Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #30

Bab 29 - Begitu beratnya menjadi seorang pekerja sosial

MALAM itu aku mengantuk sekali. Aku seperti kerbau pemalas yang sering A Ho katakan: “Dasar kerbau pemalas! Sudah kerbau, pemalas!” Apalagi membahas anak tidak tahu terima kasih itu. Bukan rahasia bagi barudaKS, jika aku sudah mengantuk atau masuk jam tidurku, tanpa hitungan menit aku bisa langsung terlelap. Awan pun sama. Mencoba untuk tidur nyenyak di dalam besi tua itu. Sedangkan Daniel masih terjaga. Seperti yang tengah memikirkan sesuatu. Asyik sendiri memainkan satu batang rokok yang menyala. Sekali-kali ia isap rokok itu. Lalu asapnya ia buang dengan lembut, ke arah jendela. Rasyid di depannya berusaha untuk tidur. Sungguh gelisah. Mukanya kusut. Sangat jelek. Bau tengik pun tercium dari pakaiannya yang sudah tiga hari belum diganti. Kaos berwarna kuning dengan line besar berwarna biru di lengan pendeknya yang kemudian ia hibahkan pada salah seorang pegawai di Warung Mentung, langganan kami. Sepertinya masih penasaran dengan anak itu. Salah satu niat baiknya digagalkan oleh manusia yang akan diberi kebaikan olehnya. Miris. Jika ketika berangkat kami merasa tersiksa badan, sepertinya ketika pulang Rasyid tersiksa batin.

 Malam Jumat itu kami lewati dengan tidur saja. Semalaman itu kami berempat tiada yang mengobrol. Mungkin itu puncak rasa lelah kami. Selama empat hari 24 jam penuh di Jogja, pundi-pundi lelah itu pun selalu saja kami sembunyikan, karena lupa waktu menikmati liburan. Hanya Daniel yang masih betah dengan sikapnya. Sama sekali tidak tidur. Selain melindungi barang-barang dari tangan jahil, ia juga rupanya melindungi kenyamanan tidur kami. Kulihat matanya sayu, menahan tidak tidur, keletihan sekali. Hingga besok paginya kami terbangun, ia tetap dengan posisinya semalam. Memainkan batang rokok yang menyala dan menghadap ke jendela. Seperti ada yang sedang dipikirkan serius. 

Aku dan Awan terbitkan haus dan lapar. Tanpa bersuara, Daniel serahkan satu botol air mineral berukuran sedang dan satu kantong plastik berisi roti lima ratusan. Aku tidak bertanya ia mendapatkan itu dari mana. Kami menyantapnya tanpa bismillah. Rasyid pun Awan bangunkan, ingatkan sarapan bersama. Tapi, ia yang bak berusaha untuk selamanya tidur. Sungguh gelisah. Perasaannya masih belum tenang. Uring-uringan tidak jelas. Susah tidur. Membuka mata saja malas sekali. Hanya membuat pusing kepala berisinya. Aku takut kecerdasan emosional Rasyid terganggu. Mungkin juga ia tidak sadar ketika kereta api melewati daerah perbatasan. Ada beberapa orang yang kukira penumpang bergumul di area kursi kami. Lalu mencari celah untuk mereka duduki. Kereta telah sepi penumpang.

Mata elang Daniel peka ketika melihat ada orang yang tiba-tiba duduk di sebelah Rasyid, dan mengeluarkan jaket untuk kemudian menyelimuti pahanya. Dengan gesit Daniel memanggil Rasyid. “Syid, bangun, kita sudah mau sampai!!” Padahal masih sangat jauh. Mereka yang disebut Daniel kawanan copet itu pun meninggalkan area kursi kami dengan damai. Tersenyum dan berlalu. Benar dugaan Daniel, celana jeans Rasyid bagian depannya robek oleh ulah mereka.

Rasyid terlihat bengong menghadap kami. Asing. Muka bantalnya masih saja terus membahas pengalamannya di Lempuyangan. Awan berusaha menjadi bijaksana untuknya. “Sabar, Brad, mungkin kita perlu belajar lagi di kampus, dan di tempat lain!” Daniel menatap keduanya. Keluarlah kalimat pertamanya pagi itu. “Sudahlah, Syid, biarkan anak itu bermain dengan mimpinya!”

“Ternyata sulit ya menjadi pekerja sosial?” ujar Rasyid, serius, takmelihat kami. “Aku kira hanya cukup membantu, tapi harus mempunyai modal. Bahkan kita saja dikuliahkan, 4 sampai 7 tahun. Pantas di Jepang peksos gajinya besar!”

Aku terbangun dari setengah sadarku. Ucapan Rasyid menampar pipiku atau juga menyiram tubuhku yang masih enak terbaring di kasur empuk dengan air satu ember. Membangunkan mental malasku. Apakah itu bagian rencana Tuhan membelokkan tujuanku kuliah di IKJ? Aa’ Adam meneleponku, aku lulus Sinematografi di Institut Kesenian Jakarta, dan disuruh daftar ulang ke Jakarta dibantu saudara kandung perempuan satu-satunya kami untuk daftar ulang, biaya sepenuhnya dari pamanku yang di Palembang, wali orang tua kami, namun ketika kabar itu sampai padaku, aku sudah sebulan menjadi mahasiswa KS FISIP UNPAD dan sedang mengikuti orientasi pengenalan kampus (ospek) indoor di Lembang. Serta telah memiliki kenyamanan baru, angkatan KS 375 yang kompak.

Benar, aku disuruh hidup di Jatinangor, yang selalu kusebut Bandung. Untuk kemudian mendalami ilmu KS? Menjadi peksos andal? Tapi, itu tidak penting sekarang, Sahabatku. Yang terpenting sekarang adalah di mana Rasyid, manusia yang telah mengajarkanku menyukai dunia anak-anak, untuk makan bersama kami di Aula Potensi. Junior-junior kami di HimaKS, PANTERA, cinemaKS dan yang mengenalnya, mala mini ingin mengucapkan semangat padaku, terus bertanya di mana kehadiranmu. Seharusnya kau bersamaku, sidang esok hari.

Sudah alamiah. Setiap akan naik kelas kita harus ujian terlebih dahulu. Ketika akan mendapat pekerjaan pun kita harus tes dan wawancara dahulu. Dan ketika meraih perhatian orang tua apakah kita musti melewati ujiannya? Apakah ketika mendapat cinta Tuhan pun kita lebih dahulu dites atau diwawancarai? Lalu ketika aku ingin membuktikan cintaku kepada kakak sulungku yang punya ikrar ’Aku akan menikah jika adik bungsuku sudah lulus kuliah’, apakah ujiannya aku harus bisa melawan perasaanku, melepas masa mahasiswaku dan kemudian aku meninggalkan mereka yang selama ini justru mendukung pengejaran impianku?

**

Brad! Brad! HOI! Kenapa lu?”

Daniel menyadarkan pikiranku yang tengah menikmati kenangan di masa lalu itu. Kenangan hebat pula bersama ketua angkatanku, seorang multi-talenta yang mahir memainkan semua jenis alat musik, bernyanyi bermacam genre, mendesain grafis apa pun, membongkar dan memasang perangkat PC, memasak, mencukur rambut, dan mengendarai mobil offroad. “Jangan banyak bengong kalau mau sidang! Lu besok bisa kurang konsentrasi di ruang sidang!” lanjutnya.

Di dalam Aula Potensi hanya ada aku dan Daniel. Zaqi dan Renata tengah berduaan di tempat biasa aku menyiram koleksi tanamanku. Awan tengah asyik menelepon Evanida Elfanya di pojokan. Shalih sudah izin pulang ke kosnya. Di teras Aula Potensi masih tersisa Wiku, Nyonyo, Jambi, Tomi, dan Firman. Lalu bertambah lima personil lagi yang datang dengan hebohnya sambil membawa bungkusan martabak bangka dan menambah kegaduhan: A Ho; lalu si mahasiswa bisnismen Bambang yang belum menyentuh skripsi sama sekali tapi lebih sibuk membantu skripsi sang tunangannya—Arifah, mitra sidang sarjanaku besok—; Budiman yang kami sebut duet pendiam dengan Aidil atau duo pemuda banyak masalah saking tidak banyak bicaranya, tapi kalau mengadu balap mobil tiada duanya di antara kami; Maliki Muljito, Malik, anak pengusaha bahan bangunan makmur di Karawang; ditambah Yahya, yang penggemarnya memanggilnya Aya, biar manis saja, dan tumben bisa hadir ke markas, setelah diusut ternyata Malik yang sudah meminta izin pada ibunya yang perhatian lebih itu, dengan alasan minta bantuan Aya mengerjakan skripsinya yang judul saja belum ada.

Lihat selengkapnya