Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #14

Step 14 - Selamat Tinggal Ayah

Perjalanan panjang sampai di tempat ini. Aku akhirnya kembali ke danau tempat pertama kali aku bertemu dengan dia. Sama sekali tidak ada yang berubah. Demikian juga perasaanku.

Langit pagi itu, begitu terang. Sinar fajar begitu perkasa, menerangi seluruh permukaan bumi. Pantulan cahaya dari danau kian silau. Tanganku harus berimprovisasi setiap kali ada pantulan cahaya yang menyerang mataku. Perjalanan kembali ke desa ini membutuhkan satu hari lebih. Berangkat di waktu subuh yang sepi, ketika semua penjaga perbatasan sedang lengah. Kami berhasil sampai pada pagi hari, tepat ketika fajar terbit dari ufuk timur.

“Rinduku akhirnya terbalas. Seperti rinduku yang telah kamu balas.” Kata Rudolf. Dia rindu dengan danau itu. Demikian juga dengan aku, yang merindukan desa kecil tempat kelahiranku.

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Bagiku dia adalah penyelamat hidupku yang penuh dengan harapan kosong. Dia menyadarkan aku, hidup ini terlalu banyak kemungkinan yang dapat terjadi. Jangan terpaku dengan kesedihan. Hidup penuh dengan kemungkinan untuk bahagia. Resiko untuk bersedih, kecewa, dan emosi negatif lainnya tidak akan pernah musnah. Namun, begitulah hidup.

Anak laki-laki dengan pensil itu lebih mengenal dunia dari pada aku. Gadis desa yang hanya mengeluh. Namun sekarang aku berbeda. Pandangan kami sama. Hidupku akan bahagia, pasti.

Kami berjalan mengitari danau. Menikmati cahaya pagi yang begitu hangat. Menerima energi-energi yang dicurahkan secara percuma. Keringat kami mulai menetes keluar dari pori-pori kulit. Bergandengan tangan, aku tidak menyangka sama sekali. Aku tidak menyangka akan ada hari, ketika aku bergandengan tangan dengan seorang yang aku cintai.

Kami terus berjalan mengitari danau itu. Sampai akhirnya, aku kembali di tempat aku semula mulai berjalan. Namun, dia menghilang.

“Hei, kamu kenapa?”

Mono bertanya kepada Pena. Melihat ekspresi Pena yang terbangun dari kasur. Mono yang sedang menulis di meja kerjanya bangun, dan berjalan ke arah Pena. “Apakah arwah bermimpi buruk?”

Pena terlihat baru saja bangun dari mimpi buruk. Matanya terbuka lebar, nafasnya terengah-engah, dan keringat membasahi kepala sampai lehernya. Kemudian dia melihat ke arah Mono dan berkata, “Jangan pergi lagi.”

Mono tidak mengerti. Tapi dia tetap duduk di dekat Mono sambil memeluknya. Kadang kita tidak perlu tahu apa yang sedang mereka hadapi. Yang penting, kita selalu ada untuk mereka.

***

Lihat selengkapnya