Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #31

Bab 30 - Pendakian gunung yang sesungguhnya

Aula Potensi, setelah aku dinyatakan lulus kuliah

CIREMAI, hahaha, pendakian yang sangat indah. Hari ini pun aku melihat kembali di layar monitor istri keduaku pose-pose narsis, gila, khusyuk, dan aksi sok paling tampan se-UNPAD kami—aku, Daniel, Firman, Awan, A Ho, Nyonyo—berformat jpeg di puncak tertinggi di Jawa Barat. Sayang, Rasyid yang punya usul pendakian itu absen. H-1 keberangkatan ditelepon, disuruh pulang ke rumahnya di Depok.

Hem, betapa bodoh, lugu, dan polos aku waktu itu. Namun, pengalaman spiritualku yang hampir mengerang maut di puncak itulah yang membuat hari pendakianku pada liburan semester 4-ku istimewa, takterlupakan, bersejarah, dan sebuah mukjizat. Yang di mana ada seorang sahabat KS 375-ku yang selama ini kami sering meledekinya, tidak pernah percaya omongannya, menjulukinya Manusia Tanpa Lawan, juga Bocah Tua Nakal, bahkan sebelumnya aku pernah menuliskan sesuatu untuk kalian yang begitu skeptis tentangnya, yaitu mengapa Tuhan menciptakan makhluk bernama Deden Belanegara Damali untuk kami.

Jawabannya adalah Tuhan menciptakannya karena salah satu episode hidupnya menyelematkan nyawaku dengan membukakan jendela tenda, ketika aku merasa kehabisan udara di Puncak Para Wali itu. Jujur kukatakan saja, aku berutang nyawa padanya. Ternyata Tuhan tidak pernah menganakemaskan siapa pun sebagai penolong setiap hamba-Nya yang membutuhkan. Wajarlah jika ia dianugerahi Tuhan P 001 ST di organisasi pecinta alam kami, PANTERA.

Aku lepas napasku, lembut dari mulutku. Mengenang masa-masa indah itu. Sungguh manis masa mudaku. Sungguh bahagia menjadi seorang pecinta alam yang banyak belajar dengan kekayaan negerinya. Raih kebebasan imagi; kenyamanan beribadah; pencerahan hati; kematangan diri; kesuksesan berpikir; dan kebahagiaan hidup di hutan yang tenang. Tanpa harus membuat polusi, menyingkirkan orang lain, merusak ekosistem, korupsi, zalim, syirik, anarkis, dan kriminal untuk mendapatkan udara yang segar, air yang jernih, makanan yang hijau, tempat tidur yang nyaman, dan pendidikan bermutu yang gratis. Pemikiran tersebut dirasakan Awan dan A Ho setelah melakukan pendakian ke Ciremai.

Sementara Daniel dan Firman, sesampai di hutan yang sebenarnya, di kehidupan bermasyarakat, keduanya menjadi sangat peduli kepada keluarganya. Keduanya berpikiran bahwa pendakian yang sesungguhnya adalah bukan ketika kita berjalan melewati jalan setapak dari kaki gunung menuju puncaknya, tapi ketika kita mulai melangkahkan kaki dari puncak gunung menuju lerengnya dan dilanjutkan kepada kehidupan sehari-hari kita. Itulah pendakian sesungguhnya. Mengamalkan apa yang didapatkan diri setelah berhasil menaklukkan puncak sebuah gunung—manaklukkan ego pribadi—kepada mereka yang ada di bawah.

Wiku sering memaknai istilah itu dalam bahasa yang berbeda. Sepertinya si Skandinavian itu berhasil menciptakan budaya pecinta alam di antara kami, sebut saja Firman yang glamor, Daniel yang gengster, A Ho yang entertainer sekali, dan aku yang selalu bergantung kepada orang lain, semuanya meraih pendewasaan di puncak gunung. Gunung sang pesantren kepribadian terbaik.

Istri ketigaku, handycam JVC, yang kubeli beberapa bulan setelah turun dari Ciremai kulihat dengan perasaan bangga ia tergeletak di samping kanan istri keduaku, PC-ku. Akhirnya aku memilikinya juga, setelah sekian lama menabung dan setiap ada waktu hanya bisa melihat keindahannya saja di etalase toko-toko distributor resmi kamera di BEC (Bandung Electronic Centre). Ko A Holah yang menginspirasiku. Tapi lebih tepatnya, Sahabatku, handycam itu hadiah dari wali ayahku, pamanku, H. Hamidi Purnama. Sepulang dari Ciremai, ia meneleponku, menanyakan aktivitasku, dan setelah kujawab sibuk mengurusi klub film di kampus serta usahaku yang sedang menabung untuk tiga bulan lagi membeli handy cam. Dan pada hari itu juga ia menyuruh istrinya agar mengirimkan uang untukku. Untuk menambah kekurangan uangku membeli satu barang elektronik yang cukup tresier pada waktu itu. Alasanku yang nekad membelinya adalah jika tidak mempunyai kamera kapan cinemaKS bisa membuat film, dan kapan aku mewujudkan cita-citaku menjadi sutradara setelah melepas kuliah di IKJ?

Dan pamanku yang membantuku. Setelah memiliki istri ketigaku itu aku pun semakin produktif membuat film indie yang bertemakan Ilmu Kesejahteraan Sosial bersama dengan Rasyid, Firman, Riani, Tomi, junior-juniorku, dan tentunya dengan si ketua cinemaKS kami yang pertama: Wudy Maerizal. Zaqi terpaksa tidak aktif karena terfokus sebagai peksos bagi teman-teman Belitungnya, jadi kepala keluarga jarak jauh, mengingat kondisi kesehatan ayahnya di Belitung.

Dan aktivitasku memajukan klub film jurusanku itu pun berakhir hingga semester 7, yaitu ketika Ceu Anin, Madinah Anindya, kakak perempuan semata-wayangku, mengabarkanku satu rahasia keluargaku—kakak lelaki semata wayang kami mau menikah jika aku sudah lulus kuliah. Dilematis. Hidupku janganlah jadi bebab orang lain. Kemudian aku bangkit, membuka satu pintu lemari bajuku yang biasa menyimpan barang-barang rahasiaku. Aku mengambil satu buku yang memuat koleksi prosaku—termasuk yang terilhami dari pendakian Ciremai-ku.

Aku kembali membacanya. Entah ini sudah yang keberapa kalinya. Aneh juga aku membaca tulisanku dua tahun yang lalu. Emm, sedikit patriotis, larut dalam emosi, dan semangat jiwa muda yang menggebu-gebu. Aktivitas ini pun aku hentikan. Di Aula Potensi ini aku benar-benar bingung harus bagaimana, menikmati hari menjadi seorang sarjana. Ah, biasa saja menjadi sarjana. Hanya harus mencari alasan saja jika mau menongkrong kembali di kampus. Sementara sarjana-sarjana baru lainnya semua gencar dan supersibuk melamar pekerjaan ke sana-ke mari atau ke bursa-bursa kerja yang diadakan di Bandung, bahkan yang ada di Jakarta sekalipun mereka kejar. Wow! Pemuda penuh semangat! Padahal para sarjana pada periodeku itu jelas belum diwisuda. Tapi mereka benar-benar tidak mau menyia-nyiakan waktu kosong sebelum wisuda. Salah seorang anak muda penuh semangat meningkatkan strata itu adalah Daniel Peter Yosepha.

Aku sepertinya sarjana baru di antara mereka yang belum memikirkan bekerja kepada orang lain, atau kepada orang asing yang memiliki perusahaan di negaraku. Betapa malasnya tubuh yang tengah memeluk mimpi terbesarku harus ikut-ikutan mengantri, mengisi formulir, diwawancarai, dan, ah, panas-panasan, berdesak-desakan, sikut-sikutan di sebuah kantor pembuka lowongan pekerjaan. Setelah kupikir juga apa yang harus akulakukan dengan status baruku? Jawaban apa yang harus akukatakan kepada wali ayahku jika ia bertanya rencana hidupku selanjutnya? Aku harus mulai dari mana? Awali hidupku jadi seniman profesional atau seniman murni, yang benar-benar penghasil karya dan pengrajin keindahan.

“Hei seniman! Apa yang kau lakukan? Bukannya mencari pekerjaan!”

Suara itu keluar dari mulut Daniel. Ia tidak sendiri. Ia bersama seorang wanita. Dan aku mengenalnya. Jika aku melihat mereka berdua berjalan, emm, betapa serasi sekali, walaupun ada beberapa perbedaan kuat di antara kedua sahabatku ini. Aku juga memperhatikan sekilas, jika keduanya direndengkan aku teringat waktu di Palembang, seperti menyaksikan Fathana dan kakaknya saat aku main ke rumah mereka: satu hari sebelum aku hijrah ke Bandung. Gadis yang dibawa Daniel itu dulunya sangat tomboi dan banyak berteman dengan kaum Adam. Tapi, hari ini ia begitu anggun, santun, bersahaja, murah senyum, dengan balutan pakaian hijab serbabirunya. Hebat! Di akhir masa kuliahnya, ia tutup dengan perubahan dan penampilan yang kusalutkan. Setelah kutanya perubahan dirinya, jawabannya adalah semua itu demi kebahagiaan keluarga, karena anak perempuan seperti dirinya adalah cerminan sebuah keluarga. Ia yang merasa anak gadis satu-satunya bertanggung jawab untuk itu. Sejak itulah aku takberani lagi meminta diboceng sepeda motor padanya yang biasa pergi kuliah berbebek Jepang; anak Condet Awan pun tidak bermain silat-silatan lagi dengannya yang jago taekwondo; juga A Ho yang semakin menjaga jarak untuk mencandainya.

Tapi, Bung, mengapa ia hari ini di sini, bersama Daniel lagi, berduaan, aku tidak berani mengintrogasi kedua mitra skripsiku itu. Oh, kenapa aku jadi tanya begitu? Kurasakan ada prasangka buruk, ketidakwajaran, dan juga cemburu.

Lihat selengkapnya