Pemupuk Bahagia

Mahabb Adib-Abdillah
Chapter #36

Epilog - Jatinangor, 12 Tahun Kemudian. . .

TIGA TAHUN sudah kau dinyatakan lulus kuliah dari Ilmu Kesejahteraan Sosial, yang sekarang dihilangkan kata ‘Ilmu’-nya, dan diberi amanah suci Sarjana Sosial, S.Sos., yang juga kini diganti jadi Sarjana Kesejahteraan Sosial, S.Kesos., kau pun mengamalkannya dengan baik. Hingga detik ini hidupmu dibaktikan demi prodi yang bervisi mulia ini: menyejahterakan masyarakat Indonesia. Semakin bangga saja kita dengan rumah kedua kita, ketika prodi KS dari beberapa PTN ternama di negeri ini mengajak mengganti nama jadi Pembangunan Sosial, Pemberdayaan Masyarakat, atau Kewirausahaan Sosial dan Kesejahteraan, untuk branding yang lebih kuat, tapi kami tetap mempertahankan nama Kesejahteraan Sosial. Social Welfare kalau dunia internasional mengenal dan memuji kehadirannya. Selama tiga tahun ini pun kau menjalani kehidupan sebagai seorang pekerja sosial. 

Blue Primrose, lu masih ingat omongan Wiku di papan panjat Fakultas Sastra, waktu kita pertama kali belajar memanjat dinding?!” seru Daniel setelah kau keluhkan kebingungan besarmu sejak kepulanganmu dari Palembang. Yaitu, kau yang merasa sendiri setelah ditinggalkan dwi-tunggalmu Robin Samanjid. Ia lebih utamakan keluarganya daripada mimpi dahsyatnya—yang kalian bangun dan pupuk bersama, jadi dwi-tunggal seniman fenomenal. Juga ceritamu, patah hati dari Katrena Ivanda Blancci yang kau menyebutnya Farida. Nama indah itu diambil dari tokoh fiktif Asmadi Sjafar “Misteri dari Gunung Merapi atau Mak Lampir”, Farida, tokoh utama wanita pada adaptasi filmnya diperankan selebritis top kala itu: Ida Iasha. Artis indo Belanda 80-an itu berparas wajah dan gaya bicara mirip sekali Katrena. Begitu memikat dan melekat nama Farida dalam ingatanmu seusai menyaksikan serial film Mak Lampir berkali-kali, lalu nama itu kaupatenkan untuk Katrena. Farida yang berarti mutiara berharga dan tiada tara.

Ketika pulang itu, kau berhasil menjumpainya, dan Robin yang membantu momen pertemuan itu dengannya—setelah bertahun-tahun hanya bisa melihat dan mengingatnya dari jauh. Akhirnya, kau bisa berduaan dengannya, sayangnya, Faridamu telah bertunangan. Ia menganggapmu terlambat beberapa hari saja.

The White Casanova tahu permasalahan itu, dan sudah lama sekali. Sejak kepulanganmu dari Palembang saja, tujuh bulan yang lalu. Tapi, ia baru bisa menjumpaimu dan memotivasimu, juga memberi solusi kegalauanmu—terlebih yang kedua—barulah malam ini. Bukan rahasia umum lagi, hingga sekarang kau belum juga berkata serius menyampaikan isi hatimu kepada Sinna Nurfathima Mekkadia, si Cherish Adventure, petualang perempuan yang cantik dan tangguh.

Ya, ia yang dipercaya barudaKS bakal menjadi penyeimbangmu. Halim Musyaffa, orang pertama yang membuka pikiranmu: orang seni sepertimu cocok sekali diseimbangkan oleh Sinna atau Fathima yang realistis, berjiwa keibuan, dan bisa mengontrol sikap keras kepalamu dengan jiwa kepemimpinannya. Tapi, KS 375 menganggapmu melupakannya, dan hanya menjadi sahabat saja. Padahal hatimu, kuyakin, sangat mengharapkannya. Penghalangnya, katamu, kau belum mapan dengan karier peksos atau senimu. Kebodohanmu adalah kau tidak mau katakan cintamu, padahal banyak sekali kesempatan itu ada, termasuk di Hari Deg-Degan Seduniamu, di hari atau malam terakhirmu sebagai mahasiswa. Dan yang aku tahu, puteri mawar yang KS 375 miliki itu menunggu kesungguhanmu.

“Yang mana, Brad, gua lupa? Serius!” jawabmu berdusta, lebih tepatnya malas untuk berpikir, enggan mengingat akan sesuatu, atau bingung menjawab pertanyaan semudah apa pun. Sebuah pertanyaan 13 x 3 dengan hadiah 375 juta dari si raja reality show Helmy Yahya sepertinya sulit juga kau menjawabnya.

Selama satu tahun ke belakang pun kau berhasil membuang jauh-jauh mimpi besarmu menjadi sineas yang membanggakan. Kau merasa solider dengan Robin, begitu pun ia yang selalu solider kepadamu, tanpa sepengetahuanmu. Kau akan menjadi sahabat yang paling menyakiti sahabatnya sendiri, jika kau terus melanjutkan cita-citamu dan sukses di tanah kebahagiaan yang kalian janjikan. Sementara dirinya yang belum menginjakkan kaki di gedung FFTV - IKJ; di kota Bandung yang dihuni orang-orang kreatif; belum melihat wajah asli Addy Gembel Forgotten, vokalis band metal favoritnya—Wiku, junior pecinta alam sekolahnya pernah mengenalkan sang legenda band underground Bandung dan kita rafting bersamanya—, kini, demi prioritas membahagiakan dan membanggakan ayah-ibunya, Robinmu duduk setiap hari kerja di meja kantor dinas pemerintah kota.

Meskipun ia setiap waktu memotivasimu agar terus berkarya di jalur film dan akan selalu mendoakanmu, tapi tetap saja mimpimu jadi sutradara adalah mimpinya juga. Bukan mimpimu sepenuhnya. Kau tidak mau serakah menikmati mimpi kalian, sendiri. Inikah ujian dwi-tunggal atau itu bukan rezeki kalian?

Daniel menatapmu serius. Diana Bachsa, perempuan anggun yang duduk di sisinya tersenyum indah padamu. Beberapa teman memberitahu kita bahwa perawan asal Jakarta yang bekerja pada sebuah perusahan Singapura ini adalah teman dekatnya. Keduanya tengah menikmati long weekend ke Bandung ini. Awalnya, Daniel yang setahun lebih tidak bertemu denganmu ingin mengajakmu seorang bernostalgia di Bandung. Tapi tidak mungkin kau sendiri ke tempatnya, dan kau pun ajak Tomi yang kebetulan sedang tidak ada kerjaan di Aula Potensi.

Malam ini, kalian berempat pun tengah berada di sebuah restoran yang kau duduki sekitar 7 tahun yang lalu, bersama kakak sulungmu dan dua teman kosnya: Suiz Butcher. Otakmu pun kenang kembali malam pertama kauinjakkan kaki di kota Bandung. Seperti dejavu kaurasakan malam ini. Dan kalian perlu tahu bahwa Daniel sekarang bekerja di bank BUMN yang menyimpan uang hasil usaha wartel 2 KBU-nya ketika masa kuliah, sama halnya dengan Johan—sahabat Aa’ Adammu—yang dulu mentraktirmu makan lezat di sini. Malam ini pun Daniel berlaku sebagaimana Johan 7 tahun yang lalu, dan Tomi sepertinya jadi Sanny, si Sarjana Ekonomi teman kakak sulungmu yang berharap jadi musisi tapi disuruh keluarganya bekerja kantoran. Jika aku analisis kejadian di malam pertamamu di Bandung dan malam ini jelas banyak kemiripin, termasuk Tomi dan Sanny yang masih memiliki darah asli Sumedang, dan diharapkan keluarga bekerja kantoran. 

Tomi yang seminggu kemarin lulus, di tahun terakhir kami, tahun ke-7, tahun 2010, perhatikan kalian sok betul. Kadang tersenyum-senyum sendiri. Satu atmosfer kebahagiaan lagi memeluk tubuh kerempengnya. Menikmati sebagai lelaki paling bahagia di Jatinangor. Si Sabbatholic ini pun bak Sanny, tahun 2003 itu, siap dibawa ke mana saja oleh kedua sahabatnya menghabiskan malam dan merayakan kelulusan kuliahnya. Oh, Tuhan, Engkau mengabulkan doa sahabatku.

“Skandinavian bilang seperti ini,” Daniel meneruskan dialognya denganku.

“Belajarlah dari yang paling tersulit, sehingga ketika diberi kesulitan besar di depan, kita sudah merasa terbiasa. Selain itu, kita akan mengetahui setiap kesalahan kita dan selanjutnya kita juga tahu bagaimana memerbaikinya. Karena kita belajar dari yang paling tersulit!”

Jiwamu tergugah mendengar bait-bait pengingatnya, kata Daniel padaku, keesokan harinya. Potensimu yang setahun kaukubur sepertinya lagi Daniel gali, siap diberdayakan kembali. Ia berhasil. Kau takmau kalah, mengutip salah satu kalimat penting milik si Mistikus Miskin—kaya amal, sederhana harta—itu.

Brad, dia juga berkata tentang tulisan yang tertera di makam Jalaluddin Rumi: ‘Kalau kita mati, jangan mencari nisan kita di bumi, tetapi dapatkan itu dalam hati manusia.’ Apa tripotents challenges gua masih berlaku membawa hidup gua bermanfaat bagi orang banyak? Sepertinya gua sudah pasrah, Brad, fitrah gua sesungguhnya adalah pekerja sosial, dan bukan seniman, sutradara, musisi, apalagi sastrawan besar. Gua nyaman di tempat kerja gua sekarang. Kerja sesuai ilmu kuliah dan cocok dengan tema penelitian skripsi gua. Inilah jawaban Tuhan kenapa gua dialihkan dari Cikini ke Jatinangor. Tuhan hanya ingin gua dikenal dan dikenang dunia sebagai pekerja sosial. Just only peksos! Damn!”

Mendengar buih ucapanmu itu Tomi dan Daniel saling pandang. Mereka tidak percaya kau yang superkeras ini bisa mengakui kekalahanmu sedemikian legowo dan sok bijaksana. Diana tak mau tahu obrolan kalian. Menyenangkan diri saja menyantap menu steak dan salad-nya. Kemudian Daniel menghentikan kunyahan daging asapnya. Menampakkan sikap penuh perhatiannya.

Serius lu? Terus perjuangan lu selama ini, bahkan sering bersinggungan dengan paman lu, apa ini akan sia-sia saja?! Ingat, Brad, Mama Ucu lu sudah 100% bahkan lebih mendukung lu begitu tahu lu memiliki bakat, semangat tinggi, dan juga prestasi! Sepenuhnya, ’gak mungkin maksa lu lagi lanjutkan usahanya.”

Lihat selengkapnya