Malam itu begitu dingin. Sepi, aku tidak melihat satu pun orang yang melewati jalan ini. Aku pulang melewati jalur yang tidak biasa. Semua terasa baru. Tapi bagaimana aku bisa berada disini? Kenapa aku tidak menggunakan jalan yang biasa aku lalui. Kemana aku akan pergi malam-malam begini? Rantaian pertanyaan terus aku pertanyakan. Bukan kepada orang lain, melainkan kepada diriku sendiri.
Aku kemudian menyadari, badanku berjalan sendiri. Bukan atas kesadaran atau perintah pikiran. Tubuhku seolah tidak dalam kendaliku lagi. Atau apakah mungkin aku berada di tubuh orang lain?
Ada sebuah mobil sedan berwarna coklat, terparkir di pinggir jalan. Tepatnya bersebelahan dengan trotoar dan sebuah tiang lampu jalan yang tinggi, yang mengeluarkan lampu berwarna kuning. Aku berjalan mendekati mobil sedan itu. Dan melihat ke arah kaca spion yang sedang terbuka, walaupun mesin mobil dalam keadaan mati.
Aku melihat wajah aku sendiri. Jelas, itu adalah wajahku. Tapi aku tetap tidak mengerti, kenapa aku berjalan sendiri. Aku mulai berharap ada seseorarng yang dapat menolong aku. Karena aku mulai merasa dingin. Aku mulai merasa pandangan mataku berkurang. Setiap lampu rumah di tepi jalan tiba-tiba padam. Hanya tersisa cahaya lampu jalan yang masih menyala. Dan pantulan cahaya dari kaca mobil.
Dalam kesunyian, aku berdiri sendiri disana.
Dan sebuah suara terdengar. Suara yang tidak asing. Dan terasa begitu dekat. Suara itu adalah suara pintu bagasi mobil yang tertutup.
Satu kedipan dan satu detik suara itu terdengar. Aku sudah berada dalam sebuah ruangan yang begitu sempit. Ini bahkan tidak terasa seperti ruangan. Tempat ini terasa sempit dan panas.
Ketika aku mencoba meraba sekitar, yang aku rasakan adalah pergelangan tanganku sudah terikat. Aku panik. Sangat panik. Aku kemudian menendang sekitarku. Berharap dapat merasakan sesuatu. Ya, aku merasakan sesuatu. Sebuah bidang datar yang melengkung.
Aku sadar aku berada dalam bagasi mobil. Setelah aku mendengar suara mesin yang menyala dan sesekali merasakan guncangan ketika mobil ini berbelok dan menabrak batu.
Aku sadar aku membutuhkan bantuan. Aku berusaha berteriak. Tapi aku tidak dapat mengeluarkan sedikit pun suara. Aku bahkan tidak dapat membuka mulut maupun merasakan bibirku. Aku harus bagaimana?
Tolong. Tolong.....!
Aku ingin berteriak. Namun dari tenggorokan, pita suara, sampai lidah dan mulut. Semuanya tidak terasa.
Kesadaranku mulai hilang. Aku sulit merasakan nafasku. Namun aku harus tetap terjaga. Aku memiliki firasat, jika aku sampai hilang kesadaran. Maka aku tidak akan pernah membuka mata lagi.
Cahaya perlahan masuk ke dalam. Pintu bagasi mobil kemudian terbuka. Ada seseorang disana. Memakai jaket hitam dan masker hitam. Aku hanya bisa melihat dua pasang mata yang terlihat begitu kosong. Siapa orang ini? Siapa? Siapa!? Kaki ku ditarik keluar. Aku ditarik secara paksa untuk keluar dari bagasi mobil. Kepalaku terbentur. Aku sudah tidak merasakan sakit lagi. Ini sudah melewati batas. Aku tidak mau, aku tidak mau.... Mati.
Terbangun.
Aku terbangun di atas kasur. Di dalam kamar aku sendiri.
Aku bermimpi. Ternyata ini sebuah mimpi. Tapi mimpi ini terasa begitu nyata.
Kejadian buruk yang pernah aku alami. Ternyata masih terus menghampiri. Aku tidak tahu, kapan aku bisa terlepas dari mimpi ini?
***
“Ehem... Lagi nunggu siapa Bapak Mono? Menunggu Pacar? Yang kemarin saling merangkul dan berpegangan tangan. Hihi...” Pena menggoda Mono.
Di Kafe Ar Ei, Mono sedang duduk sendirian di sebuah meja besar. Meja besar pada lantai satu kafe yang memang ditujukan untuk meeting. Hari ini mereka akan bertemu kembali, melanjutkan pertemuan bersama Aryo. Bedanya tim produksi kali ini absen hadir karena sibuk mempersiapkan hal lain.
Sesekali Mono melihat jam tangan. Dia ternyata datang terlalu awal. Sehingga membuat dia harus duduk sendiri untuk beberapa waktu. Namun itu di mata orang lain, bagi Mono dia tidak sendiri. Bahkan dari tadi dia terus berusaha menahan diri untuk tidak meladeni Pena. Yang sibuk menggoda dirinya.
Sejak pertemuan Mono dan Hana di taman. Pena seperti seorang kakak perempuan yang sibuk menggoda adik kecilnya yang akhirnya dekat dengan seorang perempuan. Berputar-putar di sekitarnya, seperti lalat yang mengitari makanan. Dan mengeluarkan suara-suara yang berdengung di telinga.
Mono mengambil ponsel dari dalam saku celananya. Menempelkan ponsel itu ke telinga, Mono berpura-pura sedang berbicara melalui ponselnya.