Dua tahun yang lalu, pada tanggal 4 November 2017.
Kenangan yang masih tidak pernah pudar. Masih sering menghantui setiap kali ada kejadian buruk yang terdengar di telinganya. Sebuah insiden pilu yang menimpa keluarga kecil mereka, seorang Ayah dan seorang Putri.
Sore itu, pilu ingatan yang sampai saat ini belum tergantikan lagi di memori Hana. Warna jingga kemerahan dari cahaya senja tidak sepekat warna darah yang mengalir di sekujur tubuh Sang Ayah.
Situasi dan kondisi yang tidak pernah terbayang oleh Hana. Bau mesin hangus, kasarnya aspal jalanan, serta asap hitam pekat yang keluar dari mesin mobil. Terdengar suara samar-samar yang ribut di sekeliling mereka. Ingatan perempuan bertubuh mungil di hari itu tidak begitu jernih, semuanya terjadi begitu cepat. Yang dia ingat jelas, hanyalah seorang Ayah yang melindungi seorang Putri dari lempengan besi mobil yang hampir menimpa Sang Putri.
Insiden itu adalah memori yang paling dia benci, namun tidak pernah absen menghantui hari-hari Hana. Apalagi ketika dia mendengar suara dering telfon dari rumah sakit. Memori itu seakan menjadi air yang merembes ke sekujur otak Hana yang sudah retak.
Suara langkah kaki semakin terdengar dari kamar pasien kelas tiga di ujung lorong rumah sakit. Seorang pasien paruh baya sedang duduk di kursi roda mulai mendengar suara langkah kaki yang kian mendekat dan begitu cepat. Obrolan dengan teman sekamar yang semula tidak dapat terusik, dengan mudah berhenti karena suara langkah kaki itu. Langkah kaki seorang putri yang sedang berlari dengan penuh kecemasan.
Tiba dengan raut wajah yang sangat cemas. Dia berdiri di depan pintu kamar, nafasnya terengah-engah. Sedangkan pria parubaya itu menoleh ke arah putrinya sambil memasang ekspresi heran.
“Hana, kenapa kamu lari-lari Nak?” Tanya pria paruh baya berbadan kurus ceking itu.
Dia melihat ayahnya sedang duduk di kursi roda, tepatnya duduk di dekat teman sekamarnya. Tampaknya sebelum Hana datang, mereka sedang asik mengobrol. Tampak dari raut wajah mereka yang masih cerah.
“Ayah tidak apa-apa?” Hana balik bertanya.
Seorang perawat beridiri di belakang Hana, dan menepuk pundak Hana. Perawat berbadan bongsor dengan bibir merah dan tebal. “Ayah kamu tidak apa-apa. Ada miskom dari bagian informasi. Mereka menghubungi kontak yang salah.”
Hati yang semula tidak tenang dan menggebu-gebu mulai beristirahat secara perlahan. Degup jantung Hana perlahan melambat normal, raut wajahnya tidak menyiratkan kekhawatiran lagi, dan nafasnya mulai teratur.
“Saya minta maaf ya Hana, dan juga Pak Restu. Anak Bapak sampai lari-lari ke sini.” Perawat itu merasa bersalah, terlihat dari raut wajah yang canggung ketika melihat kondisi Hana. Walaupun bukan kesalahan langsung dari dirinya sendiri, perawat itu merasa bertanggung jawab dan meminta maaf atas keteledoran dari pihak rumah sakit. Hana sendiri hanya bisa mengangguk dan berjalan mendekati ayahnya.
Keheningan yang panjang diantara Ayah dan Anak. Pak Restu membiarkan Putrinya menenangkan diri dan tidak banyak berkata. Sekian menit pun berlalu begitu saja tanpa mereka sadari. Angin sepoi yang datang dari arah jendela terus bertiup pelan ke dalam ruangan. Suara-suara obrolan anggota keluarga pasien tetangga yang saling bersahutan. Namun belum ada sepatah kata yang keluar di antara mereka berdua.
“Kuliah gimana?” Memecahkan keheningan, Pak Restu tersenyum dan membuka pembicaraan dengan Putrinya.
“Lancar, seperti biasa.” Jawab Hana.
Hana sibuk mengupas sebuah apel dengan pisau kecil yang dipinjam dari rumah sakit. Dia tidak berani memandang wajah Ayahnya ketika ingatan pilu itu sedang menari-nari di dalam kepalanya.
Pak Restu sendiri tidak pernah berkata apa-apa sejak insiden dua tahun lalu. Dia mungkin terluka karena insiden itu, tapi dia sadar Hana memiliki rasa bersalah yang tidak akan pernah bisa dia lupakan. Sakit seorang anak adalah sakit orang tua. Dan lebih dari itu, Hana sama sekali belum bisa lepas dari memori tentang insiden mengerikan itu. Bagai sebuah trauma, tidak mudah disembuhkan walau sekian tahun sudah berlalu.
“Hana, pagi ini Ayah kedatangan seorang tamu.” Kata Pak Restu.
Gerakan tangan Hana yang sedang mengupas kulit apel berhenti setelah mendengar perkataan Ayahnya. Tamu ini adalah tamu yang berbeda dari biasanya. Jika teman atau sanak saudara yang datang, Ayahnya akan menyebutkan nama mereka. Namun dari kalimat yang dia dengar, jelas tidak ada nama yang tercantum dalam ucapan Pak Restu.
“Melihat reaksi kamu, sepertinya sudah tahu siapa tamu yang Ayah maksud.” Lanjut Pak Restu.
Di balik insiden penuh pilu dua tahun silam, ada jasa seorang pemuda yang membantu mereka lolos dari maut. Lebih tepatnya menyelamatkan Pak Restu yang tertimpa lempengan besi di kakinya.