Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #4

Step 4 - Melangkah ke Depan

“Ini... Pena siapa?”

“Pena Ayah.”

Suara yang datang dari depan pintu kamar Mono, ternyata berasal dari Ibunya. Mono terkejut melihat ibunya masih terjaga dan belum tidur di kamarnya.

“Ibu belum tidur?” Tanya Mono.

Ibu Mono berjalan masuk ke kamar menghampiri Mono yang berdiri di samping meja. Beliau melihat pena yang ada ditangan Mono, kemudian berkata. “Ini adalah pena antik, yang sudah diturunkan dari zaman kakek buyut kamu. Pena ini terus diserahkan kepada putra sulung dari keluarga ini.”

Beliau mengambil kotak pipih yang berada di atas meja dan pena yang ada di tangan Mono. Pena itu ditaruh kembali ke kotak pipih tersebut dengan hati-hati, kemudian ditutup rapat kembali. “Kata Ayah kamu, pena ini adalah pemberian seorang sahabat baik dari kakek buyut kamu.”

Mendengar cerita Ibu, Mono merasa tertarik dengan pena antik itu. Sebuah pena antik yang ternyata memiliki nilai sejarah dalam keluarga mereka.

Melihat mata Mono yang berbinar-binar melihat pena antik tersebut, Ibu Mono semakin percaya diri untuk memberikan pena antik tersebut kepada putra sulungnya.

“Sekarang.” Ibu Mono meraih tangan putra sulungnya kemudian berkata, “Pena ini milik kamu. Simpan baik-baik.” Ibu Mono meletakkan kotak pipih berisi pena ke tangan Mono, putra sulung keluarga mereka.

“Baik Bu, akan Mono simpan baik-baik.” Jawab Mono.

“Istirahatlah. Hari ini hari yang panjang.” Kata Ibu Mono tersenyum tipis kepada putra sulungnya. Beliau berjalan keluar pintu kamar dan terhenti.

Dia berbalik melihat Mono dan berkata. “Mono, tadi siapa yang antarkan pena itu?”

Mono terlihat bingung. “Bukan siapa-siapa. Pena ini sudah ada di meja ketika Mono masuk ke kamar.”

Demikian juga dengan Ibu Mono, beliau terlihat bingung. Namun Ibu Mono merasa hal seperti itu tidak perlu dibahas, akhirnya beliau meninggalkan kamar Mono. Malam itu mereka beristirahat setelah melewati hari yang panjang.

***

Sepi dan tenang. Dua kata yang dapat mengungkapkan suasana pemakaman di seluruh penjuru dunia, termasuk di Kota Kembang. Setelah menemani keluarganya selama tiga hari, Mono memutuskan untuk mengunjungi makam ayahnya pagi ini sebelum berangkat ke Jakarta. Pria berwajah tirus itu ingin pamit sebelum kembali pada rutinitasnya di Ibukota.

Haru masih terasa, masih belum seminggu Ayah Mono pergi. Air mata masih menetes sesekali. Dada kian terasa sesak, setiap kali kenangan ayahnya yang masih melintas dalam pikiran dia. Entah kapan dia dapat melangkah ke depan tanpa sesekali melihat ke belakang dengan wajah sendu.

“Ayah, hari ini Mono berangkat ke Jakarta. Ayah tidak perlu khawatirkan Mono, Ibu, Alana dan Alan, ataupun toko.” Kata Mono di depan makam ayahnya.

Sambil mengusap air mata yang sesekali mengalir, Mono menceritakan kesehariannya di Jakarta setahun ini. Dia bercerita tentang pekerjaannya sebagai penulis, Irwan dan Om Okan, studinya, semua... Semua yang belum sempat Mono ceritakan kepada Ayahnya.

Langit perlahan menjadi gelap, dan awan berawarna abu-abu kehitaman mulai menyelimuti langit pagi itu. Rintik-rintik hujan perlahan mulai berjatuhan ke bumi. Baju Mono perlahan basah karena air hujan. Air mata pun tersamar oleh air hujan yang ikut membasahi pipi pria berwajah tirus itu.

Sebelum pulang ke rumah, Mono mengusap-ngusap batu nisan Ayahnya kemudian berkata. “Pena pusaka keluarga kita sudah Mono terima. Pasti akan Mono simpan baik-baik. Mono pergi dulu, sampai jumpa Ayah.”

Tepat di gerbang pemakaman, dia berpapasan dengan seorang perempuan cantik dengan gaun pendek berwarna putih dan topi bulat lebar berwarna coklat muda. Langkah Mono sempat terhenti, dia sempat ingin memalingkan wajahnya ke belakang untuk melihat perempuan misterius itu.

“Mas Mono... Saya bawakan payung.”

Tapi niatnya dia urungkan ketika Mas Paijo datang dengan sebuah payung. Dia sadar, dia harus bergegas pulang ke rumah.

***

Hujan semakin deras ketika Mono dan Mas Paijo sampai di rumah. Beruntung perhatian seorang Ibu selalu hadir, berkat payung itu mereka pulang dengan selamat tanpa perlu kehujanan.

“Semua sudah siap?” Tanya Ibu Mono kepada putranya yang sedang memeriksa barang bawaan.

“Sudah Bu.” Jawab Mono.

“Ini buat Om Okan dan Irwan, titip salam untuk mereka.” Ibu Mono menitipkan sekotak kue nastar untuk Keluarga Chandra. Setiap kali Mono kembali ke Jakarta, Ibunya tidak pernah melewatkan kesempatan untuk bersilaturahmi dengan Keluarga Chandra. Walaupun mereka belum pernah saling bertatap muka, tapi Ibu Mono selalu berterima kasih kepada mereka karena telah memperhatikan putranya.

“Oh ya, kapan-kapan ajak mereka ke Bandung.”

“Baik Bu.”

Sembari menunggu hujan mereda, Mono duduk di teras rumah ditemani kopi susu hangat dengan dua sendok gula. Kopi manis yang tidak pernah bosan di lidah pria kurus itu. Air hujan yang terus menerpa atap rumah menghiasi siang hari yang tenang. Bagi sebagian orang, suara hujan adalah sumber ketenangan. Dan bau hujan itu sendiri seperti bau aromaterapi yang dihasilkan dari alam. Kemudian sebuah suara tersisip dalam ketenangan siang itu. Suara yang berasal dari ponsel pria kurus itu.

“Mono. Kapan balik Jakarta? Gua kesepian nih di kampus. Terus jangan lupa hubungi Papa, ada kerjaan buat lo.” Sebuah pesan dari seorang sahabat.

Lihat selengkapnya