Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #1

Step 1 - Duka, Persahabatan, Pulang, dan Pena

Angin berhembus dengan lembut, seolah menyapa daun-daun yang tinggal di ranting pohon. Dedaunan merespon baik sapaan lembut dari angin dengan lambaian dan suara berdesik yang menenangkan. Suara yang selalu dicari seorang plegmatis yang menginginkan kedamaian di setiap saat. Seorang anak muda, seorang remaja, seorang pria. Sudah pantaskah aku disebut sebagai seorang pria? Kalimat yang selalu mengikat rasa cemas Mono.

“Kopi susu dengan tambahan gula dua sendok, silahkan.” Kata seorang pramusaji perempuan berambut pendek yang tidak pernah lupa memberikan senyum untuk pelanggan yang datang.

Mono meneguk kopi manis yang baru saja disajikan, kemudian kembali membuka buku catatan. Semua pelanggan Kafe Ar Ei yang berada di lantai dua selalu mencuri pandang melihat Mono yang selalu duduk di pojok meja panjang yang berhadapan langsung dengan jendela kafe. Dengan kopi manis dan buku catatan, oh tidak lupa dengan pensilnya yang sudah tumpul. Mono menikmati pemandangan dari lantai dua sambil merangkai kata-kata menjadi cerita, kisah, dan pertunjukan bagi setiap orang yang membaca karyanya.

“Sore yang damai, angin berhembus lembut dan suara desikan dedaunan. Indahnya hidup, andai setiap hari seperti ini sudah cukup bagiku. Bisakah aku tetap menikmati suasana yang damai ini tanpa memikirkan berita duka yang sampai di telingaku pagi ini?”

Mono seolah bertanya kepada Tuhan. Bukan berarti Mono adalah seorang religius. Namun di saat seperti ini, bukankah sebagai manusia biasa akan membutuhkan pertolongan?

Lalu suara dering ponsel Mono berbunyi, telfon dari seorang rekan kerja yang biasa dipanggil Om Okan. Mono masih diterpa badai, dia bingung apakah dia siap menerima panggilan kerja dari Om Okan. Suara ponsel Mono berhenti sesaat, dan kembali berdering kembali. Mono tidak sanggup mengabaikan suara ponsel yang terus mengganggu suasana damai yang sedang dia butuhkan. Menekan tombol hijau pada layar ponsel, Mono mengangkat ponsel ke arah telinga lebarnya.

“Halo. Halo? Halo Mono. Kenapa lama sekali kamu menjawab.”

“Maaf Om tadi saya bengong.”

“Ha? Kamu kenapa sebenarnya? Eh, tidak penting. Ada dua berita yang lebih penting. Mau dengar yang baik atau buruk dulu?” Alasan yang spontan keluar dari mulut Mono. Sedikit tidak dapat diterima Om Okan, tapi beliau mempunyai berita yang lebih penting dari pada alasan remeh Mono.

“Yang mana aja Om.” Acuh tak acuh. Mono yang masih belum siap menerima kerjaan, menjawab dengan ogah-ogahan. Menyiratkan bahwa dia tidak terlalu peduli, dia hanya ingin cepat mengakhiri percakapan ini.

“Kamu sebenarnya kenapa? Sedang ada masalah?” Om Okan kembali bertanya karena khawatir dengan Mono.

“Maaf Om, mungkin saya belum siap terima kerjaan hari ini.”

“Baik, besok Om hubungi lagi.” Om Okan menaruh ponselnya di atas meja kantor dan menghela nafas pendek.

“Anak ini, ada apa dengan dia? Remaja yang memiliki persona paling dewasa dari sekian remaja yang pernah aku kenal, sekarang seperti anak remaja yang baru puber. Berkata tidak sopan pada pria tua ini.” Om Okan meraih ponselnya kembali dan menghubungi seseorang.

“Besok ya?” Mono memandang langit, berharap langit dapat memberikan keyakinan jika besok dia sudah siap bekerja. Semakin dipandang semakin sendu warna langit. Sore menjelang malam adalah warna yang sendu untuk Mono.

“Jingga kemerahan, sendu namun kuat dan terus berjuang.” Tulis Mono di kaki kertas buku catatannya.

Mono menulis catatan kaki di buku catatan kecilnya. Menutup buku, membereskan alat tulisnya, dan beranjak pergi dari Kafe Ar Ei. Berjalan menuju motor vespa peninggalan ayahnya, Mono teringat kembali dengan keluarganya yang sedang berduka di Kota Bandung. Mono menghela nafas sambil mengenakan helm retro.

“Aku ingin cepat pulang dan tidur”. Getaran terasa dari kocek celana sebelah kiri, seseorang menghubungi Mono.

“Aku malam ini main ke apartemen ya”

Isi pesan singkat yang tidak bertanya melainkan memberikan informasi. Mono sudah menduga orang ini pasti akan menghubunginya sebentar lagi.

“Datang seenaknya, pasti tahu dari Om. Padahal aku ingin sendiri malam ini”

Mono melanjutkan rencananya untuk pulang. Dengan perasaan sedikit kecewa karena waktu menyendirinya yang masih kurang, dia mengabaikan pesan singkat tersebut. Lebih tepatnya Mono tidak dapat menolak kedatangan Irwan.

***

Menutup telfon, mengambil jaket, dan menyisir rambut. Setelah mendengar kabar dari ayahnya, Irwan langsung beranjak dari kamarnya dan berjalan menuju garasi tempat motornya berada.

“Kak! Kak Irwan mau kemana?” Sebelum Irwan dapat meninggalkan rumah, Riri adik satu-satunya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama mencegat Irwan.

“Pasti mau nitip keripik singkong.” Kata pria berwajah rupawan itu kepada adiknya.

“Hehehe, rasa balado ya.” Riri tersenyum geli, kakaknya sudah sangat hafal dengan kebiasaan Riri. Melahap keripik singkong di malam hari sambil menonton drama korea.

“Gak janji ya, kakak mungkin nginep.” Sambil mengusap kepala Riri.

Lihat selengkapnya