Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #5

Step 5 - Mono Putra Aditya

Mono Putra Aditya,

Nama dari seorang pria keturunan sunda yang sama sekali tidak mencerminkan orang sunda. Kata-kata yang keluar dari mulutnya selalu ketus dan tajam. Memiliki selera humor yang sangat jauh berbeda dengan sahabatnya Irwan. Senyum dari wajah tirusnya sangat sukar terlihat. Senyum dan tertawanya dalam sehari bahkan dapat dihitung dengan jari.

Tapi berbeda dengan kebanyakan orang, senyum Mono memiliki arti yang berbeda. Jika dia tersenyum berarti ada yang sedang dia remehkan, sama sekali bukan senyum bahagia yang tulus. Lebih tertuju kepada senyum yang memiliki tujuan sarkasme.

Dia adalah sosok yang tertutup. Terbukti satu-satunya teman dekat yang dia miliki hanya Irwan. Teman perempuan? Dia sama sekali belum pernah jatuh cinta. Tidak pernah bisa aku bayangkan seorang Mono Putra Aditya mendekati seorang perempuan karena jatuh cinta.

Tapi...

Dia adalah pribadi yang pekerja keras, smart, dan kreatif. Walaupun dia terlihat pendiam, tapi kemampuan public speaking dia sama sekali bukan amatiran. Jika dia mau, sebuah negosiasi yang sulit juga dapat dia menangkan.

“Kurang lebih seperti itu. Jadi bisa?” Tanya Irwan setelah selesai menjelaskan panjang lebar kepada salah seorang teman satu anggota organisasi kampus.

“Apanya yang bisa?”

“Aduh Monalisa yang cantik, gua udah cerita panjang lebar dari tadi.” Jawab Irwan geram.

“Heh, nama gua Lisa aja. Enggak pakai Mona.” Jawab teman satu organisasi kampus Irwan yang ternyata bernama Lisa.

“Jadi gimana? Temen gua bisa jadi Calon Wakil Ketua Senat?” Irwan kembali bertanya.

“Enggak bisa sepupuku yang ganteng.” Jelas Lisa dengan wajah kesal. “Selain beda fakultas, temen lo juga bukan anggota organisasi. Lo enggak bisa seenaknya milih wakil.” Lisa kembali menjelaskan sambil menarik-narik kerah baju Irwan.

Irwan terlihat bingung setelah mendengar penjelasan dari Lisa. Sambil menggosok-gosok dagunya, Irwan berjalan memutari bangku lipat yang sedang Lisa duduki. Lisa merasa aneh dengan kelakuan sepupunya. Jarang sekali dia melihat Irwan berpikir keras. Apalagi untuk pencalonan yang sempat dia tolak.

Lisa yang semula duduk tenang, akhirnya mulai merasa terganggu oleh Irwan yang tidak kunjung berhenti berjalan memutari dirinya.

“Wan!” Teriak Lisa kesal. “Pusing tahu muter-muter di depan gua. Gini nih kalau enggak punya pacar, sepupu ceweknya yang diganggu.” Sindir Lisa.

Sedangkan Irwan sama sekali tidak terlihat terseindir. Bahkan dia tidak mendengarkan perkataan Lisa sama sekali.

Langkah kaki Irwan akhirnya terhenti. Raut wajahnya menandakan dia mendapatkan sebuah ide. Tanpa berpamitan, pria berbadan tinggi itu pergi meninggalkan sepupunya yang masih heran dengan kelakukan Irwan siang itu.

“Datang dan pergi begitu cepat bagai badai. Irwan... Irwan..” Kata Lisa menghela nafas.

***

Kafe Ar Ei, tempat dimana para mahasiswa sering berkumpul untuk nongkrong, mengerjakan tugas, maupun berdiskusi. Siang itu juga demikian, Mono bertemu dengan tim produksi proyek film pendek dan seorang produser muda bernama Aryo untuk berdiskusi.

“Om Okan merekomendasikan kamu sebagai penulis skenario kami, walaupun kamu belum berpengalaman tapi Om Okan berkata kamu punya bakat menulis yang hebat.” Kata Aryo sambil mengacungkan jempolnya kepada Mono.

Kemudian tim produksi bertepuk tangan dan mereka tertawa seolah menjadi backsound dari kalimat Aryo, si produser muda. Sedangkan Mono tersenyum tanggung melihat tingkah mereka yang kompak, tapi aneh dan garing.

“Terima kasih.” Kata Mono sambil menganggukan kepalanya.

Dalam kepala Mono terus berpikir respon yang tepat yang harus dia berikan. Dan kata terima kasih adalah satu-satunya jawaban yang muncul di benaknya.

“Semoga aku tidak salah ngomong.” Dalam hati mono berbicara pada dirinya sendiri.

Aryo melanjutkan basa-basinya selama kurang lebih setengah jam. Mono hanya mengikuti alur pembicaraan yang diarahkan Aryo. Mono tidak pernah mengikuti pertemuan proyek pekerjaan dengan produser. Ini adalah kali pertama, dan Mono merasa sangat tidak beruntung menghadapi seorang produser yang terbilang sangat nyentrik. Mono yang jarang tersenyum terpaksa harus memaksa wajahnya melakukan kegiatan ekstra. Dan tertawa canggung sesekali untuk mengikuti suasanan pembicaraan yang sedang berlangsung.

Lihat selengkapnya