Penakar Dua Dunia

Andi Permana
Chapter #2

BAB 2 GANG BUNTU

Gerimis tipis menemani laju motor Yamaha RX-King tua yang membelah malam Garut. Deru mesin dua-taknya yang khas terdengar parau, seolah ikut merasakan urgensi sang pengendara. Jalanan yang biasa ramai kini lengang; sebuah kesepakatan tak tertulis di antara warga untuk tidak berkeliaran saat para predator lebih aktif. Tak ada lagi gaya selengean atau sapaan ramah. Yang ada hanya Baskara yang menunduk, fokus, membiarkan udara dingin menampar wajahnya yang kini tanpa ekspresi.

Ia akhirnya membelokkan motornya ke sebuah gang sempit yang ironisnya bernama: Gang Buntu Bahagia.

Begitu mesin motor dimatikan, keheningan yang tidak wajar langsung menyergapnya. Udara di sini terasa lebih berat. Indra penciumannya yang sensitif langsung menangkap tiga aroma sekaligus: anyir darah yang samar, bau tanah basah, dan... sesuatu yang lain. Sebuah parfum mewah yang menusuk hidung, aroma melati dan cendana yang terlalu pekat untuk selera manusia biasa. Wangi khas para bangsawan malam. Baskara sudah memberinya nama di kepalanya: Mélancolie du Crépuscule.

Mengabaikan hawa dingin yang mulai menusuk tulang, ia mengeluarkan sebuah botol sampel dan pipet dari tasnya. Dengan gerakan yang terlatih, ia mengambil sampel tanah gelap yang telah bercampur darah. Sebuah alat portabel seukuran ponsel—mesin Kromatografi Lapis Tipis (KLT) miniaturnya—dinyalakan. Proses analisis berjalan dalam keheningan total, hanya pendar cahaya kecil dari layarnya yang menunjukkan bahwa alat itu bekerja. Sementara menunggu, Baskara mengedarkan pandangannya.

Dan di sanalah, di dinding sebuah rumah kosong, matanya menangkapnya. Sebuah "tanda tangan" yang ia kenal betul, dilukis dengan cairan merah gelap yang mulai mengering. Bukan simbol, melainkan tulisan kaligrafi yang dibuat dengan arogan:

"Mentari Terbit, Asmara Pamit."

Rahang Baskara mengeras. Itu adalah jejak Paguyuban Asmara Subuh. Jejak yang sama yang mereka tinggalkan di kamar adiknya bertahun-tahun lalu.

Lihat selengkapnya