Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #19

Step 19 - Fredi

Entah apa yang aku pikirkan. Aku berkata ingin melepaskan dia. Tapi jauh dalam inti kesadaranku, aku ingin tetap bersamanya. Mungkin karena perasaan inilah, yang membuatku mengikuti mereka berdua. Yang baru saja keluar dari bioskop.

“Tapi... Kenapa kamu ikut?”

“Hahaha. Aku hanya penasaran.” Jawab Irwan dengan senyum sumringah. “Eh, mereka udah pergi. Ayo.”

Kami hanya penasaran. Dan mungkin, sebagian kesadaranku mengatakan. Aku harus memastikan mereka tetap bersama dan akan selalu bersama. Dia dapat menerima perempuan itu, sebagaimana dia menerimaku. Dan sahabatnya Irwan, pasti ingin yang terbaik untuk Mono. Kami sudah sepakat sebagai pendukung Mono dan Hana. Namun tindakan spontan kami tanpa sadar telah membawa kami pada situasi yang tidak terduga.

“Aku, ke toilet dulu ya.”

“Ok Kak.” Jawab Hana dengan tersenyum.

Tapi siapa yang dapat mengira, senyumannya itu adalah senyuman terakhirnya hari ini. Beberapa menit setelah Mono meninggalkan Hana, sosok misterius tiba-tiba muncul. Dalam keramaian dia berdiri tepat di depan Hana. Badannya kurus tinggi, namun tidak setinggi Irwan. Dia memakai jaket hitam dengan celana jeans biru. Tampaknya dia adalah seorang pria muda.

Pria asing itu tampak mengatakan sesuatu, namun kami tidak dapat mendengar apa yang dia katakan. Kemudian dia menjentikan jarinya. Saat itu juga, wajah Hana terlihat berbeda. Wajah cerianya yang penuh dengan senyum berubah menjadi datar. Seakan dia menjadi sebuah patung yang tidak memiliki kesadaran.

Lalu pria asing itu pergi dari tempatnya berdiri. Dan Hana juga beranjak dari tempatnya berdiri. Hana tampak tidak sadarkan diri. Dia berjalan begitu saja mengikuti pria asing itu. Bahkan dari jauh kami dapat melihat pria asing itu menggunakan masker hitam dan topi coklat yang tidak mungkin bisa langsung dikenali. Namun, Hana tetap mengikutinya begitu saja. Lalu raut wajah Hana yang datar begitu mengganggu pikiranku.

Kami berlari mengejar Hana. Dalam keramaian sulit sekali melihat mereka. Pandanganku kadang hampir lepas dari Hana. Namun aku terus berlari dan mengejar Hana. Tanpa aku sadari, aku berlari menembus orang-orang dalam keramaian. Sedangkan aku kehilangan Irwan. Dia pasti kesulitan untuk mengejar dalam keramaian.

Aku juga tidak bisa kehilangan Irwan. Tidak ada Irwan, maka tidak ada yang dapat menghubungi Mono. Dan aku sebagai arwah tidak dapat berbuat banyak. Pandanganku menjadi terpecah antara mengejar Hana dan mencari Irwan. Perlahan aku mulai merasa panik karena aku mungkin akan kehilangan mereka berdua.

Sadar, aku akhirnya sadar harus memilih di antara mencari Irwan atau mengikuti Hana. Jika tidak, aku akan kehilangan mereka berdua.

Akhirnya, aku memilih mengikuti Hana. Jika kehilangan Hana, maka semua akan berakhir. Kehilangan jejak tanpa tahu kemana dia akan dibawa. Aku percaya Irwan pasti dapat menyusul bersama Mono.

Mereka mulai berjalan menajuhi keramaian. Pergi ke sebuah gang kecil yang sangat sepi. Tidak terlihat satupun orang yang berjalan pada gang kecil itu. Bahkan tidak ada anjing maupun kucing liar yang terlihat. Matahari pun perlahan mulai terbenam. Momen diantara cahaya matahari mulai meredup dan lampu jalan belum menyala. Gang kecil itu terlihat semakin gelap.

Mereka berhenti di sebuah gudang tua. Gudang yang terlihat telah lama ditinggalkan. Terlihat dari debu yang menyelimuti pintu dan dinding gudang yang terbuat dari kayu. Lumut-lumut yang tumbuh begitu lebat. Beberapa sudut telah menjadi tempat laba-laba bersarang. Banyak rongsokan yang telah berkarat. Dan bau-bau kotoran hewan pengerat yang masih tertinggal aromanya.

Hana, diikat bersama dengan sebuah tiang yang terbuat dari kayu. Kayu yang terlihat tidak terlalu kokoh sama sekali. Kayu yang sudah berumur, terlihat dari bekas-bekas santapan rayap yang menyisakan lubang.

Lihat selengkapnya