Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #2

Step 2 - Bandung, Ayah, Keluarga, dan Pena

Suara pejalan kaki berlalu lalang, suara orang yang berbicara, dan sesekali suara pemberitahuan menggunakan pengeras suara. Tiga suara ini yang menjadi backsound ketika Mono sampai di Stasiun Gambir. Pukul 05.30, Mono dan Irwan sudah stand-by di stasiun gambir sambil menikmati sarapan pagi di kafetaria stasiun.

“Hoaaam... Ngantuk banget. Pesenin kopi dong.”

“Hmm. Kan... Udah gua bilang enggak perlu diantar.” Respon Mono terhadap Irwan yang mengantuk sampai sulit membuka matanya yang hanya segaris. “Ngomong-ngomong, di atas motor lo enggak ngantuk?”

“Itu namanya autopilot mode.” Irwan menjawab sambil telungkup di atas meja dan mengangkat satu tangannya kemudian menunjuk ke arah Mono.

“Lo nunjuk kemana Wan?” Membetulkan tangan Irwan yang menunjuk ke arah meja kosong di pojok kafetaria.

Irwan yang masih setengah sadar membuka matanya dan melihat ke arah meja kosong yang dia tunjuk. Mata segarisnya yang tidak seberapa terbuka lebar. Setelah melihat jelas ke meja kosong itu, Irwan terkejut dan jatuh dari kursi yang dia duduki. Mulutnya ternganga lebar dan ekspresinya berubah pucat.

“Udah, cuek aja. Dia memang sering begitu.” Kata Mono kepada pramusaji yang mengantarkan dua cangkir kopi dan dua piring nasi goreng pesanan mereka.

Pramusaji perempuan itu lantas mengangguk dan pergi dari meja mereka. Namun perempuan itu sempat menoleh ke belakang. Dalam hati Mono menebak kalimat yang dikeluarkan pramusaji itu ketika menoleh, “Ganteng-ganteng kok aneh.” Sambil tersenyum tipis.

Irwan bangkit dari lantai, membenarkan kursinya, duduk kembali, dan menghela nafas. Wajah pucatnya sudah kembali normal. Mata segarisnya sudah kembali. Dia meneguk kopi di atas meja dan kembali menghela nafas. “Dari kecil mereka sudah sering muncul dihadapan gua. Tapi sampai sekarang gua belum terbiasa.”

“Lo bener-bener belum pernah liat mereka?” Kata Irwan yang sedang memejamkan matanya dan melihat ke bawah.

“Belum dan tidak akan pernah.” Jawab Mono setelah menelan sesendok nasi goreng.

“Jangan bilang tidak akan pernah, kualat nanti.” Irwan yang sudah tenang akhirnya mulai melahap nasi goreng setelah menasehati Mono.

“Lo, dan semua orang yang melihat mereka itu punya penyakit.” Mono menunjuk Irwan dengan sendoknya kemudian menggerakan sendoknya ke segala arah.

Sambil mengunyah makanan yang masih penuh di mulutnya, Irwan berkata. “Penyakit?”

“Hantu itu tidak ada. Kalaupun ada, enggak mungkin mereka bisa kelihatan. Semua wujud hantu, hanya fantasi dan halusinasi semata.”

“Seorang penulis yang tidak percaya hantu, semoga aja lo enggak kualat.” Kata Irwan sambil mengelap mulutnya dengan tisu.

“Nasi goreng lo udah habis?” Mono menggeleng-gelengkan kepalanya dan melanjutkan kalimatnya, “Seorang calon ketua senat yang makan tanpa mengunyah.”

Mendengar ucapan Mono, Irwan tersenyum dan berkata. “Anda terlalu memuji, hahaha...”

“Itu bukan pujian.” Jawab Mono kesal.

***

Pukul 09.46 pagi,

Mono berjalan keluar dari pintu kereta. Hawa udara yang lebih dingin dibandingkan Kota Jakarta terasa disekujur tubuh Mono. Demikian juga dengan bulu kuduk Mono yang tiba-tiba berdiri.

“Perasaan apa ini?” Sambil menggosok-gosok lehernya.

Mono belum pernah merasakan sensasi bulu kuduk berdiri. Untuk pertama kalinya dan di kota asalnya dia merasakan sensasi tersebut. Tapi dia tidak menyadari, jika dia merasakan kehadiran sesuatu yang berbeda dari yang biasa dia lihat dan rasakan.

“Udara Jakarta pasti sudah mengubah kecocokan suhu di badan gua. Beli yang hangat-hangat dulu deh.” Sambil menggosok-gosok tangannya ke leher, Mono berjalan ke arah kantin untuk mencari minuman hangat.

Setelah memesan secangkir teh jahe hangat dan dua potong pisang goreng, Mono duduk di kursi kantin. Sembari menghangatkan diri, dia membuka ponselnya. Terdapat dua notifikasi pesan yang muncul di ponsel Mono.

Lihat selengkapnya