Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #15

Step 15 - Persimpangan Jalan Sang Penulis #1

“Kenapa Mon? Bengong terus dari pagi.”

Dua sahabat sedang duduk di meja persegi milik perpustakaan kampus. Mono memandang keluar jendela perpustakaan yang terbuka. Pikirannya melayang kemana-mana. Raganya sama sekali tidak berada di perpustakaan. Kesadarannya tidak hadir di meja persegi itu. Dan dia tidak sadar sahabatnya yang jail, sedang sibuk memotret dia dengan filter kamera berlatar hitam putih dengan backsound lagu yang melow.

Boy... Boy. Lo kenapa sih? Biasa gua gangguin langsung marah-marah.” Keluh Irwan kepada Mono yang tidak bereaksi atas kejailannya. Bagi Irwan kejailan tanpa reaksi marah atau kesal, sama sekali tidak menyenangkan.

“Wan... Waktu lo sama Rachel putus karena dia mau pergi ke luar negri, apa yang lo rasakan?” Tanya Mono.

“Ha?! Kenapa tiba-tiba bahas Rachel?”

Irwan hampir menjatuhkan ponsel yang sedang dia pegang. Pikirannya mulai melayang ke masa lalu. Seakan dunia berputar kembali. Seolah waktu terus mundur tidak terkendali. Gambaran-gambaran momen bahagia Irwan ketika bersama perempuan itu muncul satu per satu, dan menampar setiap saraf ingatan Irwan.

“Jawab aja...” Kata Mono dengan wajah datar. Dia masih melihat ke luar jendela. Pandangan matanya masih dipenuhi rasa yang hambar. Tidak hitam maupun putih, hanya abu-abu. Semuanya begitu tidak karuan dan tidak jelas.

Berbanding terbalik seratus delapan puluh derajat. Irwan merasakan warna yang campur aduk bagai sebuah lukisan abstrak. Mereka berdua akhirnya diam untuk beberapa puluh menit di meja persegi itu tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Suasana perpustakaan yang sunyi semakin mendukung. Yang satu sendu, yang satu galau. Kedua laki-laki yang menemukan kebuntuan. Membuat salah satu fitur dalam diri mereka aktif secara otomatis. Fitur itu adalah diam... dan bengong...

“Kalian kenapa?” Tanya Hana yang baru sampai.

Pertanyaan Hana sama sekali tidak ditanggapi mereka berdua. Jangankan pertanyaan, kehadiran Hana saja sama sekali tidak mereka sadari.

Hana melihat tumpukan buku di meja mereka. “Semua buku untuk rapat kali ini, sudah siap?”

Hana melambaikan tangannya ke depan wajah mereka, namun mereka tetap tidak berkata apapun. Hanya pandangan yang kosong, dan wajah yang datar.

“Kita jadi rapat gak nih? Kalau gak jadi, Hana pergi nih.”

Mereka tidak menjawab, hanya bisa menghela nafas panjang secara bersamaan. “Sejak kapan kalian kompak begini?” Tanya Hana.

“Lupakan.” Kata Mono.

Lihat selengkapnya