Malam itu, mereka bertiga ada di tepi jalan. Berdiri saling berhadapan. Dua orang perempuan dan seorang laki-laki. Angin malam sesekali bertiup halus. Tidak banyak suara yang terdengar di sepanjang jalan tenang itu. Hana memandang laki-laki yang mengejarnya sampai depan rumahnya. Menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh. Kenapa laki-laki ini, mengetahui dimana rumahnya. Apakah dia yang selama ini aku cari? Kata perempuan berambut panjang yang sedang kebingungan.
Sebaliknya, perempuan bergaun putih yang tertidur selama tujuh puluh lima tahun. Akhirnya menyadari, semua mimpi yang selalu terlintas dalam tidurnya. Semua bayang-bayang cerita masa lalu yang penuh misteri. Sebuah wajah dengan pancaran senyum yang hangat. Seorang pria, bukan laki-laki. Seorang yang selalu dia rindukan. Akhirnya dia bertemu dengan dia. Anak laki-laki yang duduk di tepi danau. Anak laki-laki yang selalu menulis dengan sebuah pena hitam.
Malam itu, kedua perempuan itu, menemukan dia kembali.
“Kak Mono, tahu rumah Hana darimana?” Rasa penasaran Hana akhirnya dikeluarkan. Hati perempuan itu penuh harapan. Dia tidak menyadari yang dia harapkan adalah laki-laki yang dia cari selama ini. Tapi tidak dengan hatinya yang sudah menunggu jawaban itu. Hati yang sudah jatuh cinta dengan sang penolong yang telah lama dia rindukan.
Mono terlihat gelisah. Dia masih merasa tidak enak, selama ini menyembunyikan sebuah fakta. Bukan fakta yang terlalu penting baginya. Namun karena meremehkan fakta itu, sekarang dia harus menanggung malu karena ketahuan mengetahui rumah seorang perempuan. Yang belum pernah sekalipun mengutip letak rumahnya.
Pena yang telah mengingat semuanya, terus melihat Mono yang terlihat begitu gelisah. Sesekali dia tersenyum tipis. Karena dalam pandangan Pena, tingkah Mono terlihat begitu menggemaskan.
“Sebenarnya aku sudah lama kenal Ayah kamu...”
Dia yang belum menyadari perasaan dari hatinya, kini dia jelas menyadarinya. Bagai seorang pengembara yang selama ini berjalan tanpa arah. Yang terus mengikuti bayangan seorang laki-laki yang dia kira adalah tujuannya, ternyata bukan. Kabut-kabut misteri yang menutupi tujuannya perlahan menghilang. Seseorang yang selama ini menjadi tujuannya telah terlihat di depan matanya. Dia tidak berada jauh di depan. Dia kini berdiri tepat di depan mata. Tangan besar yang menggenggam tangan kecilnya adalah tangan sang penyelamat hidupnya dua tahun yang lalu.
“Maaf ya, aku tidak pernah cerita. Dua tahun lalu, itu adalah kejadian yang pahit. Aku dan Om Restu sepakat untuk tidak membahasnya kembali.” Kata Mono. Suaranya begitu hangat untuk malam yang begitu dingin. Dibalik sisi ketusnya, terdapat sisi hangat yang jarang dia perlihatkan.
Setetes air mata, mengalir ke bawah dari mata sebelah kanan. Matanya kian berkaca-kaca. Emosi yang tidak tertahankan. Rasa bahagia karena penantian selama ini akhirnya berujung pada pertemuan.
Melihat air mata itu, Mono sama sekali tidak menyangka. Kejadian dua tahun lalu masih begitu membekas. Dia menggapai tangan kecil itu dengan tangan besarnya. Reaksi, sebuah reaksi spontan seorang laki-laki yang masih polos akan dunia romansa. Dalam pustaka ingatannya, itu adalah cara yang dia ketahui untuk menenangkan seorang perempuan. Namun dia tidak menyadari, cara itu telah menenggelamkan seorang perempuan ke dalam laut yang bernama cinta.
Pemandangan yang indah bagi mereka yang mengharapkan sebuah cerita cinta yang berakhir bahagia. Namun tidak dengan Pena. Pemandangan itu seperti sebuah tamparan. Sebuah tamparan yang menyadarkan dirinya. “Dunia kami berbeda, waktu juga sudah berlalu terlalu lama. Aku tidak berhak mengganggu mereka.”
Pena, kembali menghilang.
***