Memang benar, pria ini telah memutuskan. Namun otak kiri Mono juga tidak dapat membiarkan otak kanan bertindak semau dia. Hatinya sudah berlabuh di dermaga hati perempuan bergaun putih. Walaupun berlawanan dengan ketentuan alam, namun perasaan pria berwajah tirus itu benar-benar nyata. Sama sekali bukan perasaan yang implusif, yang hanya muncul sesaat kemudian menghilang.
Di sisi lain, dia sadar. Perasaan yang dia jaga mungkin tidak dapat berlangsung lama. Kelak, mungkin mereka akan terpisah. Dunia mereka berbeda. Takdir mereka berbeda. Seperti langit turun ke bumi, sungguh sesuatu yang mustahil terjadi. Dia sadar akan keterbatasan itu.
Ditambah dengan seorang gadis yang terus menunggunya dengan tulus. Dia menunggu dengan penuh harapan di samping Mono yang masih bermimpi. Bermimpi dari kenyataan, yang tidak mungkin akan berlangsung lama.
Mono sadar, dia sangat sadar. Mencintai Pena bagai sebuah mimpi yang tidak akan pernah dapat menjadi kenyataan.
Mono mulai merasakan kebuntuan yang semakin mendalam. Dia seperti terjebak dalam sebuah labirin dan tidak memiliki peta. Hanya berputar-putar di dalam labirin. Labirin yang penuh dengan jalan buntu.
“Hei, masih bengong aja...” Panggil Irwan sambil menepuk pundak Mono dari belakang.
“Jadi, lo diapain sama Bu Herlin?” Tanya Mono sambil melambai ke arah pramusaji.
“Lebih baik tidak dibahas.” Jawab Irwan dengan suara yang ketakutan. Wajahnya terlihat masih mengingat hal buruk yang baru saja menimpanya.
“Kenapa?”
“Mono.” Irwan memandang Mono dengan wajah yang serius. “Kadang seseorang harus bersikap cuek. Karena ada hal, yang lebih baik jika tidak diketahui.”
Mono menelan air ludah. Dia tidak lagi bertanya. Pasti sesuatu yang sangat buruk baru saja terjadi.
“Halo Kak, mau pesan apa?” Kata pramusaji sambil mneyodorkan daftar menu.
“Saya pesen kopi hitam tanpa gula.” Kata Mono.
Irwan terkejut, pesanan Mono tidak seperti biasanya. “Tumben...”
Mono tidak menjawab. Dia hanya diam dan berusaha mengabaikan reaksi Irwan. Sedangkan Irwan merasa ada yang aneh dengan Mono hari itu. Dia terus memandang Irwan dengan memasang wajah penasaran. Matanya terus melirik Mono dari ujung rambut sampai menurunkan kepalanya ke dalam kolong meja untuk melihat kaki Mono.
“Woi! Lo ngapain?”
“Something wrong with you...”