Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #34

Bab 33 - Dialog di bawah gemerlap Jembatan Ampera

Kota Wisata Sungai, hari yang sangat berharga

PALEMBANG, akhir-akhir ini menjadi satu kata yang begitu istimewa bagi seorang Ahmad Rasyiddin. Stimulus positif yang sanggup membuatnya senyum-senyum genit, tersipu malu-malu, dan meminjam istilah Robin ‘menjadi lelaki pemilik senyum termanis di dunia ini’. Aku tidak tahu mengapa ia bisa demikian. Mungkin sedikit kutebak ia sedang jatuh cinta dengan gadis Palembang, atau bisa jadi ia mulai tertarik dengan kemenawanan kota wisata sungai ini. Belum pernah Rasyid menyimpan rahasia kebahagiaan sedemikian rapi seperti ini. Biasanya juga, jangankan memperoleh kebahagiaan, mendapat satu musibah kecil saja ia langsung luapkan perasaannya di depan orang-orang, curhat ke setiap orang, dan kadang taksadar membuat orang lain terbawa emosi atas apa yang ia rasakan. Tapi kali ini hanya ia, hatinya, takdirnya, dan mungkin Tuhan saja yang tahu. Semoga itu satu mozaikmu yang baik bagimu, saudaraku, kansius stimulus yang indah dalam hari-hari istimewamu. Balasan atas kebaik-hatianmu, Teladan Kami.

Kembali pada Aldiba. Kau sengaja pulang. Tanpa pamanmu minta. Juga takada acara keluarga yang harus kauhadiri. Ini benar-benar permintaan hatimu. Hati yang ada janji dengan hati sahabatnya. Saudara yang saling tertukar hati. Kau ingin segera berjumpa Robin. Tidak kuat tubuhmu membawa mimpi dari dua kepala yang terpisah jarak. Kau tidak produktif hidup di Jatinangor. Daniel sering meneleponmu jika taksibuk kerja, menanyakan kapan keluar dari zona amanmu, dari persembunyianmu, siap turun gunung menuju kehidupan sejatinya, minggat dari Jatinangor secepatnya. Si Castise Jobs, A Ho, yang kini fokus memanajeri dua band indie produktif asli Bandung, ketika bertemu, pun berkali-kali menstimulus dirimu kapan optimalkan semangat dan jiwa mudamu, berkarya dan berprestasi sebanyak-banyaknya. Jangan biarkan pohonmu keburu tumbuh dan mengakar kuat di Jatinangor, padahal tanah-tanah subur di belahan bumi ini meminta kau jejaki. Seperti dirinya, sepekan lalu baru pulang dari Fhilipina, bersama band-nya.

Kau seperti makhluk frustrasi saja yang tidak memiliki wajah, lidah, anugerah, masalah, bahkan pencerahan masa depan. Hidup segan mati takmau. Jika meminjam istilah Wiku, kau seperti yang mati rasa. Tidak bekerja, tidak ada niat mau bekerja, dan masih saja menunggu keajaiban Robin datang tiba-tiba membawa koper besar lalu berkata: “Sudah saatnya orang gila keluar dari jurang kebahagiaannya, dan meraih kebahagiaannya, di atas jurang sana!”

Demi Robin kau melakukan perjalanan udara ke tanah masa remajamu. Sungguh tidak sabar kau ingin berjumpa dengannya dan menjelaskan dengan sedemikian meyakinkannya pada orang tuanya, apa yang diskenariokannya, agar ia bisa kaubawa ke Pulau Jawa. Sebagai pintu gerbang kalian jadi salah satu dwi-tunggal yang dicintai dan didoakan bangsa ini. Kedua bapak proklamator kita semoga tidak keberatan jika kalian berdua saingi. Pada ranah kesenian tentunya.

Pamanmu dan istrinya, Mama Ucu dan Bibi Nuri, begitu terkejut ketika melihat dirimu menggendong carriel milik Awan, dan menenteng bungkusan besar—beberapa kotak bolen cokelat dan keju Kartika Sari dan brownies kukus Amanda. Keduanya menyambutmu dalam keadaan tidak siap. Tapi melihat wajah dan sikap mereka kau melihat keduanya 11 tahun yang lalu: muda, energik, ekspresif, dan ceria. Mereka bak pasangan muda yang hendak diberi momongan.

Setelah cukup istirahat, mandi, dan makan ala kadarnya, karena takada persiapan mereka menyambut kedatanganmu. Sedianya biasa sediakan makanan kesukaanmu lele goreng atau paru crispy, karena pepes belut sungguh jarang ada di Palembang. Atau memasak nasi goreng kesukaanmu juga itu tidak mungkin untuk menu makan siang—sajian berminyak bagi yang baru tiba dari sebuah perjalanan jauh. Tapi ala kadarnya mereka, bagimu, Ceu Anin, Aa’ Adam, dan Wak Muklis (uwakmu di Kuningan) itu sajian makanan yang istimewa. Kau pun meminjam salah satu sepeda motor paman yang paling jelek, menuju rumah Robin. Baru beberapa meter kau membawa bebek tahun lama ini, Robin sudah menghubungimu agar kalian bertemu di salah satu mall yang ada di Palembang saja. Kau baru mendengar namanya dan hari ini jadi yang pertama kalinya kau ke sana. Ia membuatmu tegang. Alasannya, agak kurang stabil jika mengobrolkan hal kami di rumahnya. Skenario yang dibuatnya sedemikian canggih pun langsung masuk ke keranjang sampah. Hatimu bertanya-tanya. Ada apa dengan Robin dan ayah-ibunya? Apa mungkin mereka lagi ada konflik? Agak kurang stabil katanya.

Sudah lima belas menit, Robin belum juga muncul. Tapi apa mungkin ia sudah sejak tadi ada di sini, dan kau tidak menyadarinya karena hampir lupa dengan wajahnya yang sekarang. Memang kau akui, sangat lama kalian tidak berjumpa. Ketika ia meneleponmu lagi, selepas wisudamu, kau juga sampai ‘tak mengenalinya. Sahabatku, tenanglah, kau masih mengenal gaya berjalannya, cara berpakaiannya, dan, hahaha, yang mudah kau kenali adalah tahi lalat Rano Karnonya. Lalu kaupesan es susu cokelat di sebuah pojok minuman di foodcourt yang tengah kau diami. Kau nikmati masa tidak sabarmu, perasaan hati yang tidak tenang, gelisah yang merajai, juga bosan yang membumbui olahan emosi dalam jiwamu. Tiga puluh menit berjalan mitra bermimpimu itu belum juga hadir. Apa mungkin kau salah masuk mall atau juga salah memasuki foodcourt yang dimaksud? Tapi setelah kau cek di HP, benar di sinilah tempatnya.

Beberapa anak lelaki berswiter hitam pekat, bertubuh tinggi, dan berjalan cuek sering kau tebak-tebak sebagai seorang Robin Samanjid. Tapi semuanya tidak ada yang benar. Robin memiliki karakter yang kuat, pribadi yang unik, sosok yang misterius, dan tipikal sahabat yang rela memberikan kebahagiaan apa saja demi kebahagiaan bersama. Tipikal terakhirnya tersebut memiliki kesamaan dengan Rasyid, yang rela mengorbankan apa pun demi sahabat-sahabatnya bahagia—keluar dari kesulitan meski harus memberikan kebahagiaannya. Itulah, sahabat, kepribadian yang mencolok dari sahabatmu yang senang dunia anak-anak dan gemar menuntaskan permasalahan orang lain. Karena kebahagiaan bagi mereka adalah bagaimana orang lain bisa bahagia dengan apa yang diberikannya. Bukan korupsi dan menyakiti orang. Robin pasti membuat kejutan.

N 5210-mu berdering di kantong jaketmu. Sebenarnya ini jaket milik Zaqi yang masih tergantung di hanger Aula Potensi, dan karena buru-buru kau ambil saja serta kau bawa ia ke Palembang. Dengan sigap kau angkat. Berharap Robin karena kau bosan duduk tidak berguna di sini. Jika ada Daniel, Wiku, atau A Ho, mungkin kalian sudah menghitung lebih dari 182 gadis Palembang yang cantik di area foodcourt—termasuk yang ibu-ibu muda. Sebuah nomor baru. Dan benar dugaanmu si penelepon adalah orang yang sedang kau nantikan. Jangan saja ia mengabarimu batal pertemuan, atau masih jauh jalannya ke sini, atau lebih parah lagi ketiduran. Hegh! Ia bisa kau kurung di kamar mandi terminal dua hari dua malam, tanpa konsumsi, pewangi, alat komunikasi, dan bola lampu.

Tambah ganteng bae, anak mudo sikok ini!” sapanya, entah di mana.

“Sialan, di mano kau, wong gilo!” balasku, mengawasi ke arah sekitar.

Kawan, kalau matamu masih normal, cuba awak lihat seseorang jam setengah tigo dari tempat kau berdiri! Hei, sebelah kanan, bukan ke kiri!

Lihat selengkapnya