“APA KABAR, A’?”
“Baik, Dek. Adek sehat?”
“Alhamdulillah, Adek dan keluarga masih dalam perlindungan-Nya.”
Seperti sediakalanya, sangat teduh kalimatnya. Kakak dan adik itu saling memberi dan membalas senyum. Tidak biasanya. Sungguh kaku. Mungkin itu karena terlalu lama tidak bertemu. Apa iya? Kau malah membayangkan dua orang yang jarang bertemu kemudian Tuhan pertemukan dalam satu momen, uh, begitu heboh mereka meluapkan indah rasa kangen. Tetapi kalian? Padahal sebelum kepindahanmu ke Bandung, setiap kali bertemu kalian pasti ramai dan seru. Joke-joke koleksi Robin Samanjidmu sering kau berikan padanya. Hem!?
Dialah teman sastramu masa SMU yang tanpa pamrih rajin memberimu nasihat jika kau meminta, memotivasimu saat kau galau, mendukung setiap harapanmu, juga pandai mendoakan langkah-langkahmu dengan kalimat yang menyejukkan. Kau bisa kuliah di Pulau Jawa pun jadi bagian doa dan dukungan dirinya—kau ceritakan itu kemudian padaku. Pantaslah ia kau juluki perempuan penuh doa. Ia tersenyum ramah pada sahabatmu. Rasyid, Awan, Daniel, dan juga Gale, pada hari pertama liburan semester 3 di Jogja itu, menundukkan kepala. Seolah takmau melihat kalian. Mereka yang masih duduk di teras masjid seperti takmenganggap kau dan adik-adikanmu ada di sana. Tapi satu teman laki-lakinya yang dikatakannya itu kakaknya menganggapmu ada. Dengan sikap santunnya. Tubuh tegap dan tinggi lelaki yang ia bawa menemuimu, sekilas seperti Daniel. Hanya saja ia berwajah putih kemerahan Melayu. Senyumnya yang simpatik itu, ingin rasanya kau lebih mengenal sosok yang disebut kakak Mandasari Fathana.
“Oh iya A’, kenalkan ini kakakku, namanya Rangga Yudhistira Wirayudho!” serunya kemudian, setelah dirasa cukup salam pembukanya. “Panggil saja Ridho. Tidak mirip A’, ya? Dia kuliah di UII (Universitas Islam Indonesia) semester akhir. Sastrawan juga, A’…”
“Ach… Manda, kamu suka berlebihan, malu tahu di hadapan sastrawan sungguhan! Bohong, Mas Fadhil…” bantah Ridho dengan logat ala orang Jawa. Mas Fadhil? Ternyata ia sudah tahu namamu—sebelum kau dikenalkan. Wah, jangan-jangan, ia sudah banyak menceritakan tentangmu pada Ridho ini. Satu-satunya anggota keluarga di rumahnya yang belum dikenalkan padamu, dan sekalipun belum berjumpa denganmu. Cukup sekilas kau melihat wajahnya pada foto keluarga yang dipajang di ruang tamu rumah mereka, tapi itu sungguh berbeda. Bertambahnya tahun membuat tampang dan penampilannya berubah, begitu juga kau, hanya Hana yang kaulihat konsisten dengan penampilannya. Ridho kauperhatikan tipikal pria yang sabar, pendiam, penyayang, dan agak sedikit tertutup pergaulannya. Kau melihatnya dari santun tutur katanya, cara memperlakukan kau dan gembelmu, dan sikap yang ia tampilkan di UGM itu.
Setelah dua kakak-beradik itu kau kenalkan dengan tiga mitra liburanmu beserta malaikat petualangan Jogjamu, kau dan Hana bisa memisahkan diri dari kelompok. Sedikit berjauhan dengan posisi duduk mereka. Pastinya dengan posisi duduk yang masih berjarak. Terhijab. Ridho mempersilakannya dengan baik, padahal kau mengharapkannya si kakak ada bersama kalian. Untuk menjaga pandangan kalian. Perasaan kalian. Dan tentunya juga arah pembicaraan kalian. Kau masih menghormati Hana, ia, dan keluarga mereka. Kalian berdua masih seperti dahulu, menjaga apa yang harus dijaga, sesuai dengan hakikat kalian.
Ridho pun mulai nyaman dengan mereka berempat. Bahkan bisa tertawa, mengikuti lawakan salah seorang dari mereka. Dasar KS 375 gila, detik itu juga mereka bertiga dapat mengakrabkan diri dengan sahabat barumu itu. Ridho sama sekali tidak terlihat seperti orang baru di sana. Sedikit pun tidak canggung. Meski hanya tertawa, oleh guyonan Rasyid meledeki Gale atau aksi Awan yang menceritakan kebodohannya. Begitu juga Gale, yang baru dikenalkan dengan mereka beberapa menit sebelum Ridho tiba, ikhwan metal itu bak yang kenal lama Awan, Daniel, dan Ridho saja. Wajar, di Jogja, ia mengaku tidak memiliki teman seperti empat gembel dari Jatinangor. Sungguh langka baginya. Sebuah hiburan dan liburan segar bagi hati dan otaknya. Yang tiap harinya hanya bergaul dengan komunitas itu-itu saja. Hari itu Tuhan membukakan satu jendela-Nya.
Seperti yang sudah aku katakan, kau benar-benar kaku hari itu berjumpa dengannya. Betul-betul tidak biasanya. Apakah 1,5 tahun kau kuliah di Bandung yang telah membuatmu berubah seperti itu? Berubah? Sikapmu dengan anak-anak perempuan di kampusmu tidak sekaku itu. Kau bisa bebas berinteraksi dengan mereka tanpa jarak apa pun. Tapi untuk perempuan-perempuan seperti Hana kau sungguh lemah. Takut. Kagum. Kebijaksanaan, kesalihanmu tumbuh seketika. Hapalan Alquran sewaktu SD di Kuningan, ilmu-ilmu yang terkandung di dalam buku agama yang pernah kau baca, juga nasihat-nasihat Pa’ang-Wiku-Halim-Zaqi, mampu kauingat kembali. Siap mengimbangi topik pembicaraannya.
“Adek salut dengan Aa’,” ucapnya, tidak kauduga, setelah kauceritakan kegiatanmu di kampus. Kau mendengar ucapannya? Ia memujimu. Lembut suara Hana. Kau belum pernah mendengar suara selembut itu di Jatinangor. Kau berusaha terus menunduk. Sekali lagi ‘tak berani kau melihat wajahnya langsung, apalagi matanya. Kau terbius aura keanggunannya: Bidadari Ungu di Taman Masjid Kampus UGM, adalah judul novel yang tepat untuk melukiskannya hari itu. Terpatri rasa hormatmu padanya. Perempuan yang telah menjerumuskanmu bergelut di dunia sastra lebih serius dan lebih profesional. Dan kau kagumi.
“Aa’ hebat. Aa’ bisa meraih semua yang Aa’ harapkan. Fokus dengan cita-citanya. Aa’ ini orangnya konsisten, berkomitmen tinggi, dan masih yang seperti dulu: puitis. Padahal pergaulan di Bandung itu ‘kan … Adek idak bisa bayangin.”
“Ini berkat doamu.”
Kalian tersenyum tiba-tiba tanpa saling menatap. Tapi kemudian senyum rahasia itu kalian sembunyikan kembali. Hanya Tuhan saja yang boleh melihat itu. Pandangan kalian masih terjaga dengan baik. Sebenarnya kau sungguh tidak betah berlama-lama seperti itu. “Tinggal di Bandung enak ya, A’?” tanyanya, ada harap. Sejauh ini ia ketahui Bandung, sebuah kota yang sejuk, unik, dan ramah.
“Siapa yang bilang kalau Aa’ di Bandung?” jawabmu kembali bertanya. Adikmu sedikit terkejut atas kalimatmu, juga oleh nada suaramu yang ada semacam penekanan. Kau pun mengungkap sesuatu tentangnya, kuliahnya yang sesuai keinginan ayahandanya, dan melupakan cita-citanya kuliah sastra atau jurnalistik di Jogja. “Aa’ ini di Jatinangor, Dek, Sumedang. Ya, sama sepertimu, kuliah di UNSRI, tapi bukan di Palembang ‘kan, tepatnya di Layo, Indralaya?!”