Pukul 06.32,
Irwan sampai di rumah. Pulang dengan rasa ngantuk yang sudah tidak tertahan. Masuk ke rumah tanpa memperhatikan sekitar, pria berbadan tinggi itu berjalan melewati ruang tengah dan menabrak seseorang. Kali ini yang dia tabrak adalah adiknya sendiri, Riri.
“Kakak! Kebiasaan nih... Suka nabrak.” Riri yang ditabrak kakaknya sendiri langsung mengomel. “Udah pulang pagi... Enggak ngabarin... Sekarang masuk ke rumah gak panggil Papa Mama, gak sopan!”
“Sudah, sudah... Kakak kamu pasti ngantuk.” Kata Om Okan kepada anak bungsunya. “Tidak perlu marah-marah lagi, kakak kamu juga gak dengar dari tadi.” Lanjut Om Okan yang sedang membaca koran.
Beliau tidak terlalu mempermasalahkan Irwan masuk tanpa menyapa, apalagi Om Okan sendiri yang meminta Irwan untuk menemui Mono sore itu. Persis seperti yang dikatakan Om Okan, Irwan sama sekali tidak mendengar apa yang Riri katakan. Dia terus berjalan menuju lantai dua dimana kamarnya berada, tanpa menghiraukan Riri yang memarahinya.
Bibirnya yang tipis mulai cemberut, seperti itulah Riri ketika merasa tidak puas dengan suatu keadaan atau situasi. Anak kelas tiga SMP ini kemudian duduk di meja makan dan berkata, “Ma, liat Papa belain Kak Irwan terus.”
“Papa kamu bukan bela kakak ri... Sudah, kamu cepat sarapan. Nanti telat.” Kata Mama Riri sambil menyajikan sarapan ke meja makan.
“Emang Kak Mono kenapa sih Pa? Sampai Kak Irwan harus nginep.” Tanya Riri yang sedang mengaduk-ngaduk makanan di piringnya.
“Riri... Dimakan nak.” Kata Mama Riri kepada putri bungsunya.
Om Okan menelan nasi yang ada di tenggorokannya, kemudian melihat Riri dengan tersenyum. “Papa juga belum tahu Ri... Makanya Papa minta kakak kamu ke tempat Kak Mono. Nanti Papa cerita kalau sudah tahu. Okay?”
Riri hanya mengangguk kemudian berkata, “Okay.”
Entah senyum rupawan ayahnya atau memang senyuman dari laki-laki yang berasal dari keluarga Chandra memiliki efek mistis kepada lawan jenis, bahkan untuk keluarganya sendiri. Selain itu, Okan Chandra adalah seseorang yang sangat memahami pemikiran dan emosi anak muda yang sering menggebu-gebu. Semua itu berkat pengalamannya selama tiga tahun sebagai editor yang menangani penulis muda seperti Mono dan bahkan penulis pemula yang masih memakai seragam abu-abu di sekolah.
“Oh ya, Kak Irwan ngantuk begitu. Pulang sendiri?” Tanya Riri
“Betul juga. Tapi, tadi Mama dengar suara motor kakak kamu.” Kata Mama Riri yang juga penasaran.
Om Okan membersihkan mulutnya dengan tisu kemudian bangkit dari bangku dan berkata. “Itu namanya autopilot mode.” Pergi meninggalkan istri dan anaknya yang kebingungan, Om Okan berjalan menuju ruang kerjanya dan berkata. “Gitu aja enggak tahu.”
***
Pukul 09.00, alarm dari ponsel Irwan berbunyi.
Matanya yang minimalis perlahan mulai terbuka. Tangan besar dan panjangnya menggapai ponsel yang terus berdering. Irwan bangkit perlahan dari tempat tidur dan mulai mengembalikan kesadaran. Matanya yang sedang berusaha fokus mulai dapat melihat jelas poster-poster pemain bola basket Amerika yang tertempel hampir menutupi semua dinding kamar Irwan.
Sinar mentari pagi masih dapat masuk lewat jendela kamar Irwan yang tidak tertutupi horden. Sinar yang hangat dan menyilaukan membantu Irwan sadar dari tidurnya. Jari jempolnya menekan layar ponsel. Tidak ada pesan dari Mono, hanya ada pesan dan pemberitahuan telfon masuk dari adiknya.
“Seperti biasa, tidak pernah mengabari.” Kata Irwan.
Irwan berdeham sesekali, tenggorokannya terasa kering dan serak. Irwan keluar dari kamar sambil mengusap-ngusap matanya. Karena haus dia turun ke dapur untuk mencari air putih.
“Wan.” Panggil Om Okan melihat putranya yang sedang berjalan menuju dapur.