Pena Antik. The Four Steps of Love

Setyawan Lam
Chapter #21

Final Step - Yang Terlupakan

Angin berhembus dengan lembut, seolah menyapa daun-daun yang tinggal di ranting pohon. Dedaunan merespon baik sapaan lembut dari angin dengan lambaian dan suara berdesik yang menenangkan. Suara yang selalu dicari seorang plegmatis yang menginginkan kedamaian di setiap saat. Seorang anak muda, seorang remaja, seorang pria. Sudah pantaskah aku disebut sebagai seorang pria? Kalimat yang selalu mengikat rasa cemas dalam diriku sendiri.

Namun aku sudah terlalu lelah untuk terus hidup dalam kebimbangan. Aku terlalu bosan menunggu pembuktian itu datang. Aku, adalah seorang pria.

Kafe Ar Ei. Sebuah tempat yang menjadi tempatku menulis. Menulis lembar demi lembar tulisan. Menyiratkan makna dalam setiap rangkaian kata. Menyiram susunan abjad menjadi sebuah cerita. Aku duduk bersama dengan Om Okan dan Mas Aryo di sebuah meja persegi dekat jendela.

“Ok! Script ke tujuh rampung.” Kata Mas Aryo dengan wajah berbinar-binar. Dia terlihat sangat puas dengan naskah akhir yang telah kami kerjakan selama dua bulan ini.

Tentu saja melihat reaksi Mas Aryo, aku sangat senang. Setiap kali Mas Aryo mengatakan naskahnya telah rampung, rasa bahagia langsung memuncak sampai ke ubun-ubun kepala. Rasa lega pun terlepas begitu bebas bagai melepaskan tinja. “Ahh...”

“Mono. Jangan terlalu santai. Ingat masih ada post-production.” Kata Om Okan mengingatkan. Om Okan sudah seperti manajer pribadi. Dia selalu hadir ketika kami melakukan meeting, post-production, bahkan jumpa pers. Kata beliau, dia adalah Napoleon yang berhasil menemukan Amerika. Aku senang dapat menjadi sesuatu yang besar untuk seseorang. Apalagi beliau adalah orang yang berjasa padaku selama ini. Terima kasih Om Okan.

“Baik! Pertemuan hari ini saya sudahi. Saya pamit duluan.” Mas Aryo beranjak dari kursinya sambil menyodorkan tangan. Aku dengan refleks langsung menjabat tangannya. Dia menantapku sebentar kemudian tersenyum, lalu pergi.

“Mono. Om juga mau pamit. Om ada janji dengan Riri.”

“Baik Om.”

“Oh ya, ntar malam kamu ada acara? Mau makan malam di rumah Om?

Sebuah tawaran yang sangat hangat dari Om Okan, namun hari ini aku perlu menemui seseorang. Seseorang yang menjadi alasan aku melangkah sejauh ini. Kami akhirnya berpisah di Kafe Ar Ei.

Lihat selengkapnya