Kafe Ar Ei.
Pukul 15.30 WIB. Di lantai dua. Meja panjang yang berhadapan dengan jendela. Mono kembali bertengger seperti seekor burung pipit yang sedang hinggap pada seutas kabel listrik di pinggir kota. Sedang mencari inspirasi. Sedang mencari Ide. Sedang menjatuhkan tetesan-tetesan tinta pada secarik kertas.
Sejak memiliki Pena Antik. Pria penjelajah imajinasi itu sering berlatih menulis menggunakan pena. Hampir setiap malam dia menggoreskan tongkat kecil berujung lancip itu ke bidang datar putih. Sampai akhirnya, dia sudah sangat mahir menggunakan tongkat kecil itu. Seperti seorang konduktor yang mahir mengarahkan paduan suara dengan sebuah tongkat tipis. Alunan-alunan musik berpadu dengan indah. Demikian juga dengan rangkaian cerita yang dibangun Mono dalam setiap kata.
Sore itu sangat tenang. Tidak banyak pelanggan kafe yang datang. Dan satu-satunya pelanggan yang berada di lantai dua, hanyalah Mono seorang. Duduk dan menulis ditemani secangkir kopi susu ekstra gula dua sendok. Manis, tapi rasa manis kopi susu telah tertandingi. Setelah melihat senyum manis dari seorang perempuan. Seorang perempuan yang telah berhasil membuat hari-harinya lebih manis dari secangkir kopi susu yang dia gemari.
Walaupun Mono terlambat mengecap rasa manis dari perempuan bergaun putih itu. Namun dia tidak menyesal. Karena sekarang, dia sudah menyadari semuanya.
Namun tidak semanis hari-hari sebelumnya. Ada seekor kucing yang terus mengganggu perhatian Mono. Seekor kucing liar berbulu putih belang. Mengikutinya dari pagi. Mengikutinya sampai ke kampus. Berjalan di belakangnya mengitari taman kampus. Menunggu tepat di depan pintu perpustakaan. Terus mengeong ketika Mono sedang makan di kantin kampus. Sampai akhirnya, kucing itu duduk tenang di seberang jalan, sambil melihat Mono yang sedang duduk di lantai dua kafe. Jika Kafe Ar Ei membolehkan seekor kucing liar masuk, mungkin dia sudah tidur di dekat kaki Mono.
Mono duduk di Kafe Ar Ei dari jarum jam pendek menujukkan angka dua. Satu jam dan tiga puluh menit. Durasi Mono duduk di Kafe Ar Ei. Demikian juga dengan durasi sang kucing yang sedang duduk di seberang jalan. Seolah dia sedang menunggu. Dia menunggu dengan setia, sampai akhirnya Mono keluar dari Kafe.
“Sebenarnya, ada apa dengan kucing itu?” Gumam Mono.
Walaupun seekor kucing terus mengganggu pikiran Mono, dia terus berusaha mengabaikan.
Fokus. Pandangan perlahan semakin menyempit, sampai lembaran bidang datar putih saja yang terlihat di mata. Pendengaran perlahan memudar, sampai suara musik di kafe hampir tidak terdengar. Perlahan, semua indera berkurang fungsinya. Hingga hanya imajinasi dalam pikiran dan tangan yang semakin tajam.
“Meong.”
“Arghh...” Geram. Mono geram dengan suara kucing yang tiba-tiba muncul dalam benaknya. Semakin keras dia mengabaikan kucing itu, semakin kucing itu mengganggu pikirannya.
Mengetuk-ngetuk meja, Mono mengetuk meja dengan jari telunjuk dan jari tengah. Memunculkan suara “tok, tok, tok...”
Dia terus berusaha mencari cara untuk fokus dengan tulisannya.
Namun, suara mengeong tidak pernah gagal menghancurkan dinding konsentrasi Mono.
Kaki yang semula beristirahat tenang, mulai bergoyang. Mata Mono mulai melihat kesana dan kemari. Gestur-gestur tubuh yang tidak tenang terus berkumpul menjadi satu.
Akhirnya, Mono memutuskan untuk menghadapi halangan terbesarnya hari itu. Dia beranjak dari kursi, membereskan meja, dan keluar dari Kafe Ar Ei.
Mono berjalan menuju sang kucing. Berjalan seperti seorang pendekar yang siap bersilat tangan. Mono berjalan ke arah kucing itu dengan sebuah tongkat. Bukan tongkat kecil, tapi tongkat yang besar dan panjang. Dengan ujung yang memiliki ijuk.
Ya, benar. Mono membawa sebuah sapu ijuk. Kemudian, dia mengayun! Tapi kucing itu tidak pergi. Masih duduk tenang melihat Mono yang mengayun dari seberang jalan.