ALDIBA FADHILAH, Dian Putra Setiahatta, dan Ahmad Rasyidin berangkat juga ke Jogja sore itu. Tanpa persiapan. Perencanaan matang. Dan perbekalan selama liburan di sana. Mendadak lagi. Kami bertiga menyebutnya inilah dunia orang-orang lapangan, harus setia setiap kapan saja dibutuhkan, apa pun kondisi dan cuacanya. Yang penting adalah apa yang kita niatkan terwujud dengan baik, apa pun risikonya. Itu baru namanya peksos sejati. Kami berteori peksos sendiri.
Akhirnya, setelah menghubungi beberapa pemuda KS 375, melobi orang-orang yang diharapkan, dan musyawarah antar tim inti, yang berangkat liburan ke Jogja kali itu hanya empat orang. Aku, Awan, Rasyid, dan Daniel. Daniel?
Ya, dari sekian orang yang dihubungi dan dilobi hanya lelaki penggemar Spider-Man itu saja yang turut menggenapkan tim. Kami berempat sudah berada di Stasiun Kiaracondong sebelum magrib. Daniel Peter Yosepha datang begitu injury time. Kami sempat cemas, takut ia tidak jadi datang. Bahkan Awan sempat tersadarkan juga jiwanya. “Kita ini orang-orang nekad. Gua baru sadar sekarang, kita mau berangkat ke Jogja tapi masih bingung mau tinggal di mana dan mau melakukan apa saja, sementara keuangan kita sangat-sangat pas-pasan sekali!”
“Temen SMA gua juga belum ada yang kabari,” ujar Rasyid dengan napas yang berbau kekecewaan, “seperti teknis awal, mumpung masih muda, belum terikat kontrak sebagai suami, menggembel di mana saja kita! Dan tidurnya ….”
“Di mes?” sahut Awan mencoba menghibur diri.
“Mesjid!” jawab Rasyid menebak apa yang akan dibercandakan Awan. Sementara itu, aku bersikap seperti air yang mengalir saja. Naskah liburanku aku serahkan kepada mereka. Biarkanlah aku menjadi aktor pembantu pria terbaik.
Benar, hari itu suasana liburan. Stasiun padat sekali. Untuk berjalan di trotoarnya saja kami kesulitan. Daniel berkali-kali mengingatkan agar berhati-hati dan menaruh daypack di depan badan, bukan digendong. Untung tiket sudah lebih dulu dibeli Awan. Meskipun sudah ada, tapi tetap saja kami tidak kebagian kursi alias dapat tiket berdiri. Terpaksa harus berdiri hingga tujuan. Sahabat, hari itu adalah hari pertamaku menumpang kereta api kelas ekonomi. Hari itu pun merupakan hari perdanaku pergi ke Jogja. Salah satu kota tujuan kuliahku ketika sekolah dulu—jika gagal di Jakarta (IKJ) dan Bandung (STSI)—, karena memiliki ISI dan para seniman murni serta fenomenalnya, pun disebut Kota Pelajar, dijuluki Kota Budaya, bergelar Daerah Istimewa (D.I.), serta bervisi jadi Kota Perbukuan.
“Si Wiku nggak ikut kita, Wan?” tanya Daniel seraya membetulkan posisi duduknya. Sambil menunggu kereta tiba yang hanya beberapa menit lagi, kami berempat bersantai sejenak di teras depan stasiun. Rasyid berkali-kali mengecek keadaan, tapi masih nihil hasilnya. Kereta api belum kunjung tiba padahal telah lewat beberapa menit. Jelas itu mah, armada pengangkut kami terlambat. Klasik.
“Kagak ada kabarnya,” jawab Awan. “Dia mah biasa orangnya misterius, tiba-tiba saja menghilang, terus muncul lagi sudah membawa cerita-cerita gelo. Gila abis. Cerita sehabis bermain ke gunung inilah, ke museum inilah, ke daerah itulah, yang lengkap dengan sejarah, narasumber, dan misteri di dalamnya!”
“Sungguh sulit diprediksi si Skandinavian itu,” respons Daniel, memaklumi manusia unik yang dijulukinya Skandinavian, petualang tangguh dari pegunungan tertua di dunia. “Ngegembel ceritanya kita? Nggak ada tujuan dan guide wisata!”
Aku kira Indiono Wibhowo sengaja menghilang pada waktu itu. Ia tahu rencana kami. Awan yang mengabarinya, meneleponinya, dan meng-SMS-inya. Aku pun sadar. Seperti halnya kasus pendakian Papandayan, ia yang seharusnya menjadi ketua tim tiba-tiba saja pada hari H tidak ada kabar, dan terpaksa Daniel yang menggantikannya. Kami semua benar-benar dibuat belajar olehnya dan pada akhirnya didewasakan oleh pengalaman kami sendiri. Bukan oleh cerita-ceritanya. Sehingga kami, ketika itu, menuruni pundakan Gunung Papandayan dan jelas di hadapan kami terbentang indah nan cerah puncak Gunung Cikurai. Yang disebut jodohnya Papandayan. Kami lanjut berikrar, kami akan melengkapi pendakian di Garut, menaklukkan Cikurai pada semester terakhir kuliah kami.
Begitulah jika kita selalu nyaman bergantung kepada orang lain, ketika ditinggalkan maka bersiap-siaplah menjadi gelandangan. Gembel. Kurasa Daniel paham apa yang harus ia lakukan: menjadi orang nomor satu di antara kami.
“Suryani mudik ke mana? Ke Merapi apa ke Betawi?” tanya Daniel.
“Suryani, di Jakarta, Brad. Ibunya kurang sehat euy, tapi kalau ada waktu dia mau menyusul katanya. Ada agenda juga ke Jogja bareng ibu dan adiknya, ngunjungin embah-nya!” jawab Awan, setengah berharap Suryani ada waktu ke rumahnya di Jogja, yang sedianya siap sedia menampung empat gembel beserta konsumsi, sarana MCK, dan guide pribadi. “Zaqi ke Belitung, bantu-bantu usaha ayahnya dan mengurus sekolah adiknya. Si Jambi nggak mau diganggu katanya. Dia mau beristirahat dengan damai, tidur sampai semester 4 tiba. A Ho kerja sampingan. Terus, si Malik awalnya mau ikut. Dia kangen suasana Jogja sekalian mau silah ukhuwah dengan ibu kosnya sewaktu SMA dulu. Tapi barusan telepon katanya mau dipijat Mang Apuy—tukang pijat ternama, tersohor, dan teladan di Kecamatan Jatinangor. Dia kelelahan dan sedikit stress sehabis UAS. Kalau ibunya mengizinkan dia menyusul juga. Amanlah kalau ada dia, uangnya ‘gak abis-abis!”
“Oh iya, anak juragan bahan bangunan di Kawarang itu SMP dan SMA-nya di Jogja. Hm, masa depan cerah kalau dia sampai menyusul. Terus barudaKS yang lainnya, Wan? Sinna, Puspita, Karina, Hafsah, Ienez, Halim, Rizki, Bambang?”
“Semua sudah gua hubungi, Dan. Hingga si manusia terpendiam se-Asia Tenggara, Aidil Minandar, juga aku ajak. Tapi dia keburu sudah di Palembang.”
“Lu nggak pulang, Fadh?” tanya Daniel, melirikkan matanya padaku.
“Ke Palembang itu bukan namanya liburan. Masa liburan di rumah!”
“Kali saja lu rindu dengan incaran lu di sana.”
“Hem, ada juga sapi-sapi paman gua yang dibedaki dan dilipstiki, Brad!”
“Bwahahaha…”
Serentak kami tertawa. Tidak peduli nanti bakal berdesak-desakan di peron dan parahnya di dalam gerbong kereta api. Sahabat, akhirnya aku pandai melucu kembali. Tandanya aku sudah menemukan kenyamanan dan semangat bermimpi kembali. Tapi benar juga tebakan Daniel, kali saja aku merindukan incaranku di Palembang, puteri mawarku. Hm, bermimpi di siang bolong, panas-panasan, lalu ingin menikmati bulan sabit dengannya. Katrena, do you miss me?
Kemudian Awan melanjutkan laporannya untuk sang ketua rombongan, “Oh ya, Dan, Firman juga mudik ke Kebumen, ada acara keluarga besarnya.”