“Hana, tolong ambilkan gunting.” Kata Irwan sambil menunjuk sebuah gunting yang tergeletak di atas meja Hana.
Tanpa banyak berpikir Hana langsung beranjak dari kursi, mengambil gunting, dan mengulurkan gunting itu kepada Irwan. Raut wajahnya terlihat santai, Hana juga terlihat masih fokus dengan pekerjaan. Dan matanya melihat mata Irwan dengan leluasa, tidak seperti biasanya. “Ini kak, oh ya... Soal pertemuan dengan staff walikota, jadi?”
Hana melontarkan sebaris pertanyaan. Dengan begitu ringan, dia mengucapkan kalimat tanya itu. Melihat itu, Sinta terheran dengan sikap Hana yang berubah tiga ratus enam puluh derajat. Apa yang sebenarnya terjadi, kata Sinta dalam hati. Beberapa anggota juga terlihat heran. Pemandangan yang tidak seperti biasanya, akan sangat mudah menarik perhatian.
“Hana... Kamu demam? Tadi kamu ngomong sama Kak Irwan loh, bukan sama Kak Mono.” Tanya Sinta dengan ekspresi penuh tanda tanya. Matanya melebar seakan perlu tenaga ekstra untuk melihat gelagat Hana.
“Aku sehat kok. Kamu kenapa sih? Sudah, aku lanjut dulu. Kerjaan lagi banyak nih.” Gerutu Hana yang sedang sibuk mengerjakan pekerjaannya di depan laptop.
Sikap Hana benar-benar berbeda dari sebelumnya. Apakah ini pertanda bunga itu telah layu. Atau sebaliknya, bunga itu telah mekar dan menjadi wujud yang sesungguhnya.
Bahkan Irwan menyadari sikap Hana yang telah berubah. Dalam hati Irwan, dia sangat senang. Sekertarisnya yang selama ini selalu membuang muka ketika berbicara dengan dia, sekarang melihat tepat di depan wajahnya. Irwan senang, karena Hana tidak lagi membencinya. Begitulah pemikiran polos Irwan selama ini.
Suasana ruangan kerja mereka siang itu begitu sibuk. Waktu berjalan, sebentar. Waktu tidak berjalan, melainkan berlari. Waktu mereka berlari dengan cepat, menggerakkan matahari dari timur ke barat dalam sekejap. Sampai akhirnya sore telah tiba. Tepat jam enam sore, Mono baru datang.
Menenteng dua kantong besar berisi beberapa tumpuk kotak pizza dan air soda. Mono masuk dengan wajah tersenyum. Senyum tulus penuh rasa terima kasih, karena telah mengizinkan dia absen siang itu. Dan bersedia mengerjakan pekerjaan yang seharunya di kerjakan oleh Mono. “Ayo, makan dulu...”
Semua terkapar di tempatnya masing-masing. Ada yang berbaring terlentang di lantai. Ada yang tertidur di atas kursi. Bengong karena tidak memiliki kekuatan lagi untuk memfokuskan pandangan mata. Dan Sinta, dia tertidur dengan mulut terbuka lebar.
“Udah berapa lalat yang masuk ke mulut Sinta?” Tanya Mono sambil tertawa kecil.
Pena yang selalu menempel di dekat Mono, ikut tertawa. Dia tertawa begitu bebas, karena dia tahu hanya Mono yang dapat mendengarnya.
“Cantik-cantik, tertawanya lebar banget.” Kata Irwan.
Sebuah ucapan yang mengejutkan dari mulut Irwan. Membuat Mono dan Pena sempat terpaku diam. Ucapan itu jelas terdengar di telinga mereka berdua. Sebuah ucapan yang merespon tawa Pena yang keras.
“Maksud gua, mulut Sinta. Lebar banget terbukanya hahaha...” Jelas Irwan kembali.
Mendengar Irwan mengoreksi ucapannya, Pena dan Mono bernafas lega. Walaupun bukan sebuah masalah yang besar jika Irwan juga dapat melihat Pena.
“Gimana hari ini? Selesai?” Tanya Mono.