Harapan adalah zat kimia yang berbahaya. Dosisnya harus tepat. Terlalu sedikit, kau akan mati dalam keputusasaan. Terlalu banyak, kau akan mati karena kecewa. Baskara merasakan zat itu mulai mengalir deras di pembuluh darahnya, dan ia tahu, perjalanan ke Kawah Mati Gunung Guntur ini akan mempertaruhkan nyawanya. Tapi secercah harapan itu terlalu berharga untuk diabaikan.
Ia menatap pot kaktus di mejanya, lalu menepuk durinya pelan. "Nah, Kaktus, doakan aku, ya. Aku mau 'kirim paket' ke Kawah Mati. Mungkin sekalian jadi paketnya," katanya dengan senyum miring. "Kalau aku tidak kembali dalam tiga hari, tolong siram dirimu sendiri. Tagihannya ada di laci."
Dengan itu, ia mulai bergerak. Jas putih apotekernya yang bersih ia lipat rapi dan masukkan ke dalam tas berburu, sebuah jimat yang mengingatkannya pada sisi penyembuhnya. Ia memeriksa kembali isinya, menambahkan beberapa botol darurat dari lemari jati tuanya: seikat Akar Gigit Balik untuk mengebaskan racun vampir, beberapa lembar Daun Penolak Senja untuk menyamarkan aroma manusianya, dan sebuah kantung kecil berisi Bubuk Tidur Abadi untuk situasi darurat non-letal. Foto adiknya yang usang diselipkan di saku terdalam.
Dia tidak langsung berangkat. Dia menunggu. Membiarkan malam menjadi lebih pekat, lebih sunyi, hingga dini hari tiba. Tepat sebelum melangkah keluar, ia menoleh sekali lagi pada Kaktus-nya. Kali ini, tatapannya tajam, suaranya tegas dan penuh keyakinan.
"Aku tidak akan gagal lagi kali ini, Tus. Tidak ada pilihan itu."
Perjalanan menuju kaki Gunung Guntur terasa dingin dan sepi. Hanya deru parau RX-King-nya yang menjadi teman. Namun, setelah melewati perbatasan kota, Baskara merasakan sesuatu yang lain. Perasaan ganjil bahwa ia sedang diawasi. Bukan oleh vampir—auranya berbeda—tapi oleh sesuatu yang kuno dan netral.
Tiba-tiba, dari kegelapan, seekor burung hantu besar dengan mata sebesar piringan teh mendarat tanpa suara di dahan pohon di pinggir jalan, tepat di bawah sorot lampu motornya. Baskara mengerem mendadak, hampir tergelincir di jalanan yang masih basah.
Burung hantu itu menelengkan kepalanya, lalu berbicara dengan suara yang dalam, bijaksana, dan sedikit serak seperti kakek tua yang terlalu banyak merokok kretek.
"Wahai Anak Dua Darah," kata burung hantu itu dengan dramatis. "Pengembara di antara senja dan fajar. Jejak takdir yang kau tapaki ini diselimuti bayang-bayang..."
Baskara menatapnya selama tiga detik, lalu mendengus. "Aduh, drama," potongnya. "Suaramu persis seperti kakekku kalau sedang batuk. Baiklah, aku akan memanggilmu Pak Uhuk."
Burung hantu itu tampak tersinggung, matanya yang besar berkedip tak percaya. "Namaku Elanggana Sabda Alam, penjaga..."
"Sudah terlanjur. Kau Pak Uhuk sekarang," kata Baskara sambil menstarter kembali motornya. "Sekarang, Pak Uhuk yang bijaksana, kau mau ikut atau hanya mau memberi sambutan pembuka saja? Aku sedang buru-buru."
Pak Uhuk tampak bergumam kesal sebelum akhirnya terbang dan melesat ke depan, seolah memberi isyarat agar Baskara mengikutinya. Baskara, dengan senyum tipis untuk pertama kalinya malam itu, menarik gas motornya. Perjalanan ini, tampaknya, akan jadi lebih aneh dari yang ia perkirakan.
Setelah hampir dua jam perjalanan yang dingin, dipandu oleh Pak Uhuk yang terbang tanpa suara laksana bayangan, mereka akhirnya melihat pendar cahaya obor yang redup di kejauhan. Sebuah desa terakhir sebelum jalur pendakian terjal menuju Kawah Mati Gunung Guntur. Desa Pamali. Semakin dekat, Baskara semakin merasakan aura waspada dari tempat itu; sebuah energi defensif yang lahir dari generasi-generasi yang hidup di perbatasan dunia manusia dan dunia gaib.
Ia menghentikan motornya tepat di depan gerbang bambu runcing yang dijaga ketat. Untaian bawang putih, daun kelor kering, dan jimat-jimat aneh berbau belerang tergantung di setiap sudut, bergoyang pelan ditiup angin gerimis. Suasananya mencekam.
Tiba-tiba, dari kegelapan di balik gerbang, lima sosok berpakaian serba putih muncul serempak. Mereka membawa senter besar yang cahayanya langsung menyorot wajah Baskara, menyilaukan matanya.
"Berhenti!" bentak pria yang paling kekar, sepertinya kepala ronda. "Orang asing dilarang masuk ke Desa Pamali setelah magrib! Pamali!"
Baskara mengangkat satu tangan, mencoba menunjukkan gestur damai. Sisi jenaka-idiotnya mengambil alih, mencoba meredakan situasi dengan cara yang hanya ia yang bisa.