Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #7

Step 7 - Pena Antik

Pandangan seperti apa yang ingin kamu lihat? Aku sama sekali tidak tahu. Akankah dunia akan damai? Bebas dari jeratan dendam peperangan yang tidak pernah usai. Pertumpahan darah dimana-mana terjadi. Aku bahkan tidak ingin jatuh cinta. Untuk apa?

Kecewa, dari sekian banyak kosa kata untuk mengungkapkan perasaan. Aku memilih kecewa untuk mengungkapkan perasaanku kepada dunia. Semua cita-cita berhenti dan menjadi angan belaka, harapan terus-menerus berkhianat, dan kebahagiaan? Kami sudah sibuk memikirkan perut, tidak ada waktu untuk memikirkan sesuatu yang tidak lebih penting dari bertahan hidup.

Sampai aku akhirnya bertermu dengan dia.

Cinta pada pandangan pertama? Bukan, sama sekali bukan. Dia adalah seseorang yang membuat aku penasaran. Setiap gerak-geriknya terlihat asing dengan apa yang selama ini aku lakukan. Caranya menghadapi hidup yang penuh kekecewaan sangat berbeda dengan aku. Apakah dia salah? Apakah dia aneh? Atau cara aku melihat dunia selama ini salah? Dia membuat aku, penasaran.

Tanpa sadar aku setiap hari terus memperhatikan dia. Anak laki-laki yang sebaya dengan aku. Badan dia kurus, tangan dia besar, dan jari-jarinya panjang. Selalu menggunakan kacamata bulat dengan tangkai kaca mata yang tipis berwarna coklat. Selalu duduk di pinggir danau dan memegang selembar kertas dan sebuah pena hitam. Entah apa yang dia tulis, entah apa yang dia pikirkan. Apakah sebaris kalimat dapat merubah sesuatu? Apakah itu lebih penting dari pada bertahan hidup?

Anak laki-laki itu terus memberiku pertanyaan? Sampai suatu hari aku tidak dapat membendung rasa penasaran yang kian meruak. Semakin besar rasa penasaran itu, semakin keberanian itu muncul. Aku pun datang menghampirinya, namun bukan datang dengan membawa rasa penasaran. Aku datang dengan emosi yang salah. Aku memarahinya. Aku meremehkan apa yang sedang dia lakukan saat itu di tepi danau. Tapi dia tidak menjawab.

Esok harinya, dia tetap datang. Aku yang setiap hari menimba air di sana mulai merasa terganggu. Dengan seember air aku membasahi seluruh badanya dengan air. Dia terkejut, tapi tidak marah. Lalu aku bertanya kepada anak laki-laki itu, kenapa dia tidak marah.

“Dingin, apakah kamu punya handuk?” Dan itulah jawaban yang aku dapatkan. Dia tersenyum melihat aku, seolah tidak terjadi apa-apa.

Bagaimana mungkin seseorang yang di siram dengan air secara tiba-tiba dari orang lain sama sekali tidak marah. Aku pun tidak pernah menghampirinya lagi.

Tahun terus bertambah, demikian juga dengan usia kami. Tahun 1938, aku sudah tidak dapat datang ke danau itu lagi. Aku harus pindah, sebelum para penjajah menemukan kami yang sudah cukup matang untuk mereka bawa pergi. Maka aku memutuskan untuk menghampiri dia, setidaknya untuk yang terakhir kali. Dan aku ingin meminta maaf.

Namun, aku tidak pernah diberi kesempatan. Dia menghilang.

***

Pagi, awal bab dari semua cerita yang hangat. Adalah sebaris kalimat yang pernah Mono tulis pada catatan kaki buku dia. Dan halaman buku itu terbuka tepat pada halaman dimana catatan kaki itu berada. Seperti seseorang sedang membaca buku catatan Mono.

Bangun dan menyadari mejanya tidak rapi. Mono yakin, dia sudah merapikan meja sebelum beranjak ke kasur. Tapi yang dia temukan pagi ini adalah botol tinta yang terbuka, pena yang masih tergeletak di atas meja, dan buku catatan yang masih terbuka.

Ingatan semalam tidak begitu jelas. Dia tidak dapat mengingat pasti, apa yang terjadi semalam. Dia kemudian membuka lembaran penuh tulisan tinta pena yang masih berantakan itu. Goresan tinta yang sungguh amatir. Dia tersenyum tipis, lalu mengingat kembali apa saja yang dia kerjakan. Wajahnya terlihat senang dan sangat menikmati. Sambil tersenyum dia berbaring di kursi sambil mendongakan kepala dan menutup mata. Bayangan semalam pun menari-nari dalam ingatannya. Sungguh menyenangkan.

Dia melihat kembali kertas yang telah dia coret begitu banyak. Dan dia menyadari sesuatu yang tidak dia tulis semalam. Sebaris kalimat yang tertulis di bawah kalimat, “Salam kenal, terima kasih, dan apakah kamu tahu apa itu cinta?”

Tulisannya begitu memuka, bak penulis profesional. Goresannya terlihat halus, garis-garis yang terlukis begitu proporsional dengan lekukan yang sempurna. Mono sangat kagum dengan tulisan itu, sekaligus juga heran. Tidak mungkin dia dapat menulis seelok itu dengan pena yang baru pertama kali dia pakai. Sebaris kalimat yang berkata, “Cinta adalah kumpulan rangkaian waktu yang bahagia.”

“Sebaris kalimat yang indah.” Kata Mono dengan intonasi rendah.

“Terima kasih.”

Suara yang begitu lembut dan halus. Terdengar begitu dekat, suara itu seperti berasal dari ruangan itu. Mono mengangkat kepalanya dari pandangan kalimat itu, dan melihat seorang perempuan bermata bulat dengan senyuman berlesung pipi yang dalam. Rambutnya berkibas karena angin dari jendela yang tidak tertutup. Dan badan perempuan itu begitu terang, bahkan cahaya fajar dapat menembus tubuhnya.

Lihat selengkapnya