Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #9

Step 9 - Big Hand and Small Hand

Berkat wawancara yang sukses, kini mereka perlahan mendapatkan kepercayaan yang sebelumnya telah hilang. Sebuah lompatan pertama yang kokoh. Nama mereka bertiga mulai terdengar di setiap sudut kampus. Mereka sering disebut dengan sebutan The New Trio.

Tiga serangkai yang berhasil membangkitkan sebuah organisasi yang telah hancur berantakan. Setiap mereka berjalan bersama, selalu ada mahasiswa yang memperhatikan mereka. Mereka menjadi pusat perhatian sekaligus pembicaraan hangat di lingkungan kampus. Para guru besar juga sangat bangga kepada mereka. Dan sejak saat itu, banyak sekali yang ingin bergabung dengan mereka dan menjadi bagian dari organisasi The New Trio.

Walaupun popularitas organisasi mereka melambung tinggi. Namun Irwan tidak ingin salah memilih rekan lagi. Setiap anggota baru harus dipastikan benar-benar memiliki keinginan yang kuat untuk mendedikasikan diri membantu orang lain. Dia tidak ingin menerima anggota baru yang hanya ingin ikut naik dengan popularitas mereka dan hanya mencari gengsi semata.

“Hana... Miss you so much.” Sinta memeluk Hana. Mereka sudah lama sekali tidak duduk bersama. Sibuknya kegiatan Hana sebagai Bendahara merangkap Sekretaris, tidak memberi dia banyak waktu untuk dapat meregangkan ikat pinggangnya.

Duduk di lantai atas Kafe Ar Ei, mereka berdua memesan bubble milk tea kesukaan mereka seperti biasa. “Minuman yang manis, seperti kita” Begitulah kira-kira kalimat yang sering keluar dari mulut Sinta.

Topik pembahasan Sinta jika bertemu dengan Hana selalu tidak jauh dari Irwan. Bagai seorang jurnalis, Sinta mewawancarai Hana dengan sangat mendetail dan kritis. Tidak ada sedikitpun celah yang dibiarkan lolos. Semua kegiatan Hana yang memiliki sangkut paut dengan Irwan, diulik habis tanpa tersisa.

Kelakuan Sinta yang tidak ada rasa jaim dan begitu bersemangat membuat suasana di meja mereka begitu menyenangkan. Sesekali pelanggan lain diam-diam melirik ke arah mereka, namun mereka sama sekali tidak menghiraukan lirikan itu.

Bagai dunia milik berdua.

“Oh ya, kemarin kalian di wawancara Juralis dari TeensLife Magazine. Gua udah baca, kalian keren banget....! Gua sampai baca ulang lima kali. Sebenarnya gua mau baca ulang sampai ke-enam kali, tapi gak jadi. Gua diusir karyawan toko buku. Huh... Sebel deh!”

“Itu sih salah kamu Sinta... Dasar.” Hana merespon geli.

“Tapi ada yang aneh di foto kalian, coba cek deh. Ada satu orang yang sering muncul di dalam foto kalian. Awalnya gua kira mungkin orang yang tidak sengaja tertangkap dalam kamera, orang itu terlihat berdiri jauh dan tidak jelas. Tapi setelah gua perhatikan lagi, hampir di setiap foto kalian, dia ada loh...”

Sinta menemukan sebuah keanehan dalam foto mereka. Tidak menyadari foto-foto yang diambil oleh Mas Lubis mendapatkan potretan yang misterius. Mas Lubis memang dikenal dengan jurnalis yang lihai dalam wawancara dan fotografi. Kemampuan seorang fotografer yang lihai selalu dapat menghasilkan foto yang menakjubkan dan foto yang penuh misteri.

Penasaran,

Hana pergi ke sebuah toko buku untuk memastikan. Sebelumnya dia telah melihat foto itu. Namun tidak sedikit pun dalam pengelihatan Hana, ada sosok orang yang mencurigakan dalam foto itu.

Sampai hari ini, ketika Sinta menemukan kejanggalan itu. Mata Hana sama sekali tidak akan melewatkan sosok itu lagi. Seseorang dengan jaket hitam dan topi hitam, beridiri jauh melihat mereka.

Merinding,

Hana merasa cemas. Karena setiap foto yang ada di majalah, merupakan foto dari lokasi dan waktu yang berbeda-beda. Tidak mungkin ada sebuah kebetulan, seseorang dapat tidak sengaja sering berpapasan dengan kegiatan sosial mereka sesering itu.

Siapa? Siapa sebenarnya identitas orang berjaket hitam itu.

***

Apakah kebetulan? Atau sebuah niat yang disengajakan. Sosok berjaket hitam itu tidak menarik perhatian Sinta saja. Pena, dia yang selalu berada di dekat The New Trio juga menyadari kehadiran sosok berjaket hitam itu.

“Serius! Ada orang yang mengikuti kalian. Atau lebih tepatnya, orang itu mengikuti Hana.” Kata Pena kepada Mono yang sedang bengong di depan jendela kamar apartemen.

Berusaha mengabaikan suara yang keluar dari mulut seorang arwah... Sebentar, apakah dia bisa disebut dengan “seorang?” Mungkin bisa, karena Arwah was a human before. Pikiran Mono terus terjebak dalam labirin yang tidak pernah dia selesaikan. Seorang perempuan dan arwah. Dua topik yang paling tidak dia mengerti selama hidupnya, sekarang ada di depan matanya.

Pena merasa kesal terus menerus diabaikan. Dengan sentilan sekuat tenaga dari jari-jari lentiknya. Pensil Mono yang terselip dalam jari-jari, terpental jauh dan jatuh ke lantai. Lamunan Mono pun ter-disconnect dari server imajinasi yang sedang dia jelajahi.

“Kenapa sih?!” Teriak Mono.

Tidak ada yang lebih mengesalkan dari pada lamunan penuh imajinasinya diganggu. Sejak Pena muncul di depan matanya, di pagi hari itu. Mono sama sekali tidak menemukan suasana yang benar-benar tenang untuk menulis.

Dia bangkit dari bangkunya dan mencari-cari pensilnya yang terjatuh. Jongkok ke bawah sambil meraba-raba, Mono teringat akan sesuatu. Dia bangkit dan berkata, “Jangan-jangan kejadian ponsel gua jatuh di kantin stasiun itu...”

“Hehehe... Iya, itu aku.”

Mono merasa kesal dan bingung dengan fenomena yang muncul dalam kehidupan dia. Kepulangan yang penuh duka, membuat dia bertemu arwah yang begitu menjengkelkan. Dia bahkan hadir sebagai seorang perempuan cantik dengan gaun pendek berwarna putih.

Lihat selengkapnya