Meja tengah persis di bawah lampu penerangan yang menggantung dengan model yang estetik. Lampu yang menghasilkan sinar jingga kemerahan itu menyinari mereka berempat. Duduk saling berhadapan antara perempuan dan laki-laki. Hanya saja Hana dan Irwan tidak menyadari ada kehadiran orang keempat di antara mereka.
Wajah kedua pengusil sangat bahagia dan terus berusaha menahan tawa. Mereka adalah Sang Arwah dan Irwan. Sang Arwah menghasut Mono dengan terus membisikkan agar dirinya berpakaian rapi menggunakan kemeja, dasi dan celana panjang bahan. Sugesti itu diterima Mono. Tanpa dia sadari, dia sudah berangkat dengan pakaian rapi. Seperti seorang pengantin pria yang ingin menjemput pengantin perempuan.
Sedangkan Irwan yang merupakan otak di balik pertemuan itu begitu menikmati pemandangan Mono yang berpakaian rapi. Dia tidak menyangka, sahabat satu-satunya itu akan tampil dengan pakaian seperti itu.
Demikian juga dengan Hana. Dia memakai parfum yang sangat harum sore itu. Dia bahkan berpakaian begitu berbeda dari image dia sebagai kutu buku dan hoodie oversized yang selalu dia kenakan. Yakni sebuah gaun pendek putih berwarna biru muda dengan pita putih pada kerah bajunya.
Irwan semakin semangat ketika Hana datang dan duduk di depan Mono. Dari pandangan Irwan, dia berhasil menjodohkan sahabatnya dengan seorang perempuan. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah, Hana tidak sanggup duduk dengan tenang jika dia duduk berhadapan dengan Irwan. Dan yang mengetahui perasaan gugup itu adalah Hana dan Sang Arwah yang sangat jeli melihat gerak-gerik mereka bertiga.
“Bro, mau ngelamar?” Irwan menggoda Mono sambil menutup mulutnya dengan tangan besarnya. Dia begitu menikmati penjodohan yang dia susun sedemikian rupa dan hasil yang begitu di luar dugaan. “Seorang Mono yang mati rasa dengan perempuan, berpakaian rapi untuk menemui seorang perempuan di kafe. Mungkin sebentar lagi akan datang badai.” Lanjut Irwan dalam hati.
Mono memandang Irwan sinis. Pandangan itu muncul kembali, bak anak panah yang di lesatkan melalui busur seorang pemanah profesional dan mendarat tepat pada bullseye.
Berusaha menghilangkan situasi awkward, Hana membuka pembicaraan. “Jadi Kak Irwan, mau bahas apa?”
Sebuah kalimat yang keluar dari mulut Hana untuk memperjelas pertemuan mereka sore itu, membuat Mono sadar. Semua adalah bagian dari rencana Irwan, dan secara kebetulan Sang Arwah Pena membantu rencana Irwan, dengan memanipulasi Mono. Di Momen itu juga Mono sadar, dia menjadi bodoh ketika di hadapkan dengan perempuan dan kondisi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Pria kurus berwajah tirus itu semakin penasaran dengan yang namanya Cinta.
“Soal Organisasi Sosial yang sudah lama terbengkalai.” Jawab Irwan yang sedang menyedot minuman dari pipet putih di gelas minumannya. Wajah pria berbadan tinggi itu terlihat murung dan sedih ketika menaruh alasan pertemuan mereka di meja kafe.
Suasana di meja mereka berubah hening. Tidak sepatah kata pun keluar dari mulut mereka. Meja mereka yang tadi begitu ribut menjadi hening dan yang terdengar adalah suara percakapan pelanggan kafe dari meja lain. Sesekali terdengar suara lonceng yang berbunyi ketika ada seseorang membuka pintu kafe. Dan suara mesin kopi yang menyala ketika barista menarik tuas mesin.
Satu-satunya yang tidak mengerti situasi di meja itu adalah Sang Arwah. Dia tidak mengerti kenapa mereka hening dan diam. Raut wajah Irwan terlihat murung di mata Sang Arwah. Dan Mono terlihat menghela nafas dan melihat keluar jendela. Sedangkan Hana terus menggulung-gulung rambutnya dan memasang wajah yang sendu. “Kalian kenapa?!” Teriak Sang Arwah.
Mono kaget dengan suara teriakan yang begitu kencang. Dia menutup kedua telinga dengan kedua tangan, dan memejamkan mata dia. “Berisik!” Seru Mono.
Melihat kelakuan Mono, Irwan dan Hana memandang Mono dengan wajah penuh kebingungan. Dia berteriak tiba-tiba dan mengatakan sebuah kata yang sama sekali bertolak belakang dengan suasana yang ada di meja mereka.
“Lu kenapa?” Tanya Irwan sambil menyentuh dahi Mono. “Demam? Tapi gak panas nih...” Lanjut Irwan setelah mengecek suhu badan Mono melalui dahi Mono.
“Tidak apa-apa.” Malu. Dia tidak tahu bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan. Mono akhirnya mengembalikan topik sebelumnya untuk menyamarkan tindakan aneh yang baru saja dia lakukan. “Gak penting, yang lebih penting sekarang adalah... Kenapa ngomongin Organisasi Sosial? Sejak kasus dana bansos yang dikorupsi satu tahun yang lalu, tidak ada lagi yang percaya Organisasi Sosial di Kampus kita.”
Hana terdiam, dia tidak dapat berkata banyak. Karena pelaku korupsi uang untuk bantuan sosial itu adalah salah satu mahasiswa adalah teman se-angkatan dia. Dan yang merekomendasikan adalah Hana sendiri.
Irwan melihat raut wajah Hana yang penuh rasa bersalah. “Hana. Itu bukan kesalahan kamu.” Pria berbadan tinggi itu berusaha meyakinkan Hana. “Alasan aku mengumpulkan kita bertiga adalah untuk membangkitkan kembali Organisasi Sosial di Kampus kita.” Lanjut Irwan berbicara.
Dia memandang mata Hana dan Mono dengan penuh keyakinan. Aura dan kharisma Irwan mulai muncul kembali ke permukaan. Setelah sekian lama semangatnya turun karena kejadian memalukan itu. Akhirnya, Irwan Sang Pemimpin kembali beraksi.