Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #18

Step 18 - Dia, Hidup.

Jika bagi kebanyakan orang, dunia dipenuhi dengan warna yang beragam. Dari warna yang terang sampai warna yang gelap. Dari warna yang membawa semangat sampai ketenangan. Bagi mereka, warna di dunia ini begitu luas. Bukan sebuah sisi koin yang hanya terdiri dari dua sisi. Bagai palet lukis yang siap mengisi berbagai macam warna. Demikian juga dengan kehidupan yang siap menerima berbagai macam emosi, kejadian, dan ingatan.

Tapi, entah kenapa aku merasa ada yang berbeda dengan palet lukis milikku. Begitu banyak ruang untuk warna lain, namun yang ada hanyalah warna abu-abu. Aku bahkan tidak memiliki pilihan warna. Bahkan hidupku yang selama ini hitam dan putih terasa begitu abu sekarang.

Aku ingin memilih. Namun di saat yang sama, tidak ada pilihan yang tersedia. Aku seperti berada di tengah dua kehidupan. Dua kehidupan yang sudah bercampur aduk.           Kemudian aku menyadari, komposisi warna putih dalam warna abu semakin mendominasi. Perlahan warna hitam itu kian menghilang. Seperti warna es krim oreo, warna hitam dan putih perlahan saling memisahkan diri.

Aku semakin yakin dengan perasaan ini. Walaupun hari ini, aku bertemu dia yang terus mengetuk pintu hati. Namun di dalam hati ini, ada orang yang sedang aku nanti kepulangannya.

“Kak...Kak Mono? Kakak kenapa bengong?”

Panggilan dari Hana mengembalikkan kesadaranku. Tanpa sadar, aku sering larut dalam pikiranku sendiri. Sampai akhirnya tidak sadar dengan sekitar. Semua indera seakan nonaktif secara otomatis. Aku bahkan lupa film apa yang akan kami tonton hari ini.

Suara pengumuman khas bioskop sudah terdengar. Hana menarik lengan bajuku dengan kedua jari kecilnya. Menarikku yang sedang bengong ke dalam bioskop yang pintunya sudah dibuka.

Kami masuk bahkan ketika mas-mas penjual popcorn belum masuk ke dalam studio. Duduk di kursi paling tengah. Bagai titik tengah pada bullseye, Hana memilih tempat duduk paling tengah yang pernah aku duduki sepanjang pengalaman menonton bioskop.

Sepanjang film diputar, kami tidak saling berbicara. Tidak sama sekali. Sesekali aku diam-diam melihat Hana. Dan hari ini aku baru mengetahui, Hana adalah tipe penonton yang tidak ingin diganggu. Matanya begitu fokus. Badannya hampir tidak melakukan gerakan yang sia-sia. Semua terlihat begitu efektif untuk seorang profesional penonton film di bioskop. Jika ada kejuaraan menonton film di bioskop, aku rasa Hana kandidat juara nasional.

Melihat Hana, aku jadi tidak berani banyak gerak. Bahkan ketika mengunyah popcorn, aku mengunyah dengan sangat pelan. Bagai menyelinap ke dalam kandang beruang yang sedang tidur lelap. Tapi? Untuk apa aku masuk ke dalam kandang beruang? Ah sudahlah....

Berusaha melepaskan kebimbangan untuk sementara. Aku berusaha menikmati hari ini. Namun semakin aku menikmati hari ini, semakin aku merasa bersalah. Malam ini, aku harus menyampaikan perasaanku kepada Pena.

Lihat selengkapnya