Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #32

Bab 31 - Pendakian terakhir Jambi & Kegelisahan hati Nyonyo

Seusai wisuda gelombang terakhir TA 2007/2008, bulan Agustus

“KENAPA maneh nggak ikut naik Cikurai, Brad?” tanyaku pada Nyonyo di dalam Aula Potensi. Kami berdua baru saja memberangkatkan anak-anak PANTERA dan beberapa anak KS 375 dan cinemaKS yang hendak mendaki Gunung Cikurai di Kabupaten Garut. Dan mereka mendapat kehormatan besar pada pendakian kali ini, pengujung semester, karena Wiku sendiri yang jadi pemimpin rombongan.

Dua hari yang lalu, Nyonyo, Zaqi, Asma, Micky, Karina, Hafsah, Greta, Aidil, Shalih, dan Untung baru saja diwisuda pada gelombang terakhir, bulan Agustus. Pada gelombang sebelumnya, bulan Mei 2008, Halim, Rizki, Ariesta, Trio Aduhai, Firman, Sinna, Ratih, Evi, Erwin, Jamie, dan Jambi yang diwisuda. Entah mengapa hari ini Nyonyo begitu melankolis. Kelakuan tidak sesuai kekekaran.

Apa karena ia akhir-akhir ini banyak bergaul dengan Zaqi sebagai mitra skripsinya, setelah ditinggal wisuda lebih dulu oleh Jambi? Musuh bebuyutannya yang meninggalkannya bukan berarti tidak solider, tetapi alasan ia sudah sering mendapat tekanan dari keluarganya agar jangan kuliah lebih dari lima tahun.

Dan untuk menunjukkan ke-solideran pada Nyonyo, Jambi masih stand by di Jatinangor dan tidak melakukan apa-apa demi menunggu mitra skripsinya wisuda. Karena hal itulah Nyonyo menjadi melankolis dan cengeng pada hari ini. Jambi telah membuat kami terharu dan mengesankan. Apa begitu perangai para pemuda Melayu, tidak jelek tidak ganteng suka membuat orang senyum terbawa perasaan oleh pilihan diksi ucapannya ataupun kesanan cara perlakukan teman.

Sebenarnyah urang ingin sekali ikut mereka ke Cikurai!” jawabnya begitu menyedihkan. “Mendaki ke sanah ituh adalah janji kitah sewaktu kitah turun dari puncak Papandayan untuk bisa menaklukkan jalurnyah di akhir semester kuliah kitah. Hari inilah saatnyah. Puspita dan Jambi detik ini telah menepati janji kitah waktu ituh. Tapi, entah kenapah, Brad, akuh teh hari ini tiba-tiba sajah batalin niat akuh ke sanah. Maneh tahu sendiri persiapan urang kemarin, ngehubungi semua orang yang mau mendaki, ngebujuk biar mau si Skandinavian yang lagi sibuk penelitian di Ujungkulon memimpin kitah yang belum berpengalaman pergi ke sanah. Dan kitah upacara 17 Agustusan di puncaknyah. Tapi, BradBrad ….”

Dia menghentikan kalimat hatinya. Aku sungguh mengerti perasaannya. Sangat paham dengan maksud ucapannya. Ia benar-benar tidak mau berpisah dengan Jambi. Meskipun selama ini mereka berdua terlihat kurang akur, saling meledek, mengucilkan, atau membuat satu sama lain dibuat jengkel, tapi akhir-akhir ini Nyonyo sadar bahwa musuh bebuyutannya tersebut sungguh tulus, ikhlas, jujur, dan apa adanya mencintainya. Peduli kepadanya. Juga perhatian yang lebih kepadanya tanpa sepengetahuannya. Kamar kost beserta komputer Jambi menjadi saksi itu semua. Selama pengerjaan skripsi, Nyonyo pun sering mendapat dorongan, motivasi, bahkan bahan-bahan untuk skripsinya dari Jambi.

Kadang Jambi yang cukup pandai berbahasa Indonesia rajin memperbaiki skripsi Nyonyo yang banyak salah penulisan secara EYD atau salah secara teknis penulisan karya ilmiah. Nyonyo sungguh terharu atas perhatiannya itu. Ia yang selalu menganggapnya takserius ternyata serius membuat dirinya lulus kuliah.

Cikurai, gunung yang ditargetkan Jambi, 4 tahun yang lalu, harus didaki sebelum dirinya kembali ke kampung halamannya. Setelah pandakian kami pada awal kuliah ke Papandayaan, ternyata menyimpan impian besar bagi kami untuk suatu waktu mendaki saudaranya itu. Alasannya ketika itu stamina dan waktu kami terbatas untuk sekaligus menaklukkannya. Rupanya, yang lebih besar memendam impian tersebut adalah Jambi dan Puspita. Jambi mengasah harapan bisa memakai toganya di puncak gunung setinggi 2.818 mdpl. itu sebelum ia pulang ke tanah Muarobungo untuk selamanya—tidak kembali lagi ke kota kecil ini, Jatinangor; dan Puspita memiliki harapan ingin mendaki ke sana lengkap bersama Suryani, Sinna, Karina, serta Hafsah pada suatu hari; akhirnya Tuhan kabulkan. Keduanya pun menikmati apa yang mereka impikan. Meski mereka merasa masih ada satu yang kurang. Jambi merasa bersedih karena Nyonyo yang paling bersemangat ternyata tidak bisa ikut, ada acara keluarga ke luar kota. Padahal Jambi sangat mengharapkannya, di pendakian terakhirnya.

Puspita juga sama, merasa pendakiannya kurang sempurna karena Sinna, Suryani, dan Karina berhalangan ikut. Tapi bersyukur, sahabat yang keibuannya si Madam Delay, Hafsah Rahmawita, yang saat itu absen mendaki Papandayan ada menemaninya ke atap Cikurai. Puspita bercerita, selepas upacara khidmat HUT RI ke-63 di sana, ia berseru pada Hafsah, “Pendakian kita ini untuk Sinna, Suryani, dan Karina. Semoga kita terus bersama-sama di gunung yang sebenarnya!”

Urang juga sama, Brad!”

Akhirnya aku jujur juga pada Nyonyo. “Sebenarnya urang hari ini ‘gak ada agenda ngedit film untuk festival. Jujur, urang juga belum siap berpisah dengan dia. Walau dia sering ngejengkelin, tapi hidup kita selalu berwarna bersamanya.”

BarudaKS sebentar lagi berpisah, satu per satu mengejar impian masing-masing! Mungkin urang jugah akan turut begitu. Maneh jugah pasti sama, Brad.”

Hari ini, kami berdua merasakan kegalauan hati yang sama. Aku juga sampai tidak percaya ia bakal mengusung ide seperti ini: “375 Foundation harus kitah rintis, Brad! Walaupun kitah tersebar di mana-mana, tapi urang harap ada wadah yang bisa terus satukan kitah. Silah ukhuwah kitah pun terus terjalin!”

**

Empat hari berselang, di pagi yang cerah, Nyonyo berjalan seorang diri menuju Pondok Hidayah, Kerajaan Rasyid. Suryani dan Aidil sudah meninggalkan kosan bersejarah kami. Pulang ke rumah masing-masing. KS 375 tersisa, hanya Ahmad Rasyiddin seorang. Mengisi kekosongan KS 375 pasca aku-Zaqi-Awan hijrah ke hunian idaman kami. Aku dan Awan ke Aula Potensi, yang nyatanya bukan jadi pondokan kami sendiri. Sementara Zaqi pindah ke Bandung, ke tempat di mana teman-teman sekampungnya berkumpul, dan mengamalkan ilmu KS-nya di situ.

Jika sesekali mampir ke sana, kami merasa pangling dengan kondisi yang diciptakannya. Suasana antar penghuni tampak jauh sekali berbeda. Tidak lagi sebagai tempat kost yang bebas melakukan apa saja, merdeka ribut sampai kapan pun, dan sarangnya para penghuni gelap—berapa pun jumlahnya.

Lihat selengkapnya