RASYID duduk seperti pahlawannya. Cukup serius, bersahaja, dan kharismatik. Hanya Daniel yang bersikap biasa. Seolah ‘tak setuju atas cara kami selamatkan anak itu. Seperti tahu apa yang akan terjadi dengan si anak delapan tahun itu. Sementara itu, si Pulung begitu tenangnya duduk manis di dalam perlindungan kakak barunya. Gale dan Ishak masih terlihat wujudnya di balik kaca jendela kereta yang siap membawa kami kembali pulang. Akuperhatikan berat mereka melepas empat gembel dari Jatinangor. Begitu juga kami meninggalkan mereka.
Kali itu, aku benar-benar kagum pada ketua angkatanku. Ia bersungguh-sungguh, rela berkorban, bahkan mau melakukan apa saja, asal anak tersebut bisa kembali ke Bandung dan hidupnya layak kemudian. Awalnya, sulit juga bisa membawanya mau pulang ke Bandung. Dengan segala akalnya, Rasyid terus meyakinkannya. Ia mengimingi harapan bahwa jika si anak sudah di Bandung, berarti hidupnya akan terjamin lebih baik—juga aman, dan bebas penyiksaan.
Begitu senangnya ketika si bocah stasiun malang tersebut mau mengikuti kehendaknya. Secepatnya pula ia mengontak salah seorang alumni kami yang bekerja di yayasan perlindungan anak di Bandung. Sang alumni meresponsnya positif malam itu juga. Kemudahan lagi kami dapatkan. Aku semakin salut dan kagum padanya, begitu juga dengan cara kerjanya. Begitu asyik jadi peksos.
“Saya tidak mau pulang,” rengek si anak tiba-tiba, dalam dekapan Rasyid.
“Kenapa kamu tidak mau?!” panik Rasyid. “Daripada di sini, dipalaki, dipukuli … Mau setiap hari kamu diperlakukan seperti itu oleh mereka!? Hagh!”
Si anak tidak menjawab. Ia malah menangis. Rasyid menjadi luluh hatinya. Gale dan Ishak masih terlihat di luar. Kereta api belum juga melaju. Rasyid mulai mendapat tantangan baru. “Saya tidak boleh pulang kalau belum bawa uang dua puluh ribu,” seru si bocah berisak. Ia mulai berani menatap wajah Rasyid dan aku. Lantas Rasyid mengintrogasi adik semata wayangnya yang bak si Pulung itu diciderai orang dan ketua angkatanku beritikad ingin membalas dendam.
“Tidak boleh siapa?” tanyanya, takacuh nanti berhadapan dengan siapa.
“Istri si Bapak. Kalau belum bawa dua puluh ribu, saya tidak boleh pulang. Saya sering dipukuli, disiksa, malah lebih parah dari yang di sini… Lihat ini semua hasil kemarahannya!” jawab si Pulung sambil menunjukkan bekas luka-lukanya.
“Kok bisa?! Istri si Bapak? Maksudnya?”
Rasyid, Awan, dan aku keheranan mendengar ucapannya. Kemudian di luar pikiran kami, anak itu bagai belut melepaskan diri dari dekapan Rasyid. Kami bertiga langsung panik. Hanya beberapa penumpang lain yang menyaksikan kejadian itu. Dengan sigap Rasyid mengangkat tubuhnya dan mengikuti langkah cepat anak yang masih memegang erat plastik es jeruknya. Si Pulung berhasil menuruni tangga kereta ke luar gerbong. Rasyid dan aku membuntutinya dari belakang. Daniel dan Awan tetap berada di dalam gerbong. Menjaga tas-tas dan tempat duduk kami. Duduk begitu nyaman di kursi yang lega sambil merokok—dibelikan saudara baru kami, Ishak, padahal ia sendiri tidak merokok. Mulanya Awan hendak mengikutiku mengejar anak itu, tapi Daniel menarik lengannya agar tetap berada di kursinya. Dan Daniel sendiri untuk sementara itu belum mau ikut campur dengan masalah si Pulung. Tapi cukup memberi pesan padaku, agar mengingatkan Rasyid untuk tidak terlalu protektif. Hal itu akan membuat si anak tidak nyaman, takut, dan curiga. Apalagi jika si anak itu memiliki trauma.
“Fadh, tolong jangan terlalu protek. Lu lihatnya anak itu pendiam tapi dia bukan anak kecil biasa, bisa saja berontak dengan kalian! Beri tahu juga Rasyid!”
Aku mengikuti saran Daniel. Kereta sekitar dua menit lagi berangkat. Rasyid masih berusaha mengajak si Pulung masuk kembali ke dalam kereta dan duduk bersama dengannya sampai ke Bandung. Meninggalkan bagian kecil dunia yang menyiksanya. Gale dan Ishak masih ada di sana. Keduanya timbul rasa iba. Dan kereta sebentar lagi bergerak. “Dia ibumu?” tanya Rasyid, yang dikejar-kejar waktu. Sama sekali ia tidak acuh bunyi sirene yang memekik. Peringatanku tidak ia gubris juga. Terus fokus dengan si anak. “Bukan. Ibu saya mah orangnya baik!” jawabnya tegas. “Ibu saya suka memberi sarapan, memberi roti, dan ibu saya tidak pernah marah kalau saya pulang tidak membawa uang juga.”
“Jadi dia yang sering memukuli itu siapa?” selidik Rasyid lagi, tidak sabar.