanya yang jarang kuliah. Meskipun di luar kelas, Fatira sangat dielu-elukan penggemarnya, tapi mereka lebih fokus terhadap Jambi yang bak badut di depan kelas. Melihat Fatira sangat gembira di bangkunya, Jambi langsung saja bertransformasi gaya berdiri dan bicaranya agar lebih baik di hadapan sang artis. Ia lagi modus mencari perhatian.
“Baiklah, Saudara-Saudaraku KS 375 yang kami cintai, dan kami hormati: untuk Deden Belanegara Damali maksudnya.” Nyonyo hanya manyun saja diberi-begitukan. “Kepada kelompok kami, kelompok 6, kita adalah Kelompok Cinta!”
“Hahaa! Huuu…!!”
KS 375 serasa diulang-tahunkan. Tertawa begitu puas.
“Kepada dosen kami, Bapak Joni Priyono, M.Si.,” sambungnya seperti lagi memberi kata sambutan, “salam cinta dari kami, Kelompok Cinta, yang penuh cinta, kasih sayang, persaudaraan, kemurahan hati, dan keindahan alam!”
“Orang gila!” Nyonyo berkomentar kembali, “Dasar rambut landak kau!”
“Pekerja sosial adalah dewa cinta.” Tiada peduli Jambi pada godaannya. “Dengan sayapnya ia mampu melindungi kita, melembutkan hati kita, juga orang yang kita sayangi, dan memberi kehangatan kepada kita semua. Aamiin…”
Si Chyrup Delychious semakin mengasyikan dirinya saja. Sendirian.
Menanggapi penjelasan Jambi itu, Wiku dan Rasyid berpelukan. Guyonan yang membuat orang lain jijik melihatnya. Tapi justru itu yang membuat kelas semakin semangat belajar. Dosen yang ahli case-work itu tersenyum-senyum saja di depan pintu kelasnya yang tertutup. Tapi sesekali ia menyuruh tenang kelas dengan tepukan lembutnya. Kami merasa nyaman dan berkembang bersamanya. Setiap materinya selalu menciptakan kesan tersendiri sehingga mudah untuk diingat. Coba saja jika pada waktu itu materinya dibuat kaku, tegang, atau satu arah, aku mungkin takkan pernah bercerita kepada kalian ‘apa itu peksos’ dan unggulnya sebuah jurusan yang bernama ‘Ilmu Kesejahteraan Sosial’ di dunia ini.
“Peksos itu harus kaya,” jelas Jambi lagi, sambil menunjuk posisi gambar kantung uang yang dipegang oleh tangan kiri si Dewa Cinta.
“Bagaimana dia bisa menolong orang lain kalau dia sendirinya miskin. Jadi, kita ini harus kaya raya biar bisa banyak membantu banyak orang. Semakin kita banyak membantu maka semakin banyak pula doa dan dukungan kepada hidup kita. Hidup ini akan tenteram, asyik, damai, sejahtera, mulia, berguna, dan tersohor. Orang kaya itu orang yang banyak didoakan kebaikan oleh orang lain. Semakin banyak kita beramal kebaikan maka semakin kayalah kita! Kaya yang sesungguhnya itu kaya hati, kaya akhlak dan etika, seperti si Dewa Cinta ini!”
“Untunglah… bukan seperti dirimuh!”
A Ho menimpalinya bermuka pantomim. KS 375 pun langsung semakin akrab. Sehangat api unggun di tengah hutan Gunung Ciremai atau campground Gunung Papandayan. Satu-satunya dosen di kelas itu pun bangga akan suasana dinamis kami. Septiandi Ho salah seorang penciptanya. “Sayah belum sempat memikirkan, bagaimana kalau peksos itu seperti diah, klien-klien kita bukannyah sehat malah trauma?! Semoga sayah nggak ada nasib menjadi klien beliau!”
“Hahahaha!” BarudaKS ramai tertawa, sesuai karakter masing-masing.
Lalu. “Peksos itu harus pintar!” sambung sang Child Out Hill lagi, seraya menunjuk gambar buku di karton putih itu. Jambi tersenyum selebar-lebarnya, sebelum melanjutkan kalimat persentasinya.
“Ya, harus pintar, seperti aku!”
Kami sempat terdiam sedetik. “Jika tidak pintar mana bisa aku kuliah di KS FISIP UNPAD, berdiri di sini, dan persentasi untuk kalian… Hahaaa…”
“Dasar anak Desa Muarobungo!!” teriak Wiku di tengah gaduh KS 375.
“Peksos juga harus gaul!” ujarnya kemudian sambil menunjuk pakaian si Dewa Cinta, “jangan kampungan seperti saudara kita, si Untung Syukirman, si Gunawan Rustama (yang kampong rumahnya belum diaspal), atau, hahaha… si orang tua kita, Bapak Deden Belanegara Damali! Ampuunnn! Haha… Hahaaa…”
“Hahaaaa…”
KS 375 semakin mengakak dan betapa renyahnya. Begitu pula dengan Untung dan Gunawan yang baru saja disindir. Keduanya merasa tidak terzalimi, malah itu sebuah kesenangan tersendiri bagi mereka. Itu indahnya bersaudara.
“Ah, diam kamuh, Jambi!” seru Nyonyo tiba-tiba.
Dia yang sebelumnya tengah bersantai di singgasananya, sontak sedikit kurang menerima ucapan terakhir musuh bebuyutannya itu. “Saudara-Saudara sekalian, sepertinyah di kelas ini ada anak suku pedalaman Sumatera yang lepas.”
Nyonyo masih dengan gaya duduknya. Begitu pun senyum sensualnya. Zaqi yang duduk persis berhadapan dengan mahasiswa yang dituakan di kelas kami, itu pun mulai bermain watak. Siap menggoda sesepuh kami di sana.
“Kakak Deden Belanegara Damali, sudahlah minta maaf kepada adikmu Jamaludin Biwana!” ujarnya dengan mimik dan gaya bicara ala Luis Fernando pada sebuah episode telenovela. “Ayolah, katanya saudara?!”
“Bukan—bukan begitu, saudara Zaqiansyah Fahrezi,” jawab Nyonyo lebih melankolis, “tapi si Dewa Cinta itu membuat hatiku tertusuk... tertusuk!”
“Tertusuk jaelangkung?!” Firman Satyabudhi kali itu yang menimpali.
“Peksos itu harus tampan!” lanjut Jambi seraya dirinya menunjuk wajah si Dewa Cinta, bangga “Hahaaa!” Meskipun mulai lelah meladeni Jambi, mereka masih sisakan tawa, dan gurih sekali. “Seperti Firman, Daniel, Albar, Alva, Wiku!”
Orang yang terakhir disebut, si pecinta alam gembel, itu pun mendadak manyun dibuatnya. Lalu dengan wajah mengancamnya menunjuk-nunjuk muka klasik orang yang menyinggungnya. Mengingat Wiku yang sehari-hari bergaya gembel dan dua minggu itu belum mandi, jadi mustahil bisa sekelas dengan Firman dan Daniel Cs.. “Lalu Taufik Hidayat, Tao Ming-tse, David Beckham, atau ketua kelas kita Shalih Hasan Aleksandri!” lanjut Jambi tersenyum bangga.
“Ma sha Allah…” Beberapa anak gadis di kelas memuji nama Tuhan ketika Jambi menyebut nama lelaki tampan yang terakhir. Berbeda dengan Ienez, yang senangnya minta ampun karena kapten Timnas Inggris disebut juga.
“Aamiin...” ucap Shalih yang asli anak DKM kampus, untuk berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia melanjutkan kalimat, “Astaghfirullah hal ‘adzim,” ketika melihat dua lelaki bermuka jahil menggodainya dengan genit: Duet Jahil. Rasyid dan Wiku. “Kalau wajahnya kurang nyaman di hati klien,” tambah Jambi, “bagaimana kita bisa dekat, lalu akrab, dan berinteraksi dengan mereka? Itu bisa menjadi masalah baru. Sedangkan tugas kita adalah memecahkan masalah orang lain tanpa menimbulkan masalah baru.”
“Kita ini pekerja sosial apah pegadaian sih?!” canda A Ho pada kami.
“Dan peksos itu harus merakyat sekali. Tidak boleh sombong, angkuh, sok hebat, preman, atau takmemiliki perikemanusiaan. Ingat, slogan angkatan kita…”
“LIFE FOR HUMANITY!!” teriak KS 375, dikomandoi Awan, sangat kompak. Jiwa patriotisku terhadap angkatan kuliahku itu terangkat dengan sendirinya.