SEMENJAK masuk kuliah tingkat 2, aku dan dirinya benar-benar lost contact. Pertama, masing-masing kami tidak memiliki nomor HP, HP memang masih jarang dimiliki ketika kami berpisah itu. Nomor telepon rumahnya aku hapal, tapi agak kurang baik jika ada urusan sepele dengannya harus kontak ke rumahnya. Lagi pula jika siangan ia jarang ada di rumah. Kedua, kami sadar, sibuk dengan aktivitas masing-masing di kampus sehingga kami benar-benar putus hubungan.
Padahal sejak SMU itu aku berharap bisa bermimpi dengannya meraih cita-cita kami: menjadi sastrawan. Latar belakang kami pun sama, sama-sama ditolak keluarga untuk memutuskan pilihan hidup yang di luar tradisi keluarga. Itulah klik yang membuat aku klop dengan dirinya. Kalau orang lain yang tidak tahu sejarah persahabatan kami pastilah menyebut kami berpacaran. Dua guru hidupku saja, Pa’ang dan Robin, sempat menanyakan kebenarannya. Tapi setelah kujelaskan keduanya paham. Bahkan Robin meminta dijodohkan dengannya.
Oh ya, hingga sekarang aku masih memiliki utang padanya: memberinya satu buah karya sastra. Yang entah kemudian itu kujadikan kado ataupun mahar.
Sungguh keajaiban, kekuasaan Ilahi, gadis penyuka warna ungu yang rajin dikagumi para casanova di sekolahnya itu mengirimkan SMS untukku. Hampir setahun aku puasa berhubungan dengannya. Dan inilah suara azan magribnya.
Saat-saat awal kuliah, aku masih suka menelepon ke nomor rumahnya, menanyai kabar atau membahas satu buku sastra, entah itu tentang Rumi, Pram, Remy Sylado, Ernest Hemingway, T.S. Eliot, Rabindranath Tagore, atau Sutardji Calzoum Bachri, atau juga si raja horor Stephen King. Dan rupanya itu membuat orang tuanya kurang nyaman—aku sering meneleponnya pada malam hari, di waktu ia berada di rumah. Lalu ia memberiku nomor HP-nya. Ia kasihan padaku yang kadang habis berpuluh-puluh ribu di wartel untuk bisa mendengar suara lucunya. Demi itu aku biasa berduet bersama Zaqi. Zaqi pun sama, menghabiskan puluhan ribu rupiah demi gombali seseorang di seberang pulau sana. Seseorang sebelum gelar Dewi Eidelweis disematkan ke hati Renata Juwita. Hasilnya, aku dan dirinya cukup SMS-an, tapi begitu HP-nya hilang, kami kembali lost contact.
Aneh, darimana ia tahu nomor HP-ku, padahal HP-nya hilang sudah lama sekali. Malu juga kalau harus menanyakan darimana ia mendapatkan nomorku. Tidak tahulah yang jelas aku senangnya, ia datang ketika aku membutuhkannya: motivasinya. Sahabatku, inilah satu SMS yang mengejutkanku, yang aku senyalir ialah sahabat sastraku yang berani itu. Sahabat yang menyuntikku heroin penulis.
“Asw.Wr.Wb. Sehat A’? Semoga Aa’ terus selalu dalam perlindungan-Nya. Mendapat apa yang diharapkan. Semoga liburannya menyenangkan. Ini nomor baru Adek. Mandasari Fathana!”
Begitu bait SMS-nya. Membaca identitasnya yang lengkap itu. Jelas yakin pengirimnya adalah Mandasari Fathana yang kumaksud, yang biasa kupanggil Hana atau Adek. Dirinya perempuan murah senyum yang telah mencemplungkan tubuhku ke sungai sastra yang lebih dalam. Aku pun mengalir bagai air yang melewati pelbagai macam bebatuan sungai menuju muaranya. Otakku mulai berpikir kembali. Aku bak menemukan kembali sebuah pijar bola lampu yang menyala di depan mataku. Suasana pun menjadi cerdas. Terlebih ketika Mang Malih, tukang bubur ayam, lontong kari ayam, dan kupat tahu langganan Pondok Hidayah datang. Sambil berteriak-teriak lantang ia menawarkan dagangannya di pagi yang sepi itu. Suara jajakannya yang khas sering dijadikan alarm oleh para penghuni yang malas bangun pagi, sebagai pengingat bahwa hari itu sudah jam 7 pagi. Jam 10 pagi itu ia muncul lagi. Hanya ada aku, Rasyid, dan Awan di sana.
“Bubur! Bubur… bubur ayam… lontong kari… kupat tahu… masih hangat… masih banyak .…”
“Mang Malih! Lontong kari tilu, tiga, Mang! Pedes!” teriak Awan seraya mengangkat tangan kanannya, antusias, seperti semangatnya kalau diajar dosen cantik. Melapar juga ngalor-ngidul merencanakan liburan semester yang seru.
“Cuma tiga piring, Wan? ‘Kan biasanyah juga sepuluh?” protes perantau asal Singaparna, Tasikmalaya, itu sedikit bercanda. Padahal banyak berharap.
“Anak-anak kos sudah pada pulang, Mang!”
“Libur yah? Sepi lagi! Rugi lagi!?”
“Sabar atuh Mang Malih, namanya juga lagi usaha!”
“Kita ini sudah sabar dari zaman Kompeni, zaman Jepang, tapi bagaimana lagi!?” keluh pria pendek bulat yang kini melusuh. “Kemarin, Wan, sisa lontong Mamang buang semuanyah. Masa jajanan pagi sampai sore masih banyak, kalau dibawa ke rumah sudah tidak enak lagi rasanyah, terus Mamang lempar saja ke kebon! Huh, sudah bahan-bahan pokok sekarang mah pada naik harganyah.”
“Kenapa dilempar? Coba kasih tahu kita, pasti habis!” Rasyid mencoba membuat orang tua itu tidak emosi dengan kondisi jualannya pada masa liburan. Jiwa peksosnya selalu terampil, terarah, dan terasah. “Sayang atuh, Mang, kalau dibuang-buangin, itu sama dengan membuang rezeki, membuang uang, hehe!”
“Kesal sajah Mamang, sudah beberapa hari ini tidak pernah balik modal. Dimakan sendiri jugah kalau sudah kelamaan pasti basi, A’ Rasyid! ‘Kan Mamang jualan makanan untuk sarapan pagi, masa dimakan malam-malam atau besok paginya buat dihabisin semuanyah?! Bisa masuk rumah sakit saya kalau sampai yang basi dimakan! Uang lagi urusannyah!! Anak-istri saya kepiye, bagaimana?”
“Ya, daripada dibuang, ‘kan mujair, eh, mubajir!?”
Mang Malih tersenyum. Sungguh pandai si multi-talenta itu menghibur orang tua yang dirundung kesusahan. “Nah, kalau Mang Malih nggak mau rugi, musim liburan seperti ini sedikit saja jualannya, yang penting habis! Piye?”